Ternyata, Mengubur Mimpi Itu Bagian dari Menjadi Dewasa
Tanpa bersikap morbid, melalui submisi Open Column-nya, Miriam mengajak kita untuk mengubur mimpi-mimpi seiring bertambahnya usia. Sebab, menurutnya keputusan itu adalah sebuah keniscayaan untuk tetap tumbuh.
Words by Whiteboard Journal
Dulu, saya ingin sekali menjadi dokter hewan. Mengapa tidak? Saya begitu menyayangi binatang, punya empati yang besar terhadap mereka, dan mudah sekali menitikkan air mata saat menyaksikan video hewan-hewan bernasib nahas di media sosial. Saya ingin bisa menyelamatkan mereka semua.
Awalnya, saya kira rasa empati dan kecintaan pada hewan saja sudah cukup. Ternyata, saya lemah dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Saya takut darah, tidak berani memandang jarum suntik, apalagi melihat tubuh hewan termutilasi. Saya sudah pasti akan menangis duluan saat harus memberitakan kabar buruk kepada pemilik hewan yang saya rawat.
Kemudian saya pun sadar, mungkin saya memang tidak ditakdirkan menjadi dokter hewan untuk alasan-alasan krusial ini.
Dulu, saya bermimpi menjadi diplomat atau bekerja di organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Saya pun mantap memilih Hubungan Internasional sebagai prioritas utama jurusan kuliah. Kenyataannya, baik UGM maupun UI tidak memberikan jalan bagi saya untuk mewujudkan mimpi itu. Hasil SBMPTN diumumkan, saya mendarat di pilihan kedua: Sastra Inggris.
Belum menyerah, saya pun mengambil pilihan kedua tersebut sembari tetap berpegang pada mimpi saya kala itu. Dengan semangat membara, saya bergabung ke dalam UKM Model United Nations di kampus demi memupuk soft skill yang dibutuhkan untuk menjadi diplomat.
Lagi-lagi, rencana tidak berjalan mulus. Saya merasa tertinggal dan tidak berbakat. Saya tampak begitu mungil, begitu tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman lain yang begitu ambisius, pintar, dan bersahaja. Di sinilah mimpi kedua saya gugur.
Saat memasuki dunia kerja pun, saya menumbuhkan mimpi yang lain. Saya ingin sekali bekerja di lembaga think tank internasional yang berfokus pada sektor lingkungan dan keberlanjutan. Kemudian saya berangsur-angsur sadar—dari melihat kompetensi yang dibutuhkan di lowongannya dan dari orang-orang hebat yang bekerja di baliknya—kalau saya tidak punya kualifikasi yang mumpuni untuk bekerja di sana. Jalur karir yang saya tempuh sudah terlalu jauh, dan saya tidak tahu cara membuatnya menjadi selaras.
Mungkin masih banyak mimpi-mimpi kecil lain yang terpaksa saya tinggalkan, tapi setidaknya, ketiga mimpi tadi adalah yang paling besar dan paling getol saya perjuangkan pada masanya.
Ternyata, layaknya proses pendewasaan pada umumnya, kita dipaksa untuk lebih realistis dalam bermimpi. Atau setidaknya jadi lebih strategis: tahu mimpi mana yang bisa dikejar, dan mana yang memang terlalu utopis.
Saya mungkin akan terdengar seperti demotivator. Tapi, menjadi dewasa mengajarkan saya bahwa di dalam kepala dan imajinasi kita, bermimpi itu menyenangkan dan semudah membalikkan telapak tangan. Sayangnya, ketika membawanya ke dunia nyata, ada begitu banyak halang rintang yang membuat kita babak belur dalam mewujudkannya. Dan terkadang, jalan keluar satu-satunya adalah merelakan.
Mungkin, bukan mimpi ini yang menjadi takdir kita. Manusia bisa bermimpi dan berencana, seidealis dan sesempurna mungkin. Tetapi, hidup kadang membawa kita pada jalan yang betul-betul berbeda.
Meski begitu, cerita tentang mimpi ini tidak melulu pesimis. Saya juga sadar bahwa mengubur mimpi tidak lantas membuat saya menjadi takut bermimpi. Ketika saya harus mengubur satu mimpi, saya tidak segan untuk menanam dan menumbuhkan mimpi-mimpi yang baru:
Mimpi yang saya pupuk sepanjang perjalanan hidup yang panjang dan berliku; mimpi yang sebelumnya saya tidak tahu, yang tidak pernah terpikirkan oleh diri saya saat masih duduk di bangku sekolah; mimpi yang muncul dari rasa cinta yang perlahan tetapi konsisten; mimpi yang saya temukan dari menyaksikan dunia dan ketidaksempurnaannya.
Mungkin, menjadi dewasa adalah tentang mengakui bahwa beberapa api memang ditakdirkan untuk padam. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa menyalakan api yang lain. Dan ketika kita cukup berani untuk menyalakan api yang baru, kehidupan telah melatih kita untuk menjadi lebih andal dalam menjaga api tersebut tetap membara.
Jadi, ketika ada orang yang bilang bahwa “dreams do come true”, saya mau bilang bahwa di ujung lain spektrum mimpi, many dreams don’t come true. Mungkin bisa jadi terasa pahit, menyakitkan, dan tidak adil untuk diterima dan diakui. Tapi buat saya, pengalaman ini mampu membebaskan saya dan membuat saya lebih rendah hati.
Lagipula, kita selalu bisa melahirkan mimpi yang baru, bukan?
Yakni mimpi yang lebih terukur dan relevan; mimpi yang tinggi tetapi masih dalam jangkauan; mimpi yang kita tahu cara menggapainya.
Maka, tetaplah bermimpi selagi mimpi itu gratis. Tetaplah bermimpi meskipun banyak yang harus terkikis. Tetaplah bermimpi sekalipun bisa berubah drastis. Karena tidak ada mimpi yang terlalu kecil, dan tidak ada mimpi yang terlalu terlambat untuk ditemukan.
Lantas, di depan kuburan mimpi-mimpi tersebut, saya ucapkan salam perpisahan yang manis, “Saya pamit mengejar mimpi yang lain dulu, ya. Saya akan berusaha lebih keras lagi supaya dia tidak bernasib sama seperti kalian.”
Mungkin kali ini, semesta akan memeluk mimpi kita (yang kesekian). Ya, semoga.