Memetakan Masa Depan Seni Dalam Ranah Virtual
Berbincang dengan beberapa seniman dari pameran Quantum Land tentang nasib seni selama pandemi, pameran daring dan masa depannya dalam ranah virtual.
Words by Emma Primastiwi
In partnership with Media Art Globale 2020
Ilustrasi & Desain: Mardhi Lu
Dengan segala yang terjadi tahun ini, sulit membayangkan apa yang akan datang di tahun depan. Tapi harapan-harapan muncul pada bagaimana sosok-sosok dari berbagai latar belakang melahirkan inisiatif-inisiatif yang mengembalikan optimisme tentang masa yang akan datang. Salah satu inisiatif positif ini datang dari ranah seni melalui gelaran Media Art Globale 2020 (MAG20) persembahan Connected Art Platform. Berjudul “Quantum Land”, pameran ini berfokus pada ranah new media art yang berbasis teknologi dan sains dikuratori oleh Mona Liem, pendiri Connected Art Platform yang telah terlibat di berbagai festival seni lokal dan internasional.
Tema “Quantum Land” lahir sebagai siasat dari Mona dan teman-teman seniman untuk menciptakan harmoni, supaya seni bisa hidup dalam ruang-ruang selain galeri dan menciptakan semesta dimana pengunjung bisa berinteraksi dan menginterpretasikan karya dengan cara masing-masing. Dengan begitu, seni bisa menjadi bagian dari kehidupan kita, sebuah hal yang kita butuhkan di saat-saat sulit seperti ini.
Kami berbincang dengan beberapa seniman dari pameran Quantum Land tentang bagaimana seni bisa terus hidup dan menciptakan harmoni, peran teknologi dalam menjadi jembatan interaksi dengan publik, hingga masa depan seni di masa yang akan datang.
Monica Hapsari
Visual Artist
Bagaimana pandemi mengubah pola pikir Anda sebagai seniman?
Pandemi mengubah pola pikir saya sebagai manusia. Seni hanyalah proyeksi kehidupan saya sebagai manusia. Tidak pernah sebaliknya. Pandemi membuat saya melihat seni sebagai suatu solusi untuk terapi batin. Menyadari suatu urgensi bahwa seni yang bermanfaat untuk makhluk lain (setidaknya untuk diri sendiri) adalah sangat esensial. Manfaat tidak melulu manfaat fisik, karena sejatinya, “realita” fisik yang memanifestasi di hadapan manusia, hanyalah proyeksi dari keadaan batin kita sendiri. Seindah-indahnya matahari terbit, tidak akan terlihat indah oleh batin yang isinya derita semua. Saya dihadapkan pada kenyataan pahit,bahwa mungkin sifat mementingkan diri sendiri saja,tanpa memikirkan kesengsaraan yang lain,kemungkinan adalah biang kerok pandemi. Virtual dsb, hanyalah metode, beradaptasilah. Atau berdiam diri.
Bagaimana melihat pergeseran pola pameran dari yang dulunya berbasis fisik dan kini menjadi digital?
Tidak ada masalah bagi saya dengan pola pergeseran itu. Sejauh hidup saya, improvisasi adalah bagian dari metode saya sehari-hari, pun dalam presentasi karya performans saya. Secara realita, penjualan karya tentu menurun, dan jumlah audiens yg dtg ke pameran virtual tentu menurun. Tapi apakah menjadi seniman hanya melulu berputar di urusan karya terjual atau tidak dan karya diapresiasi banyak sekali orang atau tidak? Sukses mungkin adalah aksi tanpa henti kita untuk terus-terusan meretas batas seumur hidup, dan kegagalan sejati adalah tidak pernah mencoba karna menyerah duluan pada ketakutan.
Bagaimana Anda menggunakan teknologi lebih dari sekedar gimmick, tapi sebagai medium untuk membangun “interaksi” dengan publik di ruang yang maya, terutama untuk karya di Quantum Land?
Tidak ada yg salah dengan gimmick bagi saya. Gimmick hanyalah metode increasing appeal dan mengolah “packaging“. Pun jika iya, bahkan pakaian yang dikenakan hampir semua manusia 2020 sehari-hari pun adalah gimmick kita dalam menghadapi dunia. Mungkin kadang yang terkesan tidak pas, hanyalah porsi dan konteks gimmick yang melebihi esensinya. Tanpa saya pernah berusaha agar karya saya terasa gimmicky atau tidak. Gimmick atau tidak, saya serahkan sepenuhnya pada audiens.
I am, what you perceive I am.
Bagaimana Anda menggunakan teknologi lebih dari sekedar gimmick, tapi sebagai medium untuk membangun “interaksi” dengan publik di ruang yang maya, terutama untuk karya di Quantum Land?
Cara bertahan, beradaptasi dan berevolusi untuk seluruh sistem seni. Pameran virtual adalah respon dan tentunya trial and error dalam menghadapi tantangan generasi. Apapun itu hasilnya nanti, tentu bagi saya akan jauh lebih baik untuk melakukan aksi nyata, yang tentunya selalu dalam proses belajar, ongoing trials, daripada diam di tempat. Or worse, mundur.
Bagaimana Anda membayangkan masa depan seni rupa dengan situasi sekarang?
Saya tidak pernah punya target jangka panjang dalam hidup dan berusaha tidak pernah memikirkan rencana jauh ke depan. Saya berusaha dan berlatih setiap hari dalam hidup untuk fokus dalam saat ini. Pandemi bisa menghilang, bisa tetap ada, tidak akan mengubah fakta bahwa satu ekosistem dunia dalam keadaan tidak seimbang, dan fakta bahwa sistem self-profit semata, mulai obsolet untuk keberlangsungan. Jadi solusi konkrit mungkin, bahu membahu agar semua kolektif yang terpisah-pisah, bisa bekerja sama, saling membantu dan berkontribusi untuk kepentingan bersama diatas kepentingan sendiri.
Lagipula, menurut saya pribadi, cara efektif untuk “meramalkan” atau “membayangkan” masa depan, adalah dengan berbuat yang terbaik di hari ini. Masa depan hanyalah hasil reaksi, dari aksi kita sendiri di hari ini.
Rubi Roesli
Arsitek
Bagaimana pandemi mengubah pola pikir Anda sebagai seniman?
Pandemi mengingatkan kita untuk mengutamakan yang esensial. Kesadaran kesehatan menjadi dasar semua kegiatan termasuk berkurangnya kegiatan berkumpul dan bersentuhan secara fisik sehingga semua yang berhubungan dengan itu harus dipikirkan alternatifnya atau pola efektifnya bila harus dilakukan.
Bagaimana melihat pergeseran pola pameran dari yang dulunya berbasis fisik dan kini menjadi digital?
Berharap agar pandemi segera berakhir sementara memaksimalkan keterbatasan
Bagaimana Anda menggunakan teknologi lebih dari sekedar gimmick, tapi sebagai medium untuk membangun “interaksi” dengan publik di ruang yang maya, terutama untuk karya di Quantum Land?
Dalam hal instalasi yang kami lakukan di Quantum Land, dimana semua orang harus melakukan physical distancing, teknologi menjadi media pencarian kemungkinan-kemungkinan untuk menggantikan interaksi yang biasanya dilakukan secara langsung dan fisikal dengan harapan intensi pesannya tetap tersampaikan secara baik
Bagaimana Anda melihat posisi Quantum Land dalam menggunakan teknologi untuk menjembatani antara seniman, seni dan publik?
Quantum Land memberikan kesempatan dan tantangan dimana kami harus mengeksplorasi teknologi bahkan ke ranah yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Membuat projek yang mengharuskan kita berkolaborasi lebih jauh dengan teman-teman dari disiplin lain terutama yang berhubungan dengan teknologi. Juga mempelajari bagaimana publik mengapreasiasi karya di masa seperti ini.
Bagaimana Anda membayangkan masa depan seni rupa dengan situasi sekarang
ini?
Masih terlalu cepat untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, karena pandemi masih jauh dari berakhir. Tapi Kegiatan manusia yang sudah hampir setahun di ‘paksa’ secara cepat mengintegrasikan kegiatan fisik dan digital tidak akan hilang di masa depan. Manusia akan cepat belajar dan kemudian pola fisik dan digital ini akan berkembang sesuai kebutuhannya.
Motionbeast
Studio Desain
Bagaimana pandemi mengubah pola pikir Anda sebagai seniman?
Pandemi yang terjadi membuat semua elemen masyarakat termasuk seniman harus beradaptasi. Berbagai pola baru dijalani, mencari cara untuk tetap berkarya dan tetap bisa dinikmati orang banyak.
Bagaimana melihat pergeseran pola pameran dari yang dulunya berbasis fisik dan kini menjadi digital?
Kami melihat sebagai sesuatu yang positif karena memang pada dasarnya, kebutuhan seniman untuk membuat pameran tunggal/kolektif tetap ada yang mewadahi. Walaupun berbentuk virtual, setidaknya wadahnya tetap ada, tinggal seniman harus bisa beradaptasi dengan sistem baru ini.
Bagaimana Anda menggunakan teknologi lebih dari sekedar gimmick, tapi sebagai medium untuk membangun “interaksi” dengan publik di ruang yang maya, terutama untuk karya di Quantum Land?
Karya kami dalam Quantum Land ini adalah 360 virtual journey berjudul TIMECODE. Karya kami bercerita tentang bagaimana visitor menembus batas-batas waktu dengan berbagai penggambaran visual tentang Gravitasi, Anti-Gravitasi, Relativitas, dll. Dengan tema yang ‘agak berat’ ini, kami menggunakan teknologi video 360 (sudah umum digunakan) untuk memudahkan visitor menangkap pesan dari karya itu sendiri. Karena menurut kami, seniman, selain relevan dengan teknologi, sebaiknya memikirkan juga bagaimana teknologi itu mempermudah interaksi antara seniman dengan visitornya, bukan mempersulitnya.
Bagaimana Anda melihat posisi Quantum Land dalam menggunakan teknologi untuk menjembatani antara seniman, seni dan publik?
Dilihat dari sistem yang dipakai untuk memfasilitasi seniman, bentuk keutuhan karya dan publik cenderung mudah untuk mengaksesnya, membuat posisi Quantum Land sudah cukup ideal untuk menyelenggarakan event ini.
Bagaimana Anda membayangkan masa depan seni rupa dengan situasi sekarang
ini?
Untuk merespon berbagai situasi yang terjadi adalah dengan beradaptasi dan kepekaan untuk melihat sesuatu yang lain. Seperti yang sudah terjadi dari sejak lama, seni rupa akan terus bertumbuh sesuai situasi yang terjadi. Dan sepertinya masa depan seni rupa akan tetap melahirkan sesuatu yang baru bagaimanapun situasinya.
Windy Setiadi & Thomas Geissl
WSTG
Bagaimana pandemi mengubah pola pikir Anda sebagai seniman?
Pola pikir kami tidak berubah, hanya saja eksekusinya yang perlu disesuaikan dengan situasi saat ini. Sebagai pekerja seni yang banyak bersinggungan dengan teknologi, kami percaya bahwa kami dapat menemukan solusi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya mencerminkan penyempurnaan yang kami bangun tetapi juga menghadirkan cara-cara yang baru dalam mengkonsumsi karya seni.
Bagaimana melihat pola pameran dari yang dulunya berbasis fisik dan kini menjadi digital?
Bagi kami, perpindahan tersebut adalah suatu proses yang terjadi secara alami tidak hanya dalam dunia seni melainkan juga dalam kehidupan kita sehari-hari dimana kita dapat mengolah berbagai kegunaan dari proses tersebut apabila kita beradaptasi dengan cermat.
Bagaimana Anda menggunakan teknologi lebih dari sekedar gimmick, tapi sebagai medium untuk membangun “interaksi” dengan publik di ruang yang maya, terutama untuk karya di Quantum Land?
Adapun teknologi interaksi dua arah yang sedang kami kembangkan saat ini masih belum sempurna namun telah menjadi fokus utama agar kedepannya bisa menjadi medium yang bermanfaat.
Bagaimana Anda melihat posisi Quantum Land dalam menggunakan teknologi untuk menjembatani antara seniman, seni dan publik?
Quantum Land merupakan suatu wadah kolaborasi bagi para seniman berbasis teknologi dalam memajukan dunia seni serta menginspirasi sesama seniman dan publik agar lebih termotivasi untuk berkarya.
Bagaimana Anda membayangkan masa depan seni rupa dengan situasi sekarang ini?
Seni rupa hanya akan berkembang apabila didukung penuh oleh pemerintah dan juga masyarakat.
–
Selain Monica Hapsari, Rubi Roesli, Motionbeast dan WSTG, MAG20 – Quantum Land juga akan disemarakkan oleh nama-nama seniman lain yang akan mengajak publik menjelajahi 5 ragam realm, GENESIS, ENIGMA, NEXUS, MAGNA, MASTER, hasil interpretasi seniman yang terlibat. Selain pameran karya, Quantum Land juga akan menghadirkan berbagai rangkaian acara lain seperti workshop hingga talks. Dapatkan informasi lebih lanjut lewat https://www.mediaartglobale.com/