Mengapa Saatnya Kesetaraan Gender Telah Tiba
Di manakah letak nyata perbedaan fisik antar kelamin dan mulai di mana narasi mengambil alih?
Words by Whiteboard Journal
Boneka, kereta dorong bayi, bunga, pita, kompor-komporan beserta peralatan dapur, mesin jahit, gaun tuan putri beserta tiara bergemerlap. Kalau bisa semua berwarna merah muda.
Pistol-pistolan, mobil-mobilan, sepak bola, robot, pesawat terbang, roket, pedang-pedangan. Warnanya? Didominasi warna-warna yang lebih gelap.
Dua daftar mainan yang untuk pikiran kita cukup jelas ditujukan untuk siapa. Mainan di kategori perama untuk anak perempuan, mainan di kategori kedua untuk anak laki-laki. Mainan ini kemudian membentuk kesadaran mereka akan peran yang harus dimainkan di perjalanan hidup mereka. Peran yang ditentukan oleh konstruksi sosial peradaban manusia, keharusan yang kita telan mentah-mentah tanpa dipertimbangkan matang-matang.
Bukan hanya di Indonesia, bahkan secara global pun perempuan sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk mencapai potensi maksimal mereka. Usaha untuk mencapai lapangan main yang seimbang untuk kedua jenis kelamin sering sekali ditolak dengan alasan-alasan yang tidak lagi berdasarkan fakta dan logika, baik oleh pria maupun wanita sendiri.
Struktur sosial semu yang telah dibentuk beribu tahun yang lalu, di mana kondisi hidup manusia jauh lebih berat daripada abad ke 21 sekarang, dianggap sebagai sesuatu yang mutlak. Kita sangat beruntung bisa hidup di zaman di mana teknologi telah amat sangat meringankan beban hidup kita. Ekspektasi hidup kita telah jauh meningkat. Walau gizi dan pendidikan masih belum merata, secara umum manusia abad ke 21 jauh lebih sehat dan berpendidikan dibandingkan seratus tahun yang lalu. Kehamilan dan kelahiran tidak lagi berpotensi untuk menjadi pertarungan hidup dan mati berkat kemajuan ilmu kedokteran. Aktivitas dasar sehari-hari manusia telah dipermudah sedemikian rupanya sehingga kita dibebaskan untuk mengerjakan tugas-tugas lain yang dulu bahkan tidak akan tersirat di kepala kita.
Sudah saatnya kita mempertanyakan narasi hidup berdasarkan jenis kelamin yang disodorkan semenjak kita menarik nafas untuk pertama kalinya.
Adanya perbedaan biologis antara wanita dan pria memang tidak bisa dipungkiri. Tetapi sering kali perbedaan-perbedaan tersebut hanya berada di benak kita. Kalau mau bicara secara literal, ada baiknya jika kita menengok hasil penelitian-penelitian akan perbedaan otak wanita dan otak laki-laki. Dari masa-masa awal ilmu sains sampai sekarang tidak lelahnya para ilmuwan mencari jawaban untuk pertanyaan ini, tiap kali dengan metode dan teknologi yang lebih canggih, dan konsensus ilmiah telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara otak feminin dan otak maskulin.
Seperti juga hasil penelitian di bidang sosiologi, kita sekarang tahu bahwa perkembangan individual manusia sangat tergantung dari berbagai macam faktor, termasuk situasi dan lingkaran kultural mereka. Kalau mau berbicara tentang perbedaan fisik belaka, saya yakin bahwa mayoritas dari kita mengenal perempuan yang secara fisik lebih kuat daripada pria. Bahkan tahun ini di Belgia terjadi insiden di mana atlet balap sepeda Nicole Hanselmann diberhentikan oleh panitia kompetisi karena ia akan mendahului pembalap terakhir cabang pria yang start 10 menit sebelumnya. Peradaban manusia yang telah berulang kali melihat berbagai macam kekejian perang juga telah berulang kali menggantungkan nasib mereka di tangan wanita-wanita yang ditinggal mati oleh kaum pria mereka yang diwajibkan maju ke medan perang atas alasan apa itu juga.
Di manakah letak nyata perbedaan fisik antar kelamin dan mulai di mana narasi mengambil alih?
Reaksi spontan dari kaum laki-laki sayangnya sering histeris. Reaksi yang biasanya bisa ditelusuri kembali ke ketakutan mereka akan hilangnya dominasi atas kaum hawa. Kata feminisme lantas menjadi kata yang bersirat negatif, bahkan umpatan, untuk mengurangi legitimasi tuntutan-tuntutan yang diajukan. Akan ada pihak-pihak yang mengacungkan jari ke arah diskrepansi seorang pria yang mengangkat tema kesetaraan antar wanita dan pria, tetapi kesetaraan gender tidak hanya akan membawa keuntungan bagi satu pihak saja. Penelitian-penelitian terakbar di bidang kesehatan mental telah memastikan adanya korelasi antara depresi dan tuntutan untuk berperilaku selayaknya “laki-laki“. Dan kalau kita ingin melihat gambaran pragmatis lebih besarnya lagi, coba bayangkan potensi ekonomi yang akan tercapai dari mobilisasi tenaga kerja wanita yang telah dibuktikan secara hasil tidak ada bedanya dengan prestasi para pria.
Dan di sini saya juga merasa perlu meluruskan satu kesalahpahaman besar yang sering muncul dalam perdebatan ini, yaitu bahwa titik akhir perjuangan untuk hak-hak para wanita bukanlah dominasi atas kaum pria, melainkan kebebasan untuk menjalankan hidup mereka selayak pilihan, keinginan dan panggilan.
Sesungguhnya kesetaraan gender hanyalah bagian dari kelanjutan cerita perjuangan umat manusia untuk meraih kesejahteraan. Kesejahteraan yang berlaku untuk siapapun juga, tanpa melihat asal-usul, warna kulit, agama dan tentu saja kelamin. Untuk mencap pergulatan para wanita sebagai fenomena baru, modern dan sekadar trend belaka adalah untuk melupakan peran dan jasa besar mereka di kehidupan sehari-hari kita. Cobalah bayangkan hidup tanpa wanita-wanita di sekitar kita. Pada akhirnya maraknya diskusi yang begitu meningkat dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini hanyalah salah satu cerminan dari kesadaran manusia, bahwa ada hal-hal yang yang tidak lagi sesuai dengan kenyataan hidup kita, bahwa kita sudah siap untuk menapakkan langkah kaki di masa depan.