Yang Sudah Seharusnya Dimiliki Perempuan
Pada submisi column kali ini, Mutiara Humaira menulis tentang hak untuk berekspresi yang dilihat dari kaki yang sedikit terekspos.
Words by Whiteboard Journal
Jika disuruh memilih untuk diam di rumah atau pergi keluar rumah, saya akan memilih untuk diam di rumah tanpa membutuhkan waktu panjang untuk berpikir. Siapa yang tidak menyukai memakai baju rumahan yang sudah belel, yang nyaman serta sejuk? Sebagai perempuan juga, siapa yang tidak suka rasa bebas setelah berjam-jam berada dalam kungkungan pakaian dalam yang menopang bagian tubuh kita? Lagipula, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman serta nyaman. Saya pun memperlakukannya seperti itu: memakai baju yang longgar agar tidak sesak, memakai celana pendek dan baju tipis agar tidak kepanasan. Akan tetapi, ibu saya sering mempermasalahkan pakaian yang saya pakai di dalam rumah kami.
“Pakailah celana yang lebih panjang agar tidak digigit nyamuk!” katanya, padahal saya tahu maksudnya tidak sekadar pencegahan dari gigitan nyamuk. “Ganti bajunya! Apa enggak malu badannya kelihatan begitu?” katanya, padahal saya tahu semua orang di rumah jarang melihat satu sama lain karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Namun, kedua saudara saya—yang merupakan laki-laki—tidak mendapatkan perlakuan yang sama tentang persoalan ini. Memang banyak mata dan tangan yang kotor dan menjijikan di luar sana, tapi apakah saya masih harus mencegah hal-hal buruk itu terjadi kepada saya walaupun saya sedang berada di tempat yang seharusnya paling aman di dunia ini?
Jika dipikir-pikir kembali, rasanya orang-orang selalu mempunyai komentar tentang baju yang dipakai seorang perempuan. Semua alasan disebutkan agar perempuan merasa tidak bebas dan aman mengekspresikan dirinya sendiri dengan pakaian yang ia suka. Bajunya terlalu ketat, celananya terlalu pendek, jilbabnya kurang panjang. Hal yang tidak mempunyai tangan, otak, dan nafsu untuk menyakiti orang lain menjadi hal yang disalahkan. Sementara itu, orang-orang yang mempunyai niat untuk menyakiti orang lain hanya karena berekspresi dengan pakaiannya malah tidak digubris dan dibiarkan begitu saja.
Roland Barthes mengungkapkan tentang “the language of fashion”, bahwa pakaian merupakan suatu objek yang dianggap dapat menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Maka dari itu, pakaian sering digunakan untuk memperlihatkan identitas individu yang memakainya. Namun, mengapa jika seorang laki-laki dengan celana pendek dan tanpa atasan dianggap sedang mengekspresikan maskulinitasnya, tetapi perempuan dengan celana dan kaus pendek dianggap mengekspresikan undangan untuk menggerayangi tubuhnya walaupun tujuannya sama: agar keduanya tidak kepanasan di hari yang sangat terik?
Hal ini pun sering terjadi di lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi rumah kedua, yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan menghargai sesama manusia. Banyak sekolah yang menerapkan peraturan untuk mengatur pakaian yang dipakai oleh murid-muridnya. Namun, peraturan ini terasa berat sebelah. Tidak terhitung berapa banyak murid perempuan yang dipulangkan karena memakai “pakaian yang dapat mengganggu dan tidak pantas”.
Mengapa hal-hal ini terjadi? Mengapa tidak mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa setiap individu berhak berekspresi? Mengapa tidak mengajarkan murid-muridnya untuk tidak mengobjektifikasi individu lain hanya karena cara berpakaiannya? Alih-alih melanggengkan misogini yang terinternalisasi sebagai warisan dari generasi sebelumnya, mengapa sekolah tidak mengajarkan untuk saling menghargai dan tidak melanggar hak asasi individu lainnya?
Tidak ada orang yang berdiri di depan lemarinya untuk memilih baju yang cocok dipakai agar ia menjadi sasaran pelecehan. Tidak ada juga orang yang keluar rumahnya dan berniat memancing orang lain untuk berbuat yang tidak-tidak kepadanya. Sejarah penindasan terhadap perempuan sudah sangat panjang yang ditambah dengan fakta bahwa sebagian besar korban pelecehan adalah perempuan mengakibatkan perempuan yang dipaksa untuk mengalah karena dianggap sebagai pemicu kejadian mengerikan itu terjadi.
Pakaian perempuan diatur. Keamanan yang seharusnya perempuan miliki setiap harinya dirampas akibat dari ketakutan yang tidak ada habisnya karena kejadian itu dapat terjadi kapan, di mana, dan kepada siapa saja. Jika dilihat dari sudut pandang perempuan atau korban pelecehan, hal ini sangat tidak adil karena mereka adalah korban dan tidak bertanggung jawab kepada kejadian tersebut. Mereka yang seharusnya mendapatkan pertanggung jawaban dari trauma yang mereka dapatkan hanya karena individu lain tidak dapat mengontrol diri dan nafsunya.
Perempuan sudah seharusnya memiliki kebebasan dalam berpakaian. Perempuan sudah seharusnya merasa aman di mana pun dan kapan pun. Perempuan sudah seharusnya mendapat pujian karena ia terlihat cantik dengan pakaian yang mengekspresikan dirinya. Perempuan tidak patut menerima paksaan atau dikontrol karena kejadian yang berada di luar kehendaknya. Sementara itu, laki-laki yang merupakan mayoritas dari pelaku pelecehan tidak dituntut apapun, bahkan tidak diberikan edukasi agar dapat mengetahui mana hal yang benar dan salah.
Alasan di balik melakukan pemaksaan kepada perempuan adalah bukan karena perempuan adalah gender yang lemah, melainkan masyarakat mengetahui bahwa perempuan lebih kuat dari apa yang terlihat karena semua perlakuan yang mereka dapatkan selama ini. Mereka tahu bahwa perempuan mampu untuk melakukan banyak hal dan mereka akan merasa kecil jika mengetahui bahwa mereka bukan lagi pusat kehidupan perempuan. Dengan kemajuan teknologi dan pendidikan yang didapatkan perempuan saat ini, perempuan terekspos oleh informasi dan menjadi tahu apa saja hal yang mereka dapat lakukan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Mereka sudah mengetahui bahwa perempuan mampu melakukan banyak hal, tetapi mereka tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memberitahu dunia tentang keterampilan dan kemampuannya.
Hal itu juga terjadi karena sebagian besar masyarakat tidak mengerti atau bahkan tidak mengetahui maksud dari kesetaraan gender itu sendiri. Masih banyak orang yang menganggap bahwa kesetaraan gender tercapai saat ada gender yang turun untuk menyamaratakan dengan gender lainnya. Kesetaraan gender menuntut untuk memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada semua gender. Kesetaraan gender menuntut laki-laki dan perempuan dapat melakukan banyak hal tanpa dihakimi hanya karena menjadi diri sendiri. Kesetaraan gender menuntut rasa aman dan nyaman untuk berekspresi yang berhak didapatkan oleh semua gender. Kesetaraan gender menuntut toleransi agar semua orang saling menghargai satu sama lainnya.
Jika hanya karena kaki seorang perempuan yang sedikit terekspos dapat membuatmu kehilangan kendali, bukannya hal itu membuktikan bahwa perempuan lebih berkuasa? Atau hal itu membuktikan bahwa masih banyak orang yang melihat perempuan hanya sekadar objek, bukan sebuah individu kompleks dengan ide, tujuan, dan perasaan?