Bermain dan Bereksperimentasi Lewat Sinema
Di gelaran keenamnya, festival film dokumenter dan eksperimental ARKIPEL mengusung tema homoludens yang mengajak kita bermain melalui sinema.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Ardi Widja
Di mata banyak orang, film mungkin hanyalah sebuah medium yang fungsi utamanya merupakan untuk menghibur, di mana hal yang mendorong mereka untuk menonton film tersebut juga berakar dari keinginan mereka untuk lari dari kenyataan. Namun sejatinya, film merupakan suatu artefak budaya yang diciptakan oleh budaya tertentu, yang mana mereka merefleksikan hal-hal yang ada dalam budaya tersebut dan juga memengaruhi para individu di dalamnya. Maka dari itu selain menjadi tempat untuk menghibur, film pun dianggap memiliki karakteristik yang identik dengan kesenian.
Rumusan tersebutlah yang dihidupkan oleh Forum Lenteng dalam menggagas gelaran ARKIPEL, Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, tahun ini untuk yang keenam kalinya. Dengan meminjam penggalan kata dari kata “archipelago”, yang berarti “nusantara”, mereka berharap bahwa penjelajahan yang akan terjadi dalam gelaran ini adalah penjelajahan gagasan sinematik. Tema yang diangkat ARKIPEL untuk tahun ini, homoludens, pun berangkat dari buku Johan Huizinga (1938) yang berjudul “Homo Ludens”, yang secara garis besar membahas pentingnya elemen kebermainan dalam sebuah budaya dan masyarakat. Dari buku ini, muncul pula kata ‘ludik’ yang merupakan ekspresi paling manusiawi. Pengalaman ludik, pada sejatinya, memuat spontanitas, kreativitas, dan otonomi, yang pada akhirnya menjaga keselarasan secara menyerluruh. Jadi, playfulness dalam hal ini merupakan hal yang sangat serius.
Meminjam karya Huizinga, ARKIPEL berharap untuk dapat menghadirkan pengalaman ludik yang ada dalam sinema kepada penonton. Tentunya, konsep kebermainan yang dimaksud juga bukan hal yang dapat dianggap remeh, karena pada dasarnya hal tersebut dapat dijadikan sebagai cara untuk melihat kebudayaan kontemporer yang kian berubah dengan begitu cepat. Dengan ini juga, ARKIPEL bermaksud untuk menghadirkan rangkaian film eksperimental maupun dokumenter yang bertujuan untuk menjadikannya sebagai medium untuk bereksperimen sekaligus belajar. Maka dari itu, kebermainan digunakan sebagai dasar dari ARKIPEL agar dapat membawa kita kembali kepada hal yang paling esensial, yaitu kemanusiaan.
Pada penyelenggaraan ARKIPEL tahun ini, terdapat kurang lebih 1.400 film yang didaftarkan selama dua bulan lebih dari 80 negara, walaupun pada akhirnya hanya 21 film yang akan lolos seleksi untuk sesi Kompetisi Internasional. Selain itu, selama 9 hari penyelenggaraan, terdapat juga beberapa program lain seperti Forum Festival, Pameran Kultursinema, Program Kuratorial, Presentasi Khusus, Penayanangan Khusus dan Candrawala. Program Candrawala merupakan program yang dibuat khusus untuk perfilman Indonesia. Dengan total submisi yang mencapai 48 film, program ini memiliki fungsi sebagai wadah bagi semua untuk melihat situasi lanskap sinema eksperimental dan dokumenter di Indonesia.
Pada malam pembukaan yang digelar pada hari Kamis, 9 Agustus 2018 kemarin, ditayangkan 4 film pendek yang juga ikut serta pada Kompetisi Internasional. “Songs of Fortune” karya Veronika Burger termasuk karya film yang menampilkan berbagai statement dari 3 peramal yang berbeda, dinyanyikan mengiringi cuplikan dari sebuah ruangan kosong. Tak hanya mendikte apa yang harus dilakukan para pendengar, nyanyian tersebut pun juga pada akhirnya memberikan konteks baru bagi ruang-ruang tersebut. “La Buona Novella: Good Tidings” oleh Sebastiano Luca Insinga menyorot sebuah kapal bernama “Bochra” yang terdampar di tepi Pantai Sisilia sekaligus menyinggung topik migrant crisis yang melanda beberapa negara di dunia. “The Night Between Ali and I” karya Nadia & Laila Hotait merupakan sebuah reka ulang fiktif tentang peristiwa penting dalam sejarah yaitu upaya penyelamatan 39 sandera di Bank of America di kota Beirut, yang mana interaksi antara korban dan pelaku dijadikan sebagai suatu tarian tradisional Levantine bernama “dabke”. “Sub Terrae” karya Nayra Sanz Fuentes, menelusuri labirin perkuburan yang berujung pada lahan pembuangan sampah, sebuah gambaran dystopian yang menyinggung krisis global kontemporer yang sedang berlangsung.
Sebagai salah satu dari dua festival film eksperimental di Asia Tenggara, ARKIPEL telah berkembang menjadi festival film yang memiliki nama yang cukup dikenal oleh para pelaku di industri film eksperimental dunia. Dengan terus mencari cara baru berkomunikasi melalui film sebagai salah satu medium, motivasi utama para pelaku di industri pastinya bukan karena daya tarik finansial, melainkan keinginan untuk terus bermain dan berkembang. Untuk membuat suatu festival film yang memiliki substansi, mereka pun harus menjaga relevansi dengan kondisi sekitar, yang dalam hal ini merupakan kondisi sosiopolitik di Indonesia agar semua yang terlibat tak hanya dapat bermain, tapi juga belajar melalui sinema.
–
ARKIPEL homoludens
8 – 16 Agustus 2018
Goethe-Institut Indonesia
Jl. Sam Ratulangi 9-15
Jakarta, Indonesia