Sebuah Perayaan akan Remeh Temeh Wangi dan Busuknya Jakarta
Ulasan buku “Cerita-Cerita Jakarta”, buku terbitan POST Press yang berisi sepuluh cerita pendek dari sepuluh penulis yang merespon sekaligus merekam remeh-temeh hidup di Jakarta.
Words by Muhammad Hilmi
Entah sudah berapa karya seni menyebut tentang Jakarta. Bentuknya bisa kita temukan dalam berbagai rupa; lukisan, lagu, gambar bergerak dan tulisan. Hampir semua terasa istimewa, bagi yang tak pernah, menjadi perkenalan tentang wangi hingga busuknya kota yang kita cintai bersama ini, bagi yang menjadikannya tempat tinggal, menjadi pengingat akan romantis yang ada di antara macet jalanan dan ruwet tuntutan hidup.
Saat POST mengumumkan judul buku, “Cerita-Cerita Jakarta”, sulit untuk tak penasaran, sisi mana dari Jakarta yang akan ditampilkan di buku ini. Saat mempelajari kemudian, lantas menemukan bahwa buku ini adalah kumpulan cerita pendek yang dikumpulkan POST setelah bekerja sama dengan penerbit asal Manchester, Comma Press dalam rangka seri Reading The City, sebuah inisiatif untuk merangkum cerita dari berbagai kota di belahan dunia. Berisi sepuluh cerita dari sepuluh penulis, Ratri Ninditya, utiuts, Sabda Armandio, Hanna Fransisca, Cyntha Hariadi, Afrizal Malna, Dewi Kharisma Michellia, Yusi Avianto Pareanom, Ben Sohib & Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Beberapa tulisan di buku ini dikumpulkan dari arsip yang telah tayang sebelumnya, atau tulisan baru yang khusus dibuat untuk proyek ini.
Di dalamnya kita akan diajak untuk melihat kisah remeh-temeh dari orang-orang kecil yang tinggal di Jakarta. Memang ada beberapa peristiwa besar tersebut di sini, seperti saat Soeharto lengser, atau saat demonstrasi #ReformasiDikorupsi, tapi semua diceritakan dari sudut pandang orang biasa. Tapi justru itu yang membuat buku ini istimewa, kita diajak untuk merayakan hal-hal biasa dari orang-orang biasa. Beberapa menyentuh melalui penggambaran situasi yang sangat akurat dan nyata, beberapa yang lain terasa riil pada penceritaannya yang luar biasa natural, yang lain menggelitik dengan cara yang sederhana. Walaupun ada yang berkisah tentang fantasi, tak ada yang mengada-ada. Karena memang tak perlu kita berkhayal saat hidup di Jakarta, semua sudah ada di sana.
Beberapa di antara yang membekas di kepala adalah tulisan Ratri Ninditya yang dengan jenius diletakkan sebagai pembuka. Siapapun yang pernah nyetir sepeda motor di Jakarta akan dengan mudah menemukan relasi di sini. Siapapun yang pernah jatuh cinta akan dengan mudah merasa terwakili di sini. Siapapun yang pernah patah hati pula akan menemukan rumah di sini. Ratri membuat perjalanan menuju warung seafood menjadi sebuah kisah yang mampu mendedah semrawut kehidupan kelas menengah di Jakarta.
Kesan mendalam juga hadir melalui karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang mengajak kita mengunjungi Dunia Fantasi – terutama wahana Istana Boneka – untuk terakhir kali, sebelum tempat ini ditutup karena Jakarta tak lagi menjadi ibu kota. Melalui tulisannya, Ziggy seolah merangkum cerita-cerita post-apokaliptik terbaik lalu membumikannya di Jakarta dengan segala ironinya.
Isu rasial dan kelas sosial hidup pada tulisan Cynthia Hariadi. Di kisahnya, kita terasa seperti mendengar kisah dari teman lama tentang bagaimana hidupnya dan hidup kita berubah setelah kerusuhan 1998. Tak ada drama tentang perebutan kekuasaan, atau gempar di istana, hanya cerita tentang persahabatan yang terkoyak dan tak sembuh lagi sejak saat itu. Cerita tentang persahabatan juga menyala di tulisan Sabda Armandio yang merekam apa yang tidak kita dengar saat kita menyimak berita demonstrasi. Tentang rasa nekat dan kepengecutan yang kerap dirasa saat ada aksi massa, dan bagaimana kisruh di jalanan memaksa dua rasa yang beda kutub tersebut bertemu dan menjalin persahabatan.
Buku ini ditutup dengan tulisan Yusi Avianto Pareanom yang sekali lagi bercerita tentang hal mundane, perjalanan mengurus visa. Namun seperti biasa, Yusi Avianto selalu menemukan gelitik yang tajam, mulai dari interaksinya bersama pengamen, hingga obrolan sahabat di warung kopi.
Tak ada gegap gempita di buku Cerita-Cerita Jakarta. Namun itu cukup. Karena toh hidup kita memang lebih banyak beririsan dengan yang biasa-biasa saja. Dan seringnya itu cukup untuk membuat kita bangun di pagi hari, menjalani rutinitas dan tidur di malam hari, sebelum mengulang pola itu di kemudian hari. Toh, Jakarta juga merupakan kota yang biasa-biasa saja. Dan itu cukup membuat kita benci setengah mati, namun terus jatuh hati kepadanya. Buku ini, adalah pengingat yang baik untuk itu.