Menghadapi Kekerasan Seksual: Memahami dan Menerima Kenyataan
Di tulisan ketiga dari seri #OpenColumnUI, Alya Yasmine mahasiswi jurusan Psikologi UI 2016 bercerita tentang pengalamannya memahami dan menerima kenyataan selepas mengalami kekerasan seksual.
Words by Whiteboard Journal
Warning: berpotensi memicu trauma (kekerasan seksual)
Tahun lalu aku mengalami kejadian yang tidak bisa dilupakan. Saat itu aku berjalan kaki sendirian di kawasan pemukiman dekat kampus. Aku mengambil jalan pintas agar cepat sampai kost. Ada motor yang melintas dari arah belakang, tapi aku tidak menghiraukannya sampai pengendara motor itu meraba bokongku dari belakang dengan kuat. Sesaat aku bingung harus apa, ada rasa kaget dan tidak percaya. Aku ingin meneriaki orang itu tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal pikiran, rasanya kata-kata itu tidak bisa keluar. Aku juga tidak ingin mengganggu rumah-rumah di sekitar karena saat itu suasananya hening. Lagi pula, orang itu sudah hilang dari pandangan tidak lama kemudian. Masih shock, aku cepat-cepat menemui teman supaya tidak sendirian. Mereka menenangkanku yang sangat kacau setelah kejadian itu. Beribu pikiran memenuhi benak, seperti kenapa ada orang yang berbuat seperti itu? Apa karena aku jalan sendirian? Apa itu sudah direncanakan? Apa karena pakaianku terlalu ketat? Bajuku terlalu pendek? Saat itu malam hari, mungkin aku terlalu nekat jalan kaki sendirian malam-malam? Kalau ada orang lain yang juga jalan kaki malam hari, kenapa harus aku yang kena? Siapa orang itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul setiap hari, setiap malam. Rasanya seperti beban yang tidak bisa diselesaikan. Menjadi beban tambahan di samping tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan, presentasi yang harus didiskusikan, kelas yang padat dan masalah-masalah lain. Kadang pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan seperti mendesak jawaban segera di saat aku harus fokus mengerjakan hal-hal penting. Semua perasaan buruk dan kebingungan yang ada di hari itu bisa muncul tiba-tiba, satu saat hilang tapi akan hadir lagi. Butuh waktu untuk menerima kejadian buruk itu, karena berhari-hari setelahnya aku masih susah percaya kalau itu benar-benar terjadi.
Syukurnya aku punya teman-teman yang suportif dan bisa dipercaya. Mereka bisa menenangkanku atau sekadar mendengar cerita tanpa berkomentar jahat. Memberitahu mereka adalah salah satu keputusan terbaik. Walaupun tidak semua perasaan buruk bisa hilang dengan bercerita, setidaknya tidak semua hal harus dihadapi sendirian. Kadang aku juga menulis semua perasaan yang susah untuk diproses, walaupun tidak semuanya bisa dituangkan dalam kata-kata. Semua itu membantuku merasa lebih baik. Perlahan-lahan, rasa tidak nyaman itu semakin berkurang. Aku menerima bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah dan tidak selamanya menentukan hidup seseorang.
Beberapa minggu kemudian, aku berjalan kaki ke kampus (di kawasan pemukiman yang sama dengan kejadian itu, tapi beda jalan) saat ada pengendara motor yang menepuk kaki sampingku. Aku berpikir cepat kalau ia sebenarnya ingin melakukan hal yang sama seperti pelaku pelecehan yang aku temui sebelumnya, namun karena aku memakai tas selempang, tangannya jadi meleset. Aku meneriaki orang itu keras-keras supaya ia dengar dari jarak yang sudah agak jauh. Seperti sebelumnya, aku kaget karena semua itu di luar dugaan. Tapi kali ini, kaget yang terjadi lebih karena dua hal; pertama, bagaimana aku bisa meneriaki orang sekencang itu? Kedua, saat itu masih pagi dan aku memakai baju yang panjang. Itu berarti pakaian dan jam keluarku bukan pemicu pelecehan. Setelah itu aku semakin yakin bahwa kawasan ini menjadi tidak aman karena memang ada orang yang dari awal berniat melecehkan pejalan kaki, bukan masalah pakaian atau jam. Tidak peduli aku keluar malam atau pagi, dengan baju pendek atau panjang, masih tetap menjadi sasaran. Siapa tahu aku bukan satu-satunya korban di daerah itu? Mungkin sudah banyak juga sebelum dan sesudahku.
Pengalaman yang kedua tidak separah yang pertama, mungkin tantangannya saat itu adalah aku harus mengerjakan ujian tepat setelahnya. Jadi aku harus menahan fokus selama menulis esai saat sebenarnya aku berusaha keras untuk tidak menangis. Dalam jangka panjangnya, kejadian yang kedua itu tidak terlalu aku pikirkan. Aku yakin kejadian pelecehan seperti ini (atau bentuk lain) banyak dialami oleh mahasiswa, baik di dalam maupun di luar kampus, dari orang yang dikenal maupun orang asing. Aku tahu trauma yang didapat tidak mudah dihilangkan. Sampai sekarang aku terkadang masih paranoid kalau berada di tempat umum. Juga tidak semua pertanyaan bisa terjawab, seperti siapa pelakunya, apa alasannya dan lain-lain. Setidaknya aku tidak menghadapi semuanya sendirian. If you are going through the same thing, talk it out, write it down, or anything positive. There are ways to make you feel better. Last, go easy on yourself, do not give up on healing. Like singer Tory Amos said,
“Healing takes courage, and we all have courage, even if we have to dig a little to find it”.