Welcome to the Era of the Sandwich Generation
Pada submisi open column kali ini, Lala Novrinda menulis tentang realita yang dihadapi oleh sandwich generation.
Words by Whiteboard Journal
Dorothy A. Miller, seorang profesor dan direktur praktikum di University of Kentucky, dalam jurnalnya yang berjudul “The ‘sandwich’ generation: adult children of the aging“ pada tahun 1981 mendeskripsikan sandwich generation sebagai orang dewasa yang terjepit di antara orang tua lansia dan anak yang semakin tumbuh dewasa. Mereka yang berada di posisi ini harus menanggung biaya hidup orang tua, anak, sekaligus diri mereka sendiri. Kondisi ini jelas membuat mereka tak jarang merasakan stres karena tekanannya yang cukup besar (Miller, 1981).
Era di mana sejatinya masing-masing dari para individunya bahkan tidak sanggup dengan mudah membeli rumah untuk keluarganya sendiri. Aib? Bukan. Namun di awal rasanya ibarat sedang bekerja sosial untuk orang banyak. Kebebasan finansial tidak diraih sepenuhnya sekalipun sudah mandiri. Seperti ada yang terenggut namun tidak benar-benar hilang, karena yang menerima adalah keluarga dan orang tua yang terkasih nan tiada tergantikan. Menjadikan generasi generasi ini menjadi generasi yang tangguh. Luar dalam. Jangan ragukan lagi mentalnya yang lebih dari sekadar baja.
Jika dikaitkan dengan sebuah survei ekonomi, terdapat kecenderungan anak di Indonesia untuk berbakti dengan cara menanggung beban hidup orang tua. Berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas, 2017) mengenai status tinggal bersama lansia di Indonesia yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2017, mayoritas lansia masih tinggal dalam bentuk tiga generasi atau bersama keluarga. Persentase tertinggi di kota maupun di desa ditempati oleh lansia yang tinggal dalam bentuk tiga generasi. Jumlahnya mencapai 36,32 persen di kota dan 35,16 persen di desa.
Menggenggam passion dan membawanya kemana-mana. Namun ketika orang-orang di rumah memberikan pertanda bahwa stok di rumah sudah kosong, atau ada yang harus dibayar, karena adik dan kakak kebetulan sedang tidak ada, misalnya. Lalu passion-nya terpaksa diletakkan sejenak di tempatnya. Tidak diagul-agulkan dulu sementara waktu. Para insani sandwich generation ini akan terus berdiri dan melangkah mengupayakan dan mewujudkan apapun yang impossible menjadi I’m possible. Semua yang berkaitan dengan target dan iming-iming komisi akan menjadi yang dicari dan diburu oleh mereka. Sambil mengelus dada dan menghembuskan nafas dengan pelan. Memastikan tidak ada satupun yang menyimak pemandangan itu. Dijamin seorang extrovert sekalipun akan berubah menjadi introvert dalam sekejap karena kondisi ini.
Menjadi sandwich generation tidak semata hanya karena ketidakmampuan finansial orang tua. Ada anggapan bahwa anak merupakan investasi. Selain itu, terdapat beberapa budaya yang menjadi faktor pendorongnya, seperti budaya mematuhi perintah orang tua dan budaya balas budi. Berbagai budaya tersebut tidak sepenuhnya salah. Membiayai hidup orang tua yang sudah menua merupakan wujud bakti anak. Namun, hal tersebut secara tidak langsung akan membebankan generasi selanjutnya. Sebab, ketidakstabilan finansial yang dimiliki oleh generasi saat ini harus ditanggung oleh generasi penerusnya. Efek domino inilah yang menyebabkan sulit diputus. Tapi, yakin tidak semua melulu tentang uang yang menjadi perdebatan. Namun tugas yang tunggal seketika menjadi manunggal. Dan perjalanannya melalui landai hingga terjal, hujan hingga panas kembali, dan tidak banyak yang tahu dengan lika likunya. Yang orang lain lihat adalah tentang hiruk pikuk dan suasana yang ramai hingar bingar dalam satu atap. Akan selalu ada ruang untuk berbagi, akan ada saat di mana semua kelak tinggal kisah masa lampau dan perjalanan kehidupan yang bisa dijadikan referensi ke anak dan cucu nantinya.
Perihal ruang, batasan, dan kesempatan setiap manusia untuk bisa mandiri dan mewujudkan perjalanan hidupnya terlepas dari susah ataupun mudah. Perihal pembelajaran tentang bagaimana kita sepatutnya memperlakukan yang sepatutnya dan sebaiknya terhadap yang kita sebut orang tersayang dan terkasih. Perihal memberikan ruang dan kesempatan untuk bertumbuh kepada orang orang kesayangan. Semuanya tidak mudah dibaca dengan ilmu sawang sinawang. Perlu komunikasi dari hati ke hati. Generasi ini tidak perlu timbal balik karena bukan sebuah perusahaan jasa. Hanya perlu pengertian dan validasi tindakan bahwa semua sudah diupayakan sesuai dengan porsi dan takarannya. Sekalipun sesekali waktu kadang terlewat dan terlepas dapat menjadi bom waktu.