You’re not left behind, you’re going at your own pace
Dalam submisi column ini, Ihsan Dhiya menuliskan pengalamannya “bergerak” lebih lambat dibanding teman-teman sebayanya, yang kerap membuatnya merasa cemas. Namun, alih-alih membandingkan pencapaiannya tersebut, ia justru melihatnya sebagai perbedaan laju tiap orang.
Words by Whiteboard Journal
“Tapi, kan setiap orang berbeda-beda dan mempunyai keunikan mereka sendiri.”
Kalimat itu sering terdengar tapi tidak merubah fakta kalau saya merasa bahwa teman-teman sebaya saya sudah satu, bahkan dua langkah lebih depan dibandingkan saya. Jadi, apakah kalimat itu valid atau hanya untuk membuat diri kita merasa lebih baik saja?
Keinginan untuk dapat “lompat” menuju titik kesuksesan bukanlah hal yang jarang. Terutama jika kita melihat rekan sebaya sudah ada di titik itu. Tentunya, dari kacamata kita. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain memang suatu hal yang sulit untuk dihindari. Bagaimana tidak? Cara paling mudah menaruh tolok ukur perkembangan kita sebagai manusia, ya, dengan melihat manusia lain yang sebaya. Kecenderungan ini membuat banyak orang menjadi khawatir karena merasa tertinggal dengan teman-temannya yang sudah “sukses”.
Salah satu korban overthinking karena hal tersebut, tidak lain dan tidak bukan, ya, saya sendiri. Saya memulai perkuliahan pada 2016 dan pindah jurusan di kampus yang sama dua tahun kemudian. Maju ke 2020, mayoritas teman saya sudah lulus dan mulai pusing mencari kerja. Sedangkan saya? Masih duduk di bangku kelas dan memusingkan tugas kuliah. Apakah hal ini membuat saya jadi down? Stress? Sedih? Merasa hidup stagnan dan tidak berkembang? Tentu saja iya! Tapi, apakah hal ini menjadi hambatan untuk saya terus maju dan berkembang? Oh tentu saja iya! Maklum, saya orangnya gampang stress. Hehe.
Rasa tertinggal tidaklah asing bagi saya. Semenjak masih duduk di bangku SMA, saya sering merasa tertinggal dengan teman-teman sebaya. Kalau kata orang, masa SMA itu masa yang paling tak bisa dilupakan alias the golden years–tiga tahun terakhir sebagai anak sekolahan yang seru abis deh pokoknya. Tapi nyatanya, masa SMA saya gak seseru yang orang-orang bilang.
Saya memang berasal dari keluarga yang strict dan juga protektif, saya gak bisa ngerasain serunya nongkrong sampai tengah malam. Untuk izin keluar rumah aja susah. Bukannya jadi pentolan, malah jadi anak rumahan. Saya selalu iri dengan teman sebaya saya. Untuk umuran anak SMA, mereka sudah mandiri dan tidak mengandalkan orang lain, dan pastinya lebih dewasa dibanding saya.
Hingga saya duduk di bangku kuliah memasuki umur 20-an, rasa ketertinggalan tetap masih menghantui. Banyak orang-orang sebaya yang sudah mencapai banyak hal di hidup mereka. Ada yang sudah menikah, ada yang sudah lulus kuliah, punya anak, punya pekerjaan dan pencapaian-pencapaian lainnya. Tapi, sebenarnya wajar nggak sih untuk merasa left behind? Wajar pastinya. Banyak orang di luar sana merasakan hal yang sama. Harus kita sadari juga, overthinking dan membanding-bandingkan diri kita dengan orang sebaya memanglah wajar. Tapi, ini bukanlah suatu hal yang patut dinormalisasi.
Salah satu faktor dari kemunculan rasa ini adalah standar dari mainstream society. Banyak sekali standar yang bisa membuat hidup kita terasa seperti lomba yang tiada habisnya. Setiap kali kita mencapai suatu hal, pasti langsung terbalap dan terkalahkan dengan orang lain. Jadi, sebenarnya, yang ingin dicapai itu goals kita sendiri, atau goals yang sudah diterapkan oleh standar sosial?
Menurut saya, faktor terbesar yang sering banget memicu overthinking adalah the comparison game atau sifat membanding-bandingkan. Cukup nilai rapot kamu saja yang dibandingkan sama anak tetangga. Masa depan dan cita-cita nggak perlu!
Dulu, saya sering kali melihat orang sebaya dan berfikir: “Wah, Si B sudah masuk ke kuliah kedokteran, dia jauh lebih baik dan pintar dari saya.” Tapi, nyatanya saya adalah orang yang sedang berjuang di bidang yang sangat berbeda dari Si B.
Berdasarkan hal tersebut saya menyadari adanya logical fallacy, selama ini saya mengukur kesuksesan saya atas keberhasilan orang lain dan bukan keberhasilan saya sendiri. Toh, anak kedokteran gak mungkin memiliki kemampuan yang lebih baik di bidang hukum internasional, begitu pun sebaliknya.
Mungkin ini akan terdengar seperti hal yang sepele dan terlalu sering diucapkan. Namun, nyatanya semua orang mempunyai kemampuan dan keunggulannya masing-masing. Sikap membanding-bandingkan (comparing) berperan besar dalam membangun perasaan semu bahwa kita tertinggal dengan orang-orang sebaya. So, stop membanding-bandingkan! Jangan jadikan keberhasilan orang lain sebagai ancaman bagi kita. Alih-alih, jadikan itu motivasi untuk mulai fokus kepada apa yang harus kita tekuni untuk mencapai tujuan kita.
Saya rasa kita semua masih sering merasa tertinggal dengan orang-orang sebaya di sekitar kita. Sekarang saya memang belum lulus, dan saya juga belum bisa mendapatkan kerja seperti teman-teman yang lain, and that’s totally okay. Perlu diingat kalau hidup itu bukan perlombaan, melainkan perjalanan yang harus ditempuh pelan-pelan. Kita semua ditempatkan di bumi ini dengan tujuan dan purpose yang berbeda. You’re not left behind, you’re going at your own pace.