Yang Terhormat Orang Tua, Jangan Jadikan Kami Objek Ekspektasi
Pada submisi column kali ini, Anggita Ayunda Sakuntala menulis tentang bagaimana orang tua kerap menjadikan anak sebagai objek ekspektasi.
Words by Whiteboard Journal
Hingga hari ini parameter yang menunjukan bagaimana menjadi orang tua yang sesungguhnya dan yang sempurna, masih menjadi tanda tanya dalam benak saya. Tumbuh menjadi dewasa awal di usia quarter life membuat saya mau tak mau akhirnya melek terhadap banyak hal, terhadap ribuan fakta dan tanda tanya yang tersusun rapi dalam amigdala. Being a grown up isn’t easy, barangkali demikianlah kata yang tepat. Seperti lagunya Hindia dalam album “Menari dengan Bayangan”, tentang masa depan, pendidikan, pekerjaan, keimanan, semua seolah dikejar untuk segera dituntaskan. Dituntut untuk mampu berjalan dengan sempurna, pendidikan yang tinggi dengan nilai bagus, prestasi yang luar biasa, kalau bisa setidaknya menjadi sarjana, syukur-syukur magister hingga doktor. Usai dengan pendidikan, lulus kuliah dan semacamnya, tuntutan bekerja menggema dari orang-orang mulai terluar hingga terdalam seperti keluarga. Tidak tanggung-tanggung, terkait pekerjaan juga banyak dituntut untuk mampu menempati posisi yang oke, gaji yang tinggi, ini-itu dan seterusnya. Bersama dengan itu, tuntutan untuk memilih pasangan yang serba bisa, serba mapan, serba menawan, serba apapun seolah seperti toserba juga menjadi tuntutan yang harus dipikirkan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya di usia seperempat abad ini.
Permasalahan yang membuat saya mengatakan menjadi dewasa itu tidak mudah, tidak hanya dari baris di atas. Sebagai seorang yang berada di tahap dewasa awal, di tengah pandemi dengan perkuliahan yang dijalankan secara online membuatku yang sebelumnya hidup sebagai manusia perantauan mau tak mau lantas menjadi anak rumahan. Bukan! Bukan maksud saya introvert yang hanya mendekam di kamar. Anak rumahan di sini maksud saya ialah, tinggal kembali di kampung halaman, dalam pangkuan keluarga. Tidak lagi hidup di kosan dan menumpang di kota orang. Banyak pelajaran pada akhirnya menemuiku ketika kembali berada di pangkuan keluarga. Seperti, apabila biasanya hidup berkutat dengan penjelasan-penjelasan dosen di kampus, nongkrong, atau baiknya meninjau langsung lapangan dalam praktikum. Namun, berada di rumah saya bisa bertemu dengan hal yang lebih kompleks, mulai dari obrolan emak-emak di tukang sayur dengan gosipnya, bapak-bapak yang merencenakan ini-itu, atau anak seumuranku yang mengelukan perkara pekerjaan, pendidikan, hingga percintaannya, hingga beberapa mama muda yang sibuk mengatur masa depan anaknya.
Kalimat terakhir itulah yang kemudian menjadi atensiku, hingga akhirnya membuatku berkeinginan menulis akan hal ini. Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara yang melibatkan beberapa orang kampung, saya bertemu dengan para orang tua. Obrolan yang kutangkap ialah bagaimana mereka membanggakan anaknya masing-masing, seperti ini misalnya, “Wah, bu anak saya diterima di kampus ternama” atau “Aduh, maaf ya ibu-ibu anak saya belum bisa ikut kumpul, ada kerjaan soalnya. Maklum kan ia bekerja sudah bagus posisinya” belum lagi yang demikian, “Anak saya ini tidak boleh keluar rumah dulu, soalnya harus fokus dengan persiapan masuk kuliah, persiapan lomba, persiapan ini-itulah”. Semua omongan ibu-ibu itu membuat saya berpikir satu hal, peranan anak itu sangat penting ya bagi orang tua? Krusial sekali. Seolah menjadi objek yang harus pantas untuk mampu dipamerkan ketika bertemu rekan-rekannya.
Lihatlah bagaimana mereka mengatur sedemikian rupa mengenai hidup anak-anaknya, bagaimana mereka harus memilih pendidikan, bekerja di mana, bahkan terkait diri pun mereka menuntut anaknya untuk bisa berprestasi sesuai dengan keinginannya. Sungguh, anak adalah objek ekspestasi bagi orang-orang tua itu. Tentu menjadikan anak sebagai objek ekspestasi tidak berlaku untuk semua orang tua, sebab setiap orang memiliki caranya sendiri dalam mendidik anak. Itulah sebabnya aku katakan di awal, bagaimana sejatinya parameter orang tua sempurna itu? Apakah menjadikan anak sebagai objek ekspestasi itu adalah bentuk dari gambaran orang tua yang semestinya? Yang sempurna? Berarti nurani anak itu sah-sah saja bila harus dimatikan dengan dalih apa yang ditekankan orang tua adalah kebenaran, meski itu tak sesuai dengan keinginannya sekalipun. Apakah demikian? Beruntungnya saya berarti, tidak menjadi objek ekspestasi orang tua yang ambisus akan ego sosialnya. Namun, sebagai makhluk sosial sejujurnya saya miris dengan fenomena ini.
Akhir-akhir ini sendiri, ada beberapa momen yang menghampiri saya. Momen-momen itu yang akhirnya saya katakan ekspestasi orang tua terhadap anak yang terlalu ambisius. Momen pertama, atau saya sebut kasus pertama ialah ketika seorang berkesempatan saling bertukar pikiran dengan saya, kami mengobrolkan banyak hal karena sudah lama berteman. Hingga akhinya ia menceritakan keresahannya terkait hubungannya dengan kekasihnya. Kekasihnya sudah serius dengannya, pun keluarga kekasihnya yang menginginkannya untuk segera menikah karena sudah dirasa sudah waktunya. Namun, ia bimbang ketika keluarganya sendiri justru cenderung tak menyetujui apabila ia memutuskan menikah di usia ini. Alasannya, ia dirasa belum menduduki karir yang tinggi. Begitupun calon suaminya, kekasihnya itu. Keluarga teman saya menuntutnya untuk bekerja dulu di perusahaan, menjadi orang kantoran, atau syukur-syukur menjadi pegawai negeri. Menjadi orang yang memiliki jabatan, barulah menikah.
Sungguh ini pemikiran yang kolot dan nampak sekali tidak open minded, kuno. Oke, barangkali maksud keluarganya baik, agar masa depan teman saya itu terjamin ketika nanti berumah tangga. Namun, apakah menjadi pegawai kantoran atau pegawai negeri itu mutlak menjadi parameter kesuksesan yang sesungguhnya? Tentu banyak jalan menuju Roma, kalian pasti paham maksudnya. Ketika saya kembalikan kasus ini untuk saya tanyakan pada teman saya, “lantas apa yang ada di benakmu? Apakah kamu ingin menjadi pegawai?” ternyata dengan lantang teman saya menjawab, “tidak mutlak, aku tidak mutlak menginginkan menjadi pegawai. Karena, aku sudah nyaman sejatinya dengan pekerjaan yang aku tekuni saat ini, yaitu bisnis makanan.” Lantas saya kembali bertanya, “terus kenapa kamu tidak menjelaskan itu pada orang tuamu?” ia hanya terdiam lama menganggapi pertanyaan saya itu, sebelum akhirnya ia menjelaskan pada saya bahwa sejatinya berulang kali ia telah menjelaskan kehendaknya, dan apa yang menjadi kenyamanannya itu kepada keluarganya, termasuk orang tuanya. Namun, menurut keluarganya pekerjaannya itu bukanlah pekerjaan yang ketika dijadikan bahan obrolan dengan rekan-rekannya atau menjadi bahan obrolan di keluarga besaranya mampu dipandang sebagai pekerjaan yang bernilai prestise, tidak mampu mendongrak dan menyelamatkan ego sosial keluarga dan orang tuanya. Hingga pada akhirnya, pertanyaan teman saya hanya berputar pada, ia ingin menikah dengan kekasihnya, tapi keluarganya belum menyetujui apabila ia belum memiliki pekerjaan yang bernilai sosial tinggi di mata keluarganya.
Sikap-sikap orang tua seperti ini juga terjadi ketika saya bertemu dengan orang lain, dengan cerita serupa tapi tak sama. Kala itu seorang teman lama saya menelepon, ia bercerita mengenai kehidupannya di dunia kerja yang berisi orang-orang nampak hebat di luar. Namun, rapuh di dalam. Salah satunya ialah seorang pimpinannya, yang juga orang besar yang banyak disegani orang. Ia beberapa kali mengeluhkan pada teman saya dan orang-orang di lingkup pekerjaan itu bahwa betapa kecewanya ia kepada anaknya yang tidak bisa ia atur untuk mengikuti kemauannya, ia berpikir ayahnya menduduki posisi penting di sebuah kantor, institusi, perusahaan katakanlah. Sedangkan anaknya, memilih jalannya sendiri yang menurut si orang tua sangatlah memalukan dan tidak bisa dibanggakan sama sekali. Si bapak yang notabennya atasan teman saya itu selalu mengeluh bahwa ia acapkali merasa malu apabila bertemu dengan rekan-rekannya sesama pejabat yang mampu membanggakan anak-anaknya atas pencapaian mereka yang diyakini selaras dengan cita dan harapan para orang tua, yang nyatanya menurut si bapak itu tidak berlaku untuk anaknya yang tidak mampu menjangkau ambisinya.
Tidak cukup di sini, si atasan teman saya itu akirnya menjadikan anak berikutnya untuk mampu menebus kegagalan si kakaknya yang tidak bisa memenuhi ekspestasi di bapak tadi, ekspestasi atasan teman saya. Anaknya, sebut saja si adik ini di haruskannya mampu berkuliah dengan jurusan yang dapat disegani, seperti dokter atau setidak-tidaknya bisnis dengan tingkatan tinggi, doktor barangkali. Ia menaruh ekspestasi di sini bahwa anaknya si adik harus mampu menambal kegagalan kakaknya dan menjadi sesuai keinginan ai bapak.
Cerita lainnya muncul dari obrolan-obrolan atau pengamatan sekali lewat. Seperti ada seorang ibu muda yang sudah merencanakan anaknya untuk masuk kuliah dengan jurusan A, B, C, dengan alasan ia dan suaminya dulu gagal untuk kuliah di jurusan itu dan salah jurusan, sehingga anaknya yang secara tidak langsung harus menanggung kegagalan itu, memenuhi ekspestasi orang tua yang sempat gagal dan tertunda. Ada juga seorang ibu yang berteriak-teriak, meminta anaknya mempelajari satu bidang ilmu tertentu, memaksanya menjadi hebat, atau juara di bidang itu. Tahu apa yang diinginkan anaknya. Atau seorang ayah yang menunggui anaknya yang terkantuk-kantuk sudah lelah tapi masih dipaksa berlatih agar menang di pertandingan yang akan anaknya ikuti esok hari. Agar anak-anak itu mampu menjadi bahan atau objek yang bisa dihandalkan.
Sungguh, saya juga tidak tahu sejatinya bagaimana parameter menjadi orang tua yang baik itu. Bagaimana sejatinya sebagai orang tua harus bersikap, sungguh saya masih bertanya-tanya sebagai orang di usia dewasa awal yang belum merasakannya. Namun, sebagai seorang anak yang acapkali juga bertukar pikiran dengan beberapa anak manusia. Menjadi anak yang dijadikan objek pemenuhan ekspestasi orang tua itu tidak enak. Hai, orang tau, saya mohon sangat. Please, stop menjadikan anak anda sebagai objek ekspestasi anda. Berharap pada anak itu tidak salah, meninginkan yang terbaik untuk anak itu mutlak seharusnya orang tua miliki. Namun, cobalah kenali apa dan bagaimana passion anak anda. Seperti apa kehidupan yang diinginkan oleh anak anda? Apa pekerjaan yang menjadi kesukaannya? Di mana dan di jurusan apa ia ingin menempuh pendiikan? Dengan siapa ia ingin menikah? Dan seterusnya, selami dan pahami apa ingin mereka. Jangan hanya menjadikan anak sebagai objek ekspestasi untuk memenuhi gengsi sosial anda, apalagi sebagai tumbal atas kegagalan anda di masa lalu. Usaikan sudah perkara masa lampau anda, jangan meminta anak untuk menjadi obat. Sebab, mereka juga punya harap dan inginnya.