Jalan Keluar di Ujung Lorong Gelap Bergelar “Pergumulan Mahasiswa”
Di tulisan keempat dari seri #OpenColumnUI, Maria Gabriella mahasiswi jurusan Teknik Bioproses UI 2017 bercerita tentang pengalamannya bangkit dari pergumulan yang menimpanya.
Words by Whiteboard Journal
Pernah ada masanya saya merasa sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup. Di semester ketiga kuliah, nilai-nilai saya selalu buruk. Saya menghabiskan berjam-jam mencoba memahami deretan tulisan dan angka di buku teks kuliah. Omongan dosen di depan kelas tidak bisa ditangkap dengan baik oleh otak saya. Sementara itu, teman-teman saya di kelas terlihat sudah mengerti dengan jelas apa yang sedang kami pelajari. Saya merasa jadi orang paling bodoh di kelas.
Sebelum berkuliah, saya sempat gap year setelah gagal diterima di berbagai ujian masuk perguruan tinggi negeri. Sampai di bangku kuliah pun saya masih membawa rasa takut akan kegagalan lampau tersebut. Saya masih mengingat dengan jelas raut kekecewaan di wajah orang tua saya.
Saya merasa salah jurusan, tapi saya sudah tidak punya kesempatan untuk tes lagi. Saya tidak berani bercerita pada teman-teman terdekat saya di kampus, apalagi pada orang tua. Saya takut tidak diterima atau malah dianggap lebay. Saya merasa tertekan oleh segala sisi. Saya sering menangis di kamar kos walaupun selalu menampilkan wajah baik-baik saja di luar. Dalam kesendirian, saya meratapi ketidakmampuan saya untuk memahami materi kuliah saya dan menjawab soal dengan benar.
Saya merasa terjebak. Saya berada di lorong gelap yang panjang dan tanpa ujung. Sempat saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya.
Beruntung, saya punya teman-teman yang peduli pada saya. Saya memang tidak menceritakan persoalan saya pada teman-teman kuliah, tapi saya pernah mengungkapkan kebuntuan saya pada teman-teman komunitas menulis virtual. Salah satu teman saya di komunitas berkuliah di kampus yang sama dengan saya dan mendaftarkan saya ke psikolog klinik kampus. Saya ditemani sampai selesai konsultasi. Masalah saya memang tidak selesai begitu saja, tapi saya merasa sudah berada di jalan yang tepat menuju pemulihan.
—
Ketika saya melihat ke belakang, saya menyadari bahwa permasalahan saya ternyata sering dihadapi oleh banyak mahasiswa. Bagi saya, menjadi mahasiswa itu penuh dengan tantangan dan tidak mudah. Permasalahan akademik, kegiatan ekstrakurikuler, sampai permasalahan keluarga dan ekonomi masing-masing pernah jadi momok menakutkan yang dapat mempengaruhi kesehatan mental banyak orang. Sebagai dewasa muda, mahasiswa dituntut untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahannya. Mengeluh dianggap kekanak-kanakan dan tidak pantas lagi.
Semua hal di atas membuat mahasiswa seringkali terdorong untuk memendam semuanya sendiri. Kita merasa malu untuk menunjukkan pergumulan-pergumulan kita. Kita melihat orang-orang lain mampu berprestasi dan tampil baik-baik saja, sementara kita kerap dirundung masalah yang membuat lelah jiwa dan raga. Padahal, berkaca dari pengalaman saya pribadi, kita butuh uluran tangan dan sudut pandang orang lain. Sendirian, kita mungkin tidak bisa melihat titik terang. Namun, dengan perspektif lain, bisa saja muncul jalan keluar yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Satu hal penting yang saya pelajari dari pengalaman saya adalah kita perlu untuk reach out. Berceritalah pada orang-orang yang dapat dipercaya. Ketakutan dijauhi teman dan kondisi kita dianggap aib memang tak terelakkan. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai kesehatan mental harus diperbanyak sampai tiap-tiap mahasiswa tahu mengenai hal ini. Normalkan gagasan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang memiliki permasalahannya masing-masing yang sama-sama valid. Tidak ada permasalahan yang lebih “kecil” dari permasalahan lain karena kapasitas orang dalam menanggung suatu permasalahan pun berbeda-beda.
Kemudian, seperti halnya kita pergi ke dokter ketika sakit perut atau sakit kepala, kita harus menormalkan mencari bantuan profesional ketika menemui masalah yang berkaitan dengan mental kita. Penyakit mental sama nyatanya dengan penyakit lain seperti diabetes, jantung koroner, dan sebagainya. Normalkan mencari bantuan untuk permasalahan mental kita. Mencari pertolongan bukanlah sesuatu yang memalukan.
—
Beberapa tahun sejak pertama berkonsultasi dengan psikolog, kondisi saya sudah jauh lebih baik. Saya kini sudah jauh lebih terbuka pada teman-teman dekat saya di kampus dan tetap berhubungan baik dengan teman-teman dunia maya yang telah membantu saya di waktu saya paling membutuhkan. Saya sadar bahwa saya tidak lagi sendirian menghadapi segalanya.
Hidup saya masih dipenuhi dengan banyak ups and downs, namun saya telah belajar untuk menghitung dan menghargai tiap-tiap ups yang saya miliki. Untuk setiap keberhasilan saya, sekecil apapun, saya melihatnya sebagai berkat yang dapat disyukuri. Saya masih bisa bernapas sampai detik ini pun adalah sesuatu yang dapat disyukuri. Selama saya terus berusaha, saya merasa telah berada satu langkah lebih maju dari diri saya sehari sebelumnya.
Mengutip ucapan Dr. Linda Martin dari serial Lucifer: “Take it slowly.”