Terbentur, terbentur, terbentur dan terbentur.
Pada submisi column kali ini, Vena Meirzani menulis lamunan tentang ragam ekspektasi dan pilihan dalam hidup.
Words by Whiteboard Journal
Salah satu teman saya pernah berkata lebih baik melakukan suatu keputusan yang bodoh daripada tidak melakukan apapun sama sekali. Ketakutan untuk mencoba, terkadang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi semua umat manusia dalam menentukan keputusan-keputusan dalam kehidupannya. Mulai dari skala kecil seperti “makan siang apa saya hari ini?” sampai memutuskan “dengan siapa saya akan menghabiskan sisa hidup saya?”. Dari semua pertanyaan tersebut, kemudian akan tercetuslah satu gagasan atau jawaban yang pada akhirnya memiliki dampak baik ataupun buruk bagi kehidupannya. Tentu, saya sangat menyadari secara harfiah manusia pastinya ingin keputusan yang telah mereka ambil dapat berdampak baik bagi poros kehidupannya.
Ekspektasi akan hasil terbaik ini lah yang pada akhirnya dapat menggoyahkan pendirian manusia dalam mengambil suatu keputusan. Tidak ada yang salah dari berekspektasi, sama sekali tidak ada. Yang salah ialah jika ekspektasi tersebut tidak bisa kalian kontrol, dan berujung kecewa menjadi teman. Justru menurut saya, orang-orang yang memiliki ekspektasi terhadap kehidupannya merupakan orang yang memiliki ambisi hidup yang kuat. Padahal jika kita lempar kembali, yang memasang standar ekspektasi tersebut ialah diri kita sendiri. Secara stimulus, adrenalin manusia dapat terpacu dan menimbulkan berbagai ketakutan tersendiri. Yang pada akhirnya mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan terlebih dahulu sambil mengukur risiko apa yang akan terjadi di balik semua keputusan yang mereka bulatkan. Setiap manusia juga memiliki caranya masing-masing untuk mengukur risiko tersebut. Ada yang diukur dengan angka, di lain sisi ada juga yang hanya mengira-ngira. Kembali lagi saya tekankan bahwa tidak ada cara yang paling benar, hal ini dikarenakan semua manusia pastinya punya cara terbaik versi mereka dalam mengambil sebuah keputusan.
Bertahun-tahun saya kerap kali menyesal jika mengambil suatu keputusan yang salah. Sayangnya rasa penyesalan tersebut dapat menyelimuti diri saya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sehingga menyebabkan saya kerap kali kehilangan momen karena sudah tenggelam dalam lautan penyesalan. Setelah saya menganalisis diri saya lebih jauh, hal ini dikarenakan saya takut akan terbentur ke dalam hal yang salah dan menghambat diri saya untuk terbentuk atau bahkan saya merasa akan terbentur seumur hidup saya. Padahal jika kita mengutip dari apa yang Tan Malaka pernah katakan “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk” kita dapat percaya bahwa proses untuk terbentuk itu pasti nyata adanya. Tidak peduli hanya perlu terbentur tiga kali persis seperti yang Tan Malaka katakan, ataupun butuh beratus ratus bahkan beribu kali terbentur.
Mungkin kalian bahkan diri saya sendiri sering kali bertanya-tanya mengapa diri kita masih di titik start yang sama, sedangkan teman-teman yang lain terlihat sudah mendekati garis finish. Mengapa hanya diri kita yang terus terbentur, terbentur, dan terbentur, sedangkan yang lain sudah terbentuk? Kemudian beberapa hari lalu, seperti tersambar petir di siang hari, tiba-tiba saja terbesit di pikiran saya bahwa salah satu kunci untuk dapat terbentuknya diri kita ialah dengan percaya. Percaya bahwa semua manusia memiliki momentumnya masing-masing. Percaya bahwa seburuk apapun keputusan yang kalian ambil, akan membawa terbentuknya diri kalian yang sebenarnya. Ada sebuah kalimat yang sedikit klise dan tetap menjadi pedoman bagi perjalanan terbentuknya diri saya, kurang lebih seperti ini, “Ada yang sudah terbentuk pada usia 20an, di lain sisi ada yang bahkan baru terbentuk di usia 60an”. Perkataan tersebut selalu menjadi pedoman saya ketika merasa gagal dalam berbagai lini kehidupan, mungkin lebih dramatisnya merasa tidak ada tempat yang kosong untuk diri saya berkembang. Selain itu kita juga dapat percaya bahwa setiap keputusan buruk yang kita buat, bukan semata-mata merupakan suatu bentuk kesialan yang menimpa hidup kita. Akan tetapi merupakan suatu bentuk penguatan diri sendiri, baik dari segi mental maupun fisik. Jika saya membawa penulisan ini ke arah yang lebih religius, saya akan berkata bahwa kita dapat mengambil hikmah dari setiap keputusan buruk tersebut dan percaya bahwa Allah sudah memutuskan apa yang terbaik bagi diri kita.
Bisa terbilang proses terbentur tersebut dapat menjadi ajang evaluasi diri bagi kita. Karena kita dapat melihat kepingan-kepingan puzzle mana yang masih berantakan dan dapat kita perbaiki untuk selanjutnya. Proses terbentuk diri saya sendiri pun tentu masih sangat jauh. Mungkin dari skala 100%, proses saya menuju terbentuk masih di skala 20%. Tapi satu hal yang selalu saya percayai, dalam semua keputusan yang saya buat, meskipun hasilnya tidak sesuai ekspektasi, perjalanan saya menuju terbentuk 100% semakin dekat. Tidak peduli hanya meningkat 1% sekalipun, saya anggap itu merupakan salah satu bagian dari cerita kehidupan saya yang patut saya syukuri. Dan sedikit banyak saya juga menyadari bahwa memang proses saya tidak secepat teman saya yang lain. Mungkin start saya sedikit lebih lambat dari teman saya yang lain. Akan tetapi saya yakin bahwa diri saya yang sekarang ada, karena saya memutusakan untuk terbentur berkali-kali. Untuk menutup artikel ini, saya menemukan kutipan yang cocok untuk merepresentasikan keseluruhan artikel. Diambil dari lirik Hindia feat Rara Sekar, dalam lagunya yang berjudul membasuh, yaitu “Mengering sumurku terisi kembali, ku temukan makna hidupku di sini”. Sama seperti kalian, seburuk apapun hasil dari tiap keputusan yang kalian buat, maka percayalah bahwa akan selalu terdapat makna kehidupan yang tersirat di dalamnya.