Surat Keprihatinan Anak Muda tentang Gugurnya Semangat Reformasi
Dalam submisi Open Column ini, Muhammad Naufal Majid mengenang semangat reformasi yang kini hampir punah terkikis oleh praktik politik para penguasa.
Words by Ghina Sabrina
Saya adalah bagian dari generasi yang lahir setelah tahun 1998. Saya tidak pernah mengalami langsung represi dan pembungkaman yang terjadi pada era Orde Baru, tetapi tahu betul apa arti kebebasan yang ditawarkan oleh era Reformasi. Di era Reformasi, saya tidak perlu takut masuk penjara hanya karena memiliki pemikiran yang berbeda dari apa yang diyakini benar oleh penguasa—yang tentu tidak berlaku di era Orde Baru.
Saya berasumsi pembaca pasti pernah mendengar nama Widji Thukul. Sosok yang wajahnya sering dicetak menjadi poster pada aksi-aksi demonstrasi ini diculik oleh negara dan tidak pernah kembali lagi hingga hari ini. Ada berapa orang yang dibunuh oleh Widji sehingga negara merasa begitu marah padanya? Tidak, ia tidak pernah menghilangkan satu nyawa manusia pun. Ia hanya menulis puisi dan sajak yang berisikan keresahannya terhadap negara saat itu.
Widji diculik oleh tim pasukan khusus yang bergerak atas instruksi seorang Mayor Jenderal bertangan besi. Orang itu, kini bisa dengan bebasnya berdansa di panggung politik nasional. Ia menari dengan bangga di atas tangisan para keluarga dari korban penculikan dan penghilangan paksa yang terjadi pada 1997-1998. Ironisnya, orang itu tidak pernah diadili atas kejahatan yang secara sadar ia lakukan. Sungguh mujur nasibnya, ia malah diberikan kesempatan untuk menjadi menteri, mendapatkan kenaikan pangkat, bahkan yang terbaru secara resmi ia telah menjadi seorang presiden terpilih di negeri ini. Ia berhasil membuat 96 juta masyarakat memercayainya untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Kemenangannya dan pasangannya pada pemilu tahun ini mungkin sedang dirayakan oleh sebagian orang. Tapi tentu tidak bagi saya. Saya sungguh merasa khawatir bahwa negeri ini akan kembali ke titik semula sebelum era Reformasi lahir. Banyak dari generasi sepantaran saya—tentu saja saya juga termasuk—belum lahir pada saat era otoritarianisme Orde Baru berlangsung. Ketidaktahuan membuat mereka tidak mengerti bahaya macam apa yang akan datang jika negeri ini kembali ke era itu. Era di mana negara hadir di setiap sudut-sudut gang dan menghadirkan rasa takut di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Orang-orang kritis yang masuk penjara, intel yang menyebar di mana-mana, demonstran yang digebuki, hingga mayat yang tergeletak di pinggir jalan. Melalui banyak literatur yang saya baca, rasanya pemandangan itu lumrah bagi masyarakat di era tersebuut. Kebebasan berekspresi adalah sebuah barang mewah yang eksistensinya nyaris tidak ada. Negara melakukan sensor terhadap apa pun yang dianggap menyimpang.
Hingga akhirnya bulan Mei 1998 datang. Saat itu, angin segar perjuangan demokratisasi di negeri ini berembus dengan sangat kencang. Telah lahir sebuah era baru bernama Reformasi. Tangis haru menyambut sebuah babak baru yang menyongsong semangat perbaikan dan perubahan. Setidaknya ada enam hal yang menjadi agenda reformasi, yakni tegakkan supremasi hukum; berantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); adili Soeharto dan kroninya; laksanakan amandemen konstitusi; cabut dwifungsi ABRI, dan; laksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Upaya menghadirkan perubahan ini tentu tidak datang secara cuma-cuma. Perlu pengorbanan besar—bahkan sampai harus kehilangan nyawa—untuk mengawal agenda reformasi ini. Orang-orang seperti Elang, Hafidin, Heri, Hendriawan Sie, Wawan, Teddy, Yap Yun Hap, dan pahlawan-pahlawan reformasi lainnya harus meregang nyawa untuk membuat demokrasi benar-benar hadir dan dirasakan secara nyata di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
26 tahun berlalu, tetapi apakah keenam agenda reformasi itu sudah benar-benar dijalankan secara paripurna? Bagi sebagian orang, perjuangan reformasi dianggap telah usai. Reformasi hanya dijadikan tujuan akhir dari perjuangan panjang demokratisasi. Padahal, semangat reformasi harusnya hidup dalam denyut nadi masyarakat Indonesia dalam kegiatan sehari-harinya. Akibatnya, kebebasan yang selama ini kita rasakan hanya dianggap sebagai barang sepele yang tidak lagi dimaknai secara penuh. Sebagian dari kita seakan tengah mengalami amnesia kolektif yang membuat mereka lupa akan memori buruk yang pernah hinggap di negeri ini. Beberapa aktivis reformasi yang kini sudah bertumbuh tua tampaknya sudah melupakan rasanya berjuang untuk kebebasan yang dulu mereka idam-idamkan di waktu muda. Mereka dengan bangga menggelar karpet merah untuk seorang kandidat presiden yang lahir dari rezim Orde Baru, rezim yang dulu mereka maki-maki.
Semangat reformasi telah dirampas dari pemilik aslinya, yakni rakyat. Di rezim terkini, para elit politik yang dulu tumbuh besar di era Orde Baru dapat dengan nyaman duduk di lingkaran kekuasaan. Akibatnya, kita tidak pernah benar-benar terlepas dari belenggunya. Satu per satu agenda Reformasi kini kembali lagi ke titik nol. Hari-hari ini kita melihat, hukum dan konstitusi tidak lagi menjadi panglima dalam bernegara. Dengan mudahnya hukum diperalat oleh penguasa demi kepentingan golongannya. Hal ini terjadi dengan mudah karena keluarga dan kerabat penguasa berada di setiap cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal semacam ini dengan mudah terjadi karena pelanggengan praktik KKN dan dinasti politik yang diorkestrasi tanpa adanya perlawanan yang berarti.
Kita meletakkan banyak harapan pada KPK untuk memberantas praktik korupsi, namun perannya justru digembosi dengan undang-undang yang sangat jauh dari kepentingan masyarakat banyak. Belum cukup puas mengacaukan negara, penguasa juga merasa perlu memberikan ruang bagi TNI dan Polri untuk kembali mengisi jabatan-jabatan sipil melalui RPP Manajemen ASN4. Mungkin bagi para penguasa, tidak perlu tanggung-tanggung untuk merusak agenda Reformasi. Kalau bisa mengacaukan semuanya, mengapa tidak sekalian saja? Saya rasa, saya sudah cukup bisa merasakan replika atmosfer Orde Baru yang berupaya dihidupkan lagi di era Reformasi ini. Fakta-fakta di atas sungguh menunjukkan bahwa sebenarnya Reformasi kita hanya tinggal slogan saja. Semangat dan agendanya sudah dikubur dalam-dalam.
Saya masih berusaha memproses suatu fakta bahwa negeri ini akan dipimpin oleh seorang yang punya catatan buruk terkait HAM, yang juga diwakili seorang produk nepotis yang lahir dari aksi pembangkangan terhadap konstitusi. Kalau saja para pahlawan reformasi bisa bangkit dari kuburnya dan melihat betapa kacau-balaunya kondisi negara saat ini, mungkin mereka akan memilih untuk kembali tidur panjang di dalam liang lahat saja. Lalu apa arti pengorbanan nyawa-nyawa itu? Apa arti pendudukan gedung DPR oleh mahasiswa saat itu? Apa arti gedung-gedung, mobil, motor, ruko, dan rumah-rumah yang terbakar? Terlalu banyak hal yang kita korbankan hanya untuk mundur dan kembali lagi ke titik semula. Bukankah kita sudah sepakat bahwa keterbukaan dan kebebasan dalam bernegara adalah hal yang sepatutnya kita syukuri? Lalu mengapa kita rela menjual kenikmatan itu kepada mereka yang mau merebut paksa dan mengacaukan agenda reformasi?
Tidak perlu waktu lima tahun untuk merasakan akan seperti apa rezim yang baru ini berkuasa. Bayangkan, dari semenjak awal kontestasi dimulai saja sudah sangat banyak tanda-tanda kemunduran demokrasi yang terjadi. Kemunculan Sang Wakil Presiden juga menjadi simulasi nyata seperti apa kehidupan bernegara dan berpolitik pada era Orde Baru terjadi. Penuh dengan nepotisme dan kepentingan keluarga. Belum lagi berbicara mengenai bagaimana adiknya, yang bisa menempati posisi pucuk di partai politik hanya dalam waktu dua hari. Bagaimana bisa seseorang yang malas membaca dan tidak mau mempelajari sejarah bangsanya sendiri—ia mengaku tidak tahu soal Orde Baru karena saat itu masih kecil—bisa diberikan kesempatan untuk memimpin partai?
Saya rasa, tidak perlu repot-repot membuktikan bahwa politik kita sudah sangat jauh dari akar ideologisnya, karena ia akan menunjukkannya sendiri. Dengan serangkaian kekacauan ini, saya meyakini bahwa era Reformasi sejatinya telah usai. Hampir 100 juta masyarakat kita sepakat untuk melakukan putar balik dan mundur ke titik nol sebelum era Reformasi dimulai.
Namun, saya enggan menyalahkan masyarakat akan hasil buruk yang kita tuai hari ini. Saya rasa, para politisi rakus dan egois itulah yang seharusnya bertanggung jawab. Mereka yang menyuap rakyatnya dengan bantuan sosial (bansos), joget TikTok, dan gimmick-gimmick politik yang sangat tidak edukatif. Mereka meninabobokan rakyatnya sendiri agar tunduk dan diam ketika melihat penyelewangan kekuasaan terjadi. Ini yang harus kita sadari bersama. Kita tidak boleh terlena dan tertidur pulas ketika melihat mereka mengacaukan negara.
Di saat kondisi negara sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini, patutkah kita berdiam diri? Saya rasa, kita perlu memikirkan cara untuk berhimpun dan menyatukan kembali semangat perjuangan. Kita harus menghidupi lagi semangat para pahlawan reformasi yang telah gugur dalam rangka mewujudkan demokrasi di negeri ini. Hari-hari ke depan, mungkin, akan jauh lebih berat dan mencemaskan, tetapi kita tidak boleh hilang harapan akan nasib baik yang menanti di ujung jalan. Tetaplah kuat. Percayalah, cepat atau lambat kita akan segera keluar dari keterpurukan.