Tentang Kesejahteraan Satwa: Saya Bisa Apa?
Pada submisi column kali ini, Dhiani Probhosiwi menulis tentang keinginannya untuk menghapus kekerasan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap satwa serta apa yang bisa dilakukan untuk menghadirkan solusinya.
Words by Whiteboard Journal
Isu kesejahteraan satwa mungkin masih menjadi sesuatu yang tak banyak mendapat sorotan di negeri ini, jika dibandingkan dengan isu-isu lain, seperti hak asasi manusia, feminisme, lingkungan, dan lain sebagainya. Tapi, izinkan saya berbagi sedikit pemikiran saya, sebagai orang yang memiliki kegelisahan besar terhadap isu ini.
Dari dulu saya telah terbiasa mendengar pengibaratan semacam “…bagaikan kelinci percobaan”, “…bagaikan hewan sirkus”, ataupun “…diperlakukan seperti binatang” ketika seseorang sedang dihadapkan dengan sesuatu yang kurang mengenakkan, merugikan, atau bahkan mengancam nyawa dan keselamatannya.
Pengibaratan-pengibaratan ini seolah mewajarkan perilaku sewenang-wenang yang manusia seringkali terapkan kepada para binatang—menjadikan kelinci sebagai hewan percobaan di laboratorium; mengerangkeng ayam dan hewan ternak lainnya di kandang yang begitu sempit sehingga mereka tak bisa menyalurkan insting alamiahnya untuk sekadar berjalan; melatih hewan-hewan dengan kekerasan untuk kemudian dipertontonkan sebagai sirkus; memenjara hewan-hewan tak bersalah di dalam kandang untuk tujuan wisata kebun binatang dengan dalih “wisata edukasi”.
Hal-hal semacam ini sudah sedari dulu ada di sekitar saya. Tak usah jauh-jauh, tetangga di dekat rumah kos saya semasa kuliah pun memelihara banyak ayam di kandang yang begitu sempit. Dulu saya menganggap itu sebagai hal yang wajar dan memang “dari sananya begitu”.
Saya mulai tergerak untuk berpikir ulang mengenai “kewajaran” ini sejak saya berkunjung ke peternakan sapi saat menjalani kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) semasa kuliah. Di sana saya melihat sapi-sapi yang benar-benar tak punya ruang untuk bergerak; hanya duduk dan berdiri serta buang air di tempat yang sama! Sejak saat itu saya jadi lebih memperhatikan sekeliling. Walaupun mata saya sudah terbiasa, ayam di kandang yang sempit pun jadi tak lagi terasa wajar dalam hati dan pikiran saya.
Hal ini membuat saya berkutat dengan pertanyaan seputar: Apakah manusia memang diciptakan untuk berkuasa di muka bumi, dan makhluk lain memang hanya diciptakan sebagai pelengkap? Lama saya berkutat dengan pertanyaan ini, namun perlahan saya menemukan jawaban untuk diri saya sendiri. Fakta bahwa manusia telah mendominasi bumi memang tak dapat dielakkan. Tapi, bahwa manusia merasa paling berkuasa dan paling berhak atas bumi dan seisinya, sehingga manusia bisa melakukan apapun untuk kepentingan sendiri, ini semua adalah pilihan.
Manusia bukan satu-satunya entitas yang terlahir di muka bumi, dan tanpa entitas lain pun manusia tak mungkin bisa bertahan. Maka sudah sepatutnya, saya, sebagai bagian dari entitas manusia merasa berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memilih peran apa yang harus saya lakukan di muka bumi ini. Dan saya memilih untuk hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk lain; berbagi tempat tinggal dengan binatang dan tumbuhan, sebisa saya.
Tapi permasalahan superioritas dan dominasi manusia ini memang tidak sederhana, bahkan sangatlah rumit. Dominasi manusia atas bumi dan seisinya ini sudah terjadi puluhan ribu tahun lamanya. Untuk mengubah sistem yang telah sekian lama berjalan tentu sama sekali tidak mudah, apalagi untuk orang seperti saya; karyawan biasa dengan penghasilan biasa-biasa saja yang hidup di perkotaan.
Akses dan keistimewaan apa yang saya punya untuk meyakinkan para petinggi negara—atau siapapun yang memegang kuasa—untuk menutup semua peternakan kejam dan kebun binatang yang tak peduli kesejahteraan penghuninya? Lahan mana yang bisa saya pakai seandainya saya bisa me-rescue semua sapi dari peternakan kejam tersebut?
Mimpi saya besar: Menghapus kekerasan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap satwa! Tapi saya bisa apa? Banyak hal yang harus dilibatkan untuk mencapai tujuan yang bahkan terdengar utopis ini. Terkadang hal ini membuat saya frustrasi karena terlalu sibuk memikirkan hal yang jelas-jelas ada di luar kendali saya; jutaan sapi di peternakan yang harus menderita seumur hidup, “diperkosa”, dipisahkan dari anaknya, dan berakhir dijagal dengan brutal; monyet laboratorium yang sebagian kepalanya harus diiris agar bisa jadi objek penelitian; gajah sirkus yang dipukuli habis-habisan; topeng monyet yang dipenuhi dengan trauma fisik dan psikis!
Memikirkan semua ini sungguh melelahkan. Tapi, sejak beberapa tahun belakangan, saya memutuskan untuk menerapkan cara pandang yang lebih realistis yang diimbangi dengan keoptimisan.
Saya memutuskan untuk tetap menjalani hari-hari saya seperti biasa. Saya tetap membawa makan kucing atupun anjing ke mana-mana untuk diberikan kepada kucing dan anjing liar; menulis artikel ataupun utas di media sosial mengenai kesejahteraan hewan ataupun sekadar membagikan unggahan-unggahan edukatif dari akun-akun yang lebih besar untuk menyebarkan kesadaran kepada publik; berbicara dari hati ke hati dengan orang terdekat mengenai isu-isu kesejahteraan hewan; tidak lagi makan daging.
Saya sadar bahwa ketika saya memberi makan satu kucing jalanan yang kelaparan, masih ada ribuan kucing lain di luar sana yang kesulitan mencari makan. Saya pun sadar dengan meminta keluarga saya untuk tidak naik delman ataupun pergi ke kebun binatang tidak lantas membuat kuda-kuda delman bisa berlarian di tanah lapang dan singa kebun binatang bisa kembali jadi raja hutan–justru mungkin akan membuat mereka semakin sulit mendapat makan karena “si pemilik” ataupun pengelola tak lagi mampu memberi perawatan yang layak jika tak banyak orang yang naik (delman) atau berkunjung (ke kebun binatang). Saya juga sangat, sangat sadar bahwa dengan tidak lagi makan daging ayam, kandang baterai tidak lantas hilang dari muka bumi.
Tapi saya juga sadar, satu langkah kecil yang saya lakukan sangatlah berarti bagi mereka, teman-teman satwa yang membutuhkan suara kita, walaupun hasilnya tidak instan. Hanya karena mereka tidak berbicara bahasa manusia, bukan berarti kita bisa bertindak sewenang-wenang. Mereka tidak mengerti aturan dan sistem yang manusia buat dan terapkan, lalu mengapa mereka yang harus selalu menjadi korban?
Masalah yang kompleks tentu membutuhkan solusi yang memakan waktu lama dan bantuan dari manusia yang tidak sedikit. Saya memilih tetap melakukan hal-hal kecil yang saya lakukan karena saya percaya jika hal-hal kecil ini dilakukan oleh banyak orang, maka suatu saat hal-hal kecil ini akan menjadi hal yang besar.