Kematian, Keniscayaan
Sebuah introspeksi saat kematian datang dan renungan tentang Tuhan serta keniscayaan.
Words by Muhammad Hilmi
Semalam habis lembur, jadi pagi itu ada niatan untuk bangun agak siangan. Tapi sejak punya bayi, siang itu datang lebih awal karena sekarang ada jadwal baru: jemuran jam tujuh sampai setengah delapan – kata dokter jam segitu mataharinya paling bagus. Sejak itu pula, jadi lumayan kenal dengan sesama penghuni kontrakan. Selain bapak sebelah rumah, bapak gempal nan sangar dan pak tua yang ramah, sekarang ada kenalan baru: Mas Wawan – penghuni baru yang masih lumayan muda dan supelnya kebangetan. Kebetulan Mas Wawan ini baru punya anak – jadi kita punya middle ground yang sama.
Pagi tadi, aktivitas jemuran sama bayi agak beda suasana. Di depan pekarangan kontrakan berkumpul beberapa orang dengan baju hitam-hitam. Tak lama, datang mobil pickup dengan isi kursi dan tenda, sebelum kemudian seseorang diantaranya mengibarkan bendera kuning. Innalillahi. Tetangga yang saya belum sempat kenalan, penghuni rumah kontrakan B5, meninggal subuh tadi. Pagi buta tadi istrinya menemukan sang suami tergeletak dengan mata dan mulut terbuka di dapur kontrakan. Tak bernyawa. Serangan jantung katanya.
Selain istri, ia meninggalkan dua anak yang masih kecil. Usianya masih cukup muda, 40 tahunan – hanya sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Bisa saja ia cuma merasa masuk angin malam itu. Bisa saja ia cuma merasa kecapekan bekerja. Bisa saja sebenarnya jantungnya telah lama menyimpan gejala-gejala. Bisa saja, selama ini ia mengabaikan nyeri kecil yang sering terasa di dada. Bisa saja, itu saya.
—
Ini kematian pertama di kontrakan kami. Saya rasa begitu, karena saya belum pernah melihat ada bendera kuning dikibarkan di pagar kontrakan kami, dan saya adalah salah satu penghuni lama. Saat kemudian berbincang dengan tetangga lain, kemudian tahu bahwa almarhum dan istri menikah beda agama. Almarhum seorang Kristiani, sang istri Muslim. Sebuah hal yang rasanya akan semakin wajar dalam waktu-waktu mendatang, meski di konteks kampung saya Ciganjur, ini mengakibatkan dilema-dilema kecil. Pak ustad dari musholla sebelah kebingungan harus melakukan apa pada jenazah almarhum. Apakah harusnya dimandikan, dan bagaimana caranya nanti mempersiapkan pemakaman.
Kebingungan lain dialami Mas Wawan, ia merasa bingung apakah ia bisa menyedekapkan posisi tangan serta menutup mata almarhum yang masih terbuka – ataukah justru baiknya dibiarkan saja? Ia juga bercerita bahwa ia menyesalkan bagaimana almarhum meninggal dalam posisi yang demikian dan bagaimana ia meninggal dalam keadaan tanpa iman Islam. Ia kemudian melanjutkan pembicaraan dengan menghitung berapa penghuni kontrakan yang non Muslim, “Cuma dua untungnya”. Meski saya yakin, Mas Wawan bermaksud baik dan kemungkinan besar ikut mendoakan almarhum serta keluarga yang ditinggalkan, ingin rasanya mendebat kenalan baru saya ini. Sepertinya agak terlalu naif bagi kita untuk memutuskan kemana jiwa akan melangkah berdasar pada apa yang terlihat pada saat kematian dan tulisan kolom agama di KTP.
Saya yakin, Gusti Allah Maha Adil dan Maha Mengetahui. Siapa tahu – terlepas tulisan di kolom agamanya – ia justru menjalani pola hidup yang lebih Islami daripada semua yang ada di kontrakan saya. Siapa tahu, ia menyayangi keluarganya sepenuh hati. Siapa tahu ia berbakti kepada orang tuanya. Siapa tahu ia rajin shodaqoh kepada yang kurang mampu. Saya yakin, Gusti Allah tahu tentang hal-hal ini, dan bahwa segala kebaikan yang telah dilakukan akan ada balasannya. Karena saya percaya bahwa kalau ada keniscayaan lain dalam hidup ini selain kematian, saya haqqul yaqin itu ada pada bagaimana Gusti Allah membalas semua kebaikan. Darimanapun kebaikan itu datang.
—
Jam sembilan, jenazah ternyata masih menunggu surat kematian. Sedangkan pagi itu ada meeting yang tak bisa saya tinggalkan. Belum sempat mampir dan menyampaikan bela sungkawa, saya lalu lewat saja didepan rumah duka. Jadinya cuma bisa menitipkan duka pada Mas Wawan yang tampak menunggu untuk ikut memberikan penghormatan. Sepanjang perjalanan menuju kantor, saya memutar lagu “Putih” dari Efek Rumah Kaca yang pagi itu terasa lebih dekat dan menyembilu. Di lampu merah TB Simatupang, saya sampai di bagian akhir lagu. Tak terasa air mata sudah menetes sampai dagu.
“Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
Dan tentang kebenaran
Juga kejujuran
Tak kan mati kekeringan
Esok kan bermekaran”