Kuliah, Merantau dan Pendewasaan yang Terjadi Di Antaranya
Di tulisan kedua dari seri #OpenColumnUI, Ahmad Sulton Ghozali mahasiswa yang saat ini menempuh program studi Indonesia di UI bercerita tentang proses pendewasaan yang dialami selama merantau untuk kuliah.
Words by Whiteboard Journal
Untuk pertama kalinya, aku harus keluar dari rumah dan tak kembali beberapa lama kemudian. Apa yang orang-orang sebut sebagai merantau ini barangkali akan menyenangkan. Lingkungan, pengalaman, dan segala hal yang menanti di depan. Tak salah juga jika mengibaratkannya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan sepeda impian.
Namun, ada yang sempat mengganjal dalam perasaan. Sesuatu yang tak ingin ditinggalkan. Sesuatu yang selama ini dirasa terlanjur nyaman. Di sisi lain, tiada yang lebih bergejolak daripada hati seorang anak yang akan mengembara sendirian. Oleh karena itu, aku mengira jika menengok ke belakang sebelum memasuki kereta akan menuntaskan setiap kegelisahan dan kekhawatiran.
Kenyataannya tidaklah demikian. Melihat mereka justru membuat rongga dada lebih sesak dari biasanya. Ibu tengah mengusap air mata dengan kerudung lusuhnya. Bapak tersenyum dengan melambaikan tangannya yang sudah berkulit renta. Tangan itu pula yang baru saja memberi sebuah pelukan untuk menguatkan punggung anaknya.
“Ini jalan pendewasaanmu.” bisiknya.
Hamparan sawah dan sungai-sungai kecil perlahan berganti sesaknya bangunan dan dinding-dinding iklan. Buruh-buruh tani yang bersepeda berganti mobil-motor yang saling berdesakan. Kini, bukan lagi rumah berdinding hijau yang akan menjadi tempatku melepas lelah untuk sementara, melainkan kamar kos yang hanya dihuni sendirian. Masakan favorit dari ibu berganti menu warteg langganan atau mie instan jika sudah akhir bukan. Heningnya pedesaan ketika berangkat di pagi hari berganti suasana Kutek yang sudah ramai dengan pejalan.
Sempat sering menelpon sebagaimana berusaha menebus kerinduan. Menanyakan kabar atau berita yang terjadi di sana atau sekadar bertukar menu makanan. Terkadang pula menanyakan tentang cara mencuci baju, mengatur keuangan, atau bercerita tentang yang baru saja kualami seharian.
Lalu, berangsur-angsur kekosongan itu terisi sendiri dengan semakin banyaknya tugas, kegiatan, dan teman-teman. Semakin jarang bahkan lupa karena satu alasan klasik: tidak sempat mengabarkan. Jadi, seperti ini rasanya menjadi manusia yang sudah atau harus dianggap dewasa secara usia dan pemikiran. Memang, awalnya tak terasa, termasuk emosi sedih dan senang yang larut bersama teman-teman.
Setiap keberhasilan, kegagalan, dan gelombang kehidupan dewasa ini tentu membuatku lelah kemudian. Ibu pernah berpesan untuk menyertakan kesabaran dalam menghadapi setiap kesulitan. Namun, terkadang beberapa kesulitan terlalu menguras energi hingga aku hanya bisa menangis dan mengeluh: sampai kapan?
Berlembar-berlembar tugas masih berserakan. Setiap kulihat, mereka seolah meraung-raung karena ingin segera dituntaskan keberadaannya. Bukan sembarang tugas, melainkan wujud dari beban seorang mahasiswa yang harus mengasah pikiran kritisnya. Belum lagi, menjadi anggota organisasi harus berpegang amanah dan tanggung jawabnya. Apalagi perihal cinta. Ah, seharusnya aku lebih banyak meminta saran ibu tentang satu hal itu jika akan seperti ini pada akhirnya.
–
Rasanya, aku ingin masuk ke mesin waktu dan kembali mengulanginya. Segala kenangan indah itu.
Terbayang berada di kamar lamaku dengan beragam buku yang menumpuk tinggi di lantainya dan kertas-kertas kecil berwarna dengan beragam bertulis yang melekat di seluruh dindingnya. Tulisan tentang rumus-rumus pelajaran, target nilai, mimpi untuk masuk di kampus ini, dan pengingat-pengingat lainnya. Lalu, aku pergi ke dapur dan mengamati diriku yang lebih muda sedang berbincang dengan ibu sembari membantu dengan masakannya. Bapak memanggil untuk membantunya memperbaiki sepeda.
Waktu kembali bergerak cepat hingga sampai pada hari pengumuman itu tiba. Hari ketika ucapan syukur tak henti menderas dari mulut mereka berdua. Hari-hari selanjutnya adalah kesibukan mempersiapkan segalanya. Pendaftaran ulang, memilih kediaman sementara ketika aku di sana, dan barang-barang yang perlu dibawa. Hari keberangkatan itu lagi, dan seolah jiwaku kembali merasuk sendiri ke tubuh asalnya. Ah, penyesalan itu kembali menyeruak dengan liarnya.
–
Benar adanya jika usia yang semakin tua akan mengundang lebih banyak permasalahannya. Memang, Tuhan pula sudah merencanakannya dengan sempurna. Yang diperlukan hanya hati yang harus dipaksa lebih teguh lagi dari batasannya. Namun, tetap saja pertanyaan itu tiba. Apa aku sanggup menghadapi ini semua? Bagaimana jika segalanya menjadi di luar kendali dan tak berujung sesuai rencana? Belum lagi beban-beban lain di masa depan, seperti pekerjaan, menikah, hingga membangun rumah tangga?
Barangkali pikiranku ada benarnya, namun tak salah pula jika masih terlalu jauh untuk membicarakannya. Tanganku menutup kedua mata dan mengusap wajah seiring napas yang menghela lebih berat dari biasanya. Sepintas menoleh, mataku tertuju ke selembar foto keluarga. Foto berbingkai yang selalu menyapa di meja belajar ketika aku pulang dengan lelah dan tak berdaya.
Tanganku meraihnya tanpa sadar dan jemariku mengusap setiap potret wajahnya yang tersenyum penuh asa. Wajah yang selalu kurindukan di dalam kepala. Wajah yang membuatku mengucap lagi janji sebelum memulai ini semua. Selama mulutku masih bergumam dan tanganku masih mampu bergerak, adalah tak lain untuk mewujudkan cita-cita dan mengekalkan rasa bangga di hati mereka.