Pertemuan Dengan Insting Membunuh
Dalam episode pertama dari seri Pertemuan, Irwan Ahmett menulis tentang akar dari kekerasan sembari melihat lebih dalam pada bagaimana pembunuhan hidup dalam insting kita.
Words by Irwan Ahmett
Satu hal paling menyedihkan tinggal di Jakarta adalah hilangnya kesempatan untuk menatap bintang-bintang di langit malam. Seperti terjadi pada tanahnya, langitnya pun sudah terkontaminasi polusi. Beruntunglah mereka yang masih bisa mengadukan nasibnya pada angkasa atau pada lintasan-lintasan ekor meteor di atmosfer yang berkelebat secepat teknologi berkembang, bukan pada layar-layar digital yang artificial.
Berbeda dengan melihat ke tanah, menatap ke angkasa merupakan gestur tubuh menantang sekaligus mampu meruntuhkan sisi arogan manusia ke dalam ketidakberdayaan. Tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi gurun pasir di perbatasan tua Yordania, Mesir dan Palestina. Jalur kenabian sekaligus peperangan. Demi menatap jutaan bintang saya rela tidur beratap langit ditemani rubah gurun dan hewan nokturnal yang mengintai mangsa sepanjang malam. Jiwa terasa seperti butiran debu dalam cahaya galaksi melewati batas-batas pandangan mata dan rasa. Saya percaya perenungan-perenungan konstelasi bintang di atas hamparan gurun membuat seorang Ibrahim menemukan cahaya monoteisme. Hingga puncaknya turun petunjuk untuk melakukan kekejian sebagai ujian kesalehan; perintah menyembelih anaknya tercinta.
Memahami pembunuhan dengan situasi sekarang tentu terbatas menjadi sangat hitam putih karena instrumen legal untuk melakukan pembunuhan telah dimonopoli oleh Negara atau Agama. Dalam perjalanan di kawasan Lingkar Pasifik saya bertemu dengan orang-orang yang memutuskan untuk membunuh.
Dalam perjalanan di kawasan Lingkar Pasifik saya bertemu dengan orang-orang yang memutuskan untuk membunuh.
Pertama, sekelompok Nelayan laut lepas yang disiksa setiap hari oleh kaptennya di Samudera Pasifik mereka memilih duel antara hidup dan mati sebagai jalan keluar (di tengah lautan, ternyata tetap saja berlaku hukum rimba). Setelah kepalanya pecah jasad si Kapten dihanyutkan. Kedua, perempuan tenaga kerja yang mendapatkan kekerasan seksual berkali-kali, baginya 20 tusukan pada tubuh sang majikan adalah cara mengakhiri penistaan pada dirinya. Di luar dugaan, membunuh itu ternyata relatif mudah, semudah gerombolan suporter bola merayakan kekejian dengan hujan pukulan pada tubuh suporter tim musuh bebuyutan yang sudah hancur. Tidak ada bedanya ketika mereka membunuh lawan di game online dari sempitnya bilik warnet.
Saya berada di Belanda ketika pertama kalinya menonton film “The Act of Killing”, kisah para jagal yang membantai manusia yang dianggap komunis atas dasar bakti pada negara dan Pancasila. Hampir semua teman bule saya langsung mual-mual dan sempoyongan menyaksikan bagaimana pembunuhan terjadi begitu vulgarnya dan para Jagal menari dengan sang maut, menikmati suguhan agung dari setiap nyawa yang dilenyapkan. Terlebih karena cara-cara yang dipilihnya mencerminkan kegairahan luar biasa akan penyiksaan dan bagaimana mereka berupaya terus menambah penderitaan pada tubuh yang sudah tidak berdaya.
Banyak cara untuk mati konyol di Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini.
Reaksi pertama saya ketika film selesai biasa-biasa saja. Tanpa gejolak, tidak ada kejutan. Bisa jadi karena saya terpapar kekerasan setiap saat. Tawuran pelajar bersenjata celurit dan sabetan gir sepeda yang ditajamkan bisa terjadi di depan mata kapan saja. Setiap tahun ada martir yang pikirannya terpenjara hasutan propaganda, mereka memilih meledakan tubuh serta orang yang dianggapnya kafir sebagai cara utama mencapai surga. Paling sederhana, sebagai pejalan kaki saya sering mengalami ketika menyeberang jalan harus berhadapan dengan mas-mas kantoran beringas siap menggilas dengan sepeda motornya yang terus digas. Banyak cara untuk mati konyol di Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini.
Cara-cara untuk melakukan pembunuhan pun bertebaran di museum-museum yang rutin dikunjungi dari anak-anak sekolah hingga rombongan ibu-ibu pengajian. Anak di bawah umur bebas menyaksikan tanpa adanya peringatan. Saya masih ingat wajah pucat bocah lelaki berumur sekitar 6 tahun menjerit-jerit ketakutan menyaksikan diorama berdarah di ruang kematian sejarah Indonesia, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Kedua orang tuanya cuek saja seakan terhipnotis dalam gelimang aliran darah di pelipis manekin serta irama Gugur Bunga dari speaker murahan pelengkap kisah keji dini hari, 1 Oktober 1965.
Apabila sumur maut dirasa kurang, maka kita bisa melanjutkan masuk ke dalam museumnya. Di sana kita bisa bertemu dengan figur-figur miniatur manusia yang mencerminkan sebuah bangsa berbudaya tengah merayakan brutalisme dengan maksimal. Tubuh tak bernyawa ditelanjangi dengan mata melotot karena lehernya dijepit bambu, lubang dan tebing gelap di hutan tempat menanam jasad yang sudah dimutilasi bertebaran di kaki gunung berapi. Kunjungan lanjutan saya ke Monumen Nasional memberikan gambaran jelas bahwa bangsa kita sudah akrab dengan kekerasan semenjak masih tinggal di gua-gua. Bisa dilihat dari diorama pertama tentang peradaban Indonesia diwakili oleh figur manusia yang baru bisa berdiri tegak. Sekilas wajahnya tampak tersenyum dingin namun kedua tangannya memegang tombak. Siap menghujam jantung bagi siapa yang berani masuk wilayah kesatuannya.
Tanpa berpikir panjang saya meletakkan telapak tangan di antara leher yang hampir terputus.
Di kemudian hari saya berjumpa seorang lelaki sepuh namun ototnya masih kencang, dia terlihat sangat sigap berjalan dengan golok di pinggang dan memegang kendali sepenuhnya atas hewan kurban yang terus berusaha meronta. Tanpa diskusi dan pembicaraan berbelit hewan seberat lebih dari 200 kg itu ditarik ambruk ke tanah. Ikatan-ikatan tali melilit membuat tubuhnya terdiam hanya tinggal bola matanya saja yang bergerak liar memantul-mantul di bibir golok yang mengkilap. Dalam satu helaan nafas nyaris tanpa suara namun penuh tenaga, sisi tajam golok digesekan secara vertikal. Tatkala kulit leher telah teriris dan urat besar terputus, saya menyaksikan fenomena ‘jet of blood’. Berupa tekanan darah yang memancar bak air mancur, berhamburan keluar dari urat besar yang tiba-tiba terpotong. Tanpa berpikir panjang saya meletakkan telapak tangan di antara leher yang hampir terputus. Awalnya memang ada kengerian, namun saat kulit ini bersentuhan langsung dengan semburan darah segar menerpa permukaan dengan lembut ternyata memberikan sensasi yang sulit untuk diungkapkan.
Kehangatan hadir menjalar dari kulit hingga ke tulang, untuk beberapa saat saya sungguh menikmatinya! Ada koneksi kekejian mengalir menstimulasi sensasi purba, secara instingtif saya tidak lagi peduli norma, bahkan agama terlampaui begitu saja, tidak ada lagi benar atau salah. Hanya saya dan Chhinnamasta yang seolah berkata, “Mari bicara tentang manusia, bukan kemanusiaan!”
–
Ditulis setelah Irwan Ahmett menyelesaikan risetnya untuk pertunjukan karya “Constellation of Violence”