Pameran Seni Ini Mengekspresikan Hidup Dengan Mental Disorder Melalui Karya Seni Rupa dan Puisi
Ajang pameran ‘The Artist’s Residency: An Investigation into Mental Health and Hope’ yang diselenggarakan bersama Mental Health Collective SG diharapkan akan berbagi sudut pandang tentang hidup sebagai pengidap mental disorders.
Teks: Titania Celestine
Photo: Tim Mossholder via Unsplash
Yang Kaiwen, seorang mahasiswa dari National University of Singapore (NUS) memulai sebuah proyek dengan Foo Choon Ean, penulis asal Singapura yang mendokumentasi pengalamannya sebagai penderita Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) melalui sebuah puisi. Merasa keinginannya untuk mengekspresikan diri dan kegelisahan yang dideritanya, Foo akhirnya memilih untuk menceritakan perasaan beliau melalui written words, dan mendapatkan kenyamanan dari hal tersebut.
Proyek yang ditujukan untuk mengeksplorasi mental health dan meningkatkan awareness pada topik tersebut, akan berwujud sebuah picture book berdasarkan puisi Foo, yang akan dibacakan oleh sejumlah 20 individu yang juga mengidap OCD.
Selain picture book tersebut, sebanyak enam karya seni rupa yang berupa animasi, musik, dan performa tarian, akan menjadi main feature ajang pameran ‘The Artist’s Residency: An Investigation into Mental Health and Hope’. Pameran tersebut, yang diselenggarakan bersama Mental Health Collective SG, diharapkan akan berbagi sudut pandang tentang hidup sebagai pengidap mental disorders.
Melalui kolaborasi dengan Reach, sebuah lembaga yang merupakan cabang dari badan Kementerian Komunikasi dan Informatika Singapura, pameran ‘The Artist’s Residency’ akan berlangsung dari tanggal 19 Desember 2021 hingga 14 Februari 2022, dan bertempat di National Library Singapore.
Pameran ini bertujuan untuk menggunakan karya seni rupa untuk start conversations mengenai pengalaman dan kesehatan mental bagi mereka, mendorong kelompok masyarakat untuk berbagi kisah masing-masing untuk memberi sudut pandang baru mengenai hidup dengan mental disorders.
Foo menyatakan bahwa ia sadar orang-orang sangat takut akan hal-hal yang tidak diketahui, apakah itu penyakit mental, depresi, OCD, dan lainnya.
“Jika saya bisa menceritakan kisah saya, maka akan ada lebih banyak perspektif pemahaman tentang kondisi mental ini dan yang lainnya. Ketika ada pemahaman yang lebih banyak, saya berharap masyarakat juga akan lebih berbelas kasih dan berempati dengan pihak-pihak yang mengidap penyakit mental. Dari situ, akan ada lebih sedikit stigma, prasangka, dan negativitas terhadap topik ini,” ungkap Foo.
Selebihnya, Foo berharap bahwa pameran ini dapat menjadi suara bagi orang lain dalam situasi yang sama. Hal ini diharapkan dapat membuat mereka merasa acknowledged dan tidak sendiri, karena kebanyakan orang yang mengidap gangguan mental biasanya memilih untuk diam, dan terkucilkan dari masyarakat.
“Kami berharap pameran ini akan bisa diakses melalui digital devices, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu sumber daya untuk membantu memulai percakapan dalam kelas mengenai pentingnya mental health dan sudut pandang pengidap mental disorders,” ujar Titus Yim, anggota pendiri Mental Health Collective SG.