Tiada Oposisi di Orde Oligarki Indonesia
Tentang demokrasi yang terancam oleh hantu oligarki
Words by Whiteboard Journal
Suara rakyat telah digunakan untuk mendapatkan pemimpin bangsa kita. Pasangan presiden dan wakil presdien terpilih sudah dilantik. Anggota legislatif juga sudah dipilih. Sementara itu kabinet menteri telah diumumkan. Hasilnya sangat mengecewakan. Melihat komposisi kabinet kementrian sekarang tidaklah menarik. Dapat dikatakan komposisi yang mengerikan. Dimulai dari penjahat HAM yang diangkat sebagai menteri pertahanan sampai tokoh-tokoh yang memiliki motif kepentingan yang kuat.
Saya bukan seorang analis politik yang profesional, bukan juga ahli hukum. Mungkin anggota dewan Yang Terhormat pastinya lebih mengerti mengenai kondisi politik Indonesia saat ini. Tetapi kalau saya melihat secara kasar komposisi kabinet Indonesia Maju, ini merupakan suatu penodaan terhadap asas demokrasi yang telah kita percayai sebagai sistem negara. Bagaimana tidak? Oposisi sekarang bergabung menjadi koalisi, dan yang tertinggal dalam tudung penyeimbang kekuasaan telah lenyap.
Oligarki yang bercokol
Elit politik sekarang sedang sibuk mencari posisi. Mereka menerka jalur-jalur yang dapat ditempuh agar memperoleh kekuasaan. Bagi mereka yang tidak dapat meraih suatu posisi, maka ancaman untuk menjadi oposisi akan dilayangkan. Lihat saja sikap beberapa politisi yang secara terang-terangan siap untuk menjadi oposisi. Sebenarnya hasrat untuk menjadi oposisi itu bukan semata-mata idealisme haluan partai untuk menjunjung tinggi asas demokrasi, tetapi lebih kepada suatu ancaman bagi kelancaran agenda pemerintahan. Koalisi yang sudah nyaman dengan kekuasaan mereka juga takut apabila ada yang merecoki tujuan-tujuan demi kepentingan pribadi mereka.
Sudah dapat dikatakan bahwa tidak ada oposisi sekarang terhadap pemerintahan orde yang baru ini, orde oligarki. Semua elit politik memiliki kepentingan pribadi. Sudah diingatkan pula dari kaum golput (golongan putih) pada pemilihan umum kemarin agar tetap waspada terhadap kekuasaan oligarki yang semakin menguat. Penerawangan mereka semua ialah suatu fakta untuk saat ini: segelintir orang berkuasa dan memonopoli kekuasaan itu.
Bahaya atas kematian demokrasi sekarang sudah jelas adanya bagi masa depan bangsa ini. Kelompok dengan unsur-unsur militer, kepolisian, dan bisnis telah masuk dalam spektrum pemerintahan pusat. Ketiga unsur itu adalah simbol dari oligarki dalam peta kekuasaan kita. Jabatan-jabatan yang mereka terima juga memiliki kekuatan yang besar. Ini merupakan kondisi yang benar-benar membahayakan.
Kita dapat melihat dari dinamika politik Indonesia tahun 1966 sebagai contoh masuknya kekuasaan militer. Soeharto sebagai pahlawan memberantas kaum komunis, dan melancarkan agendanya untuk meraih kekuasaan yang absolut. Dominasi militer itu terlalu kuat untuk dibendung sehingga menyebabkan negara dalam cengkraman kekuataan senjata api. Mereka yang dianggap melawan “kentrentaman” akhirnya lenyap secara perlahan. Dan mereka yang membantu Indonesia dalam kejayaan ekonomi dan stabilitas politik akan dianugerahkan sebagai pahlawan bangsa. Terciptalah kekuasaan oligarki pada zaman itu, dan kini mereka berkuasa kembali.
Atas Nama Kemajuan Indonesia
Kabinet kementrian presiden terpilih dinamakan Kabinet Indonesia Maju. Sekilas namanya mengugah semangat untuk berharap agar Indonesia dapat menjadi negara yang maju. Saya meilhatnya dengan ketakutan. Dari nama itu terlihat jelas agenda apa yang akan dijalankan oleh penguasa. Perkembangan infrastruktur dan ekonomi menjadi salah satu misi pemerintah. Dengan kata lain, segala suara-suara yang menghalang-halangi pembangunan dan kemajuan ekonomi akan dibungkam. Rasa kemanusiaan akan dilenyapkan secara perlahan atas nama kemajuan bangsa. Pemikiran materialis sudah tentu akan ditanamkan pada masyarakat sekarang agar melihat segala sesuatu yang tidak manusiawi dianggap manusiawi untuk pembangunan.
Perampasan tanah, kriminalisasi aktivis, pembungkaman suara pers, dan perilaku represif aparat sekarang sangat terasa keberadaanya. Hak tanah sipil akan dikatakan sebagai hak tanah negara untuk pembangunan jalan tol atau pengembangan parawisata. Aktivis pro-demokrasi yang kini bersuara dengan lantang dibungkam dengan intimidasi, ancaman, serta teror-teror yang menghilangkan sisi kewarasan manusia. Pers yang memilih independen dan berdiri pada kebenaran akan mati oleh media massa milik oligarki. Aparat kini juga telah lupa amanah mereka untuk mengayomi, tetapi lebih mengamankan dan bersikap sebagai polisi moral. Kondisi-kondisi ini ialah bentuk baru dari orde kediktatoran yang semakin lama semakin menjadi-jadi.
Orde baru milik Soeharto sebenarnya tidak kembali muncul. Dahulu kita punya satu musuh bersama, yakni penguasa yang diktator dan semena-mena. Namun kini kita sebagai masyarakay sipil telah dipecah-pecah menjadi kubu-kubu yang saling berlawanan. Die hard patriot tanpa senjata api akan bersikap layaknya tentara pada medan perang; ultranasionalis akan mengebu-gebu menyuarakan pendapat mereka yang anti terhadap kelompok progressive kiri; dan kini melawan diartikan sebagai “radikal” atau “teroris”.
Rakyat sebagai oposisi
Apabila di dalam sistem politik praktis telah lenyap oposisi, maka kita berada dalam bahaya. Demokrasi telah mati sesungguhnya. Pada zaman Hitler, partai Nazi memiliki kekuasaan abosolut. Rakyat didoktrin agar selaras dengan haluan perjuangan penguasa. Kalau penguasa memerintahkan rakyatnya untuk pergi berperang, maka pergilah mereka manusia-manusia malang. Sedangakan mereka yang memerintahkan rakyatnya untuk berperang menikmati heroisme tragis dari prajurit-prajuritnya di medan tempur.
Apakah Indonesia berada di tahap seperti masa Hitler berkuasa di Jerman? Tentunya belum separah itu, meskipun keadaan itu sudah menunggu di depan mata. Presiden belum menjadi Hitler, dan saya yakin dia bukan Hitler. Dan sepertinya sudah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mengingatkan penguasa bahwa kita adalah Yang Terhormat. Dewan-dewan yang diutus ke parlemen adalah hasil dari suara rakyat. Mereka digaji oleh rakyat, dan seharusnya bekerja untuk rakyat pula. Begitu juga dengan institusi pemerintahan lainnya yang sebenarnya milik rakyat
Saya teringat kembali perjuangan kaum muda dan intelektual pada masa Hitler berkuasa. Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai White Rose melawan tirani. Dengan pemikiran mereka, pada akhirnya rakyat sadar bahwa kekuasaan diberikan oleh rakyat. Tetapi usaha mereka dibayar oleh nyawa. Beberapa anggota White Rose dipenjara bahkan dihukum mati.
Di Indonesia rakyat juga harus melawan. Nyalakan tanda bahaya sesegera mungkin. Mahasiswa dan rakyat sipil juga telah bergerak untuk menuntaskan reformasi tahun 1998 yang dikorupsi. Dan oleh perlawanan ini banyak jiwa yang lebih dahulu berpulang. Sudah saatnya kita menyatakan tidak pada kekuasaan tirani dan oligarki, dan tetap berada di arah perjuangan demokrasi. Bersatulah, berkumpulah, berdiskusilah, dan nyatakan pendapat kita dengan melawan. Semoga kita dapat melanjutkan perjuangan teman-teman yang telah meninggalkan kita.