Tak Mengapa Menjadi Mas-Mas Biasa
Pada submisi column kali ini, Fajar Shabana Hafiiz menulis tentang menjadi seorang mas-mas biasa dan pentingnya untuk bisa menerima situasi walau tidak sesuai ekspektasi.
Words by Whiteboard Journal
Buruknya menjadi dewasa, mulai realistis memikirkan masa depan yang menghantui, walau takdir sudah menentukan rezeki hingga kita mati. Padahal tuhan sudah menentukan semuanya, walau bukan berarti kita hanya bersantai-santai di rumah sambil menunggu rezeki itu datang menghampiri kita. Usaha dan doa komponen yang harus kita usahakan sampai kita tiada, agar bisa membangun masa depan yang cemerlang walau kadang kata mapan masih menjadi diksi yang kontra bagi beberapa insan. Sulitnya menjadi PNS, pegawai BUMN, pegawai swasta yang ternama, bahkan takutnya kegagalan kita untuk memulai membangun suatu usaha menjadi tebing tinggi yang harus kita daki untuk menjadi individu yang merdeka secara finansial dan berlepas nafkah dari kedua orang tua. Menyogok bahkan berbuat curang adalah contoh dari hasil depresi kita, karena gagal mendaki tebing tinggi yang memiliki citra hebat di masyarakat.
Kita semua ingin menjadi kaya dan sukses, banyak manfaat dan kebaikan di dalamnya. Kebaikan bagi kita, keluarga, bahkan bagi orang lain yang ada di dekat kita. Walau intinya itu semua hanya untuk menyumpal ego kita tentang harta. Banyak yang sudah melewati tebing tinggi tadi, dan memiliki citra yang hebat di masyarakat, tapi banyak juga yang tergelincir akibat keserakahan dan ego yang tak pernah sirna dalam fitrah manusia. Kadang kita kurang bersyukur, dan tidak tahu kapasitas kita. Kadang kita selalu melihat ke atas ada awan yang cerah tanpa melihat ke bawah ada tanah yang subur dan memerah. Kita hanya melihat awan yang cerah tanpa memedulikan kilat dan badai di atas sana, kita lupa bahwa di bawah ada tanah merah yang subur banyak tumbuhan dan sayuran yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Kita selalu berusaha menjadi superior di masyarakat, kita tidak mau menjadi bagian yang biasa.
Sadar kapasitas diri tanpa mengenyampingkan usaha dan doa seharusnya sudah ternanam sejak kita kecil, agar dewasa nanti kita tak perlu susah payah dan depresi menerima kenyataan ini. Kita yang dulu memiliki cita-cita tinggi, lambat laun pudar hilang tertelan biaya pendidikan, hilang dan pudar karena rasa malas yang begitu dalam, hilang dan menambah pudar karena sadar akan kemampuan, dan banyak yang putus asa karena itu semua fatamorgana.
Tidak salah memiliki cita-cita tinggi, asalkan kita juga punya usaha yang sama kerasnya dan tingginya dengan cita-cita kita. Jika sudah berusaha mati-matian, berdoa setiap malam. Tapi kenyataan tidak sesuai ekspektasi yang dibayangkan, percayalah itu adalah jalan tuhan yang terbaik bagi kehidupanmu di masa depan.
Menjadi mas-mas biasa, bukan cita-cita anak TK atau Sekolah Dasar yang masih memiliki harapan yang tinggi bagi masa depannya. Menjadi mas-mas biasa juga bukan pilihan pelarian bagi lulusan muda yang hilang ekspektasi karena gagalnya menempu cita-cita, intinya menjadi mas-mas biasa bukan aib dan hina di mata tuhan yang maha esa.
Mas-mas biasa yang sering kita temui dimana-mana. Selalu memenuhi gerbong kereta di jam kerja, memenuhi food court dan pesanannya di warteg saat istirahat makan siang, mas-mas biasa yang paling lama bersimpuh doannya setelah selesai sholat di mushola kecil paling ujung ruangan kantor, mas-mas biasa yang tiap harinya berjuang sebagai insan yang merdeka secara finansial rela pulang malam dan tersimpuh lelah dengan bergelantungan di tiang pegangan kereta.
Mas-mas biasa yang populasinya paling banyak di dunia, merepresentasikan kita semua harus tetap berjuang dan berkutat dengan masa depan, walau kehidupan tak sesuai ekspektasi dan rencana di doa-doa kita yang digantikan jalannya oleh tuhan. Mas-mas biasa yang paling ikhlas menerima takdir dan kenyataan merupakan gambaran sosok manusia semua sama saja. Di mata tuhan, yang membedakan adalah hati dan ibadahnya kepada tuhan.
Walau banyak kekurangannya, kita jarang melihat kelebihan dari mas-mas biasa ini. Dari mulai seringnya terlupa akan hal kecil, kebingungan mencari kunci motor atau mobil ketika hendak berangkat kerja, dompet atau SIM yang tertinggal di kost-kostan pinggiran ibu kota yang imbasnya terkena tilang di jalan raya, gugup dan panas dingin di meja rapat, terkena sial dicopet di terminal ketika akan merantau mencoba peruntungan, dan masih banyak lagi tragedi yang dirasakan mas-mas biasa dalam kegiatan sehari-harinya. Lebihnya kita bisa lebih realistis melihat kehidupan dengan harus banyak bersabar dan bersyukur atas pahitnya kenyataan yang ditetapkan tuhan, tuhan tahu mana yang tebaik buat kita.
Bila kita tak jadi apa-apa kita belum bisa menjadi apa-apa dan berpengaruh serta bermanfaat untuk orang banyak. Jadi sudah cukup, lupakan cita-cita dan ambisimu ketika masih di bangku kanak-kanak atau Sekolah Dasar. Fokus dan bekerja keraslah dari apa yang kamu kerjakan sekarang, banyak bersyukur dan berdoa merupakan bukti kamu telah menerima dan berdamai dengan ambisimu yang kadang tidak masuk di akal. Cukuplah social media sebagai sarana mengetahui kabar dari teman-teman, bukan media untuk iri dan dengki yang memberatkan hati, cukuplah harta seseorang yang berlebih darimu untuk membuatmu selalu melihat ke bawah bukan untuk menambah angan-anganmu di masa depan yang penuh harapan. Cukup untuk bermimpi setinggi langit tanpa ada ambisi, usaha, dan doa.
Jangan malu hanya menjadi mas-mas biasa, kamu hanya memakai motor supra dan memiliki mobil ketinggalan zaman yang kamu beli dari hasil tabungan jaga shift malam. Jangan malu hanya memiliki istri yang bukan lulusan S2 ternama dan sama-sama bekerja, bukan yang hanya di rumah dan mengurusi anak, jangan malu masih tinggal di rumah kontrakan dengan segala keminiman fasilitas yang diberikan, dan jangan malu ketika bertemu temanmu di masa lalu yang penuh perubahan sedangkan kamu masih menjadi individu yang sama nampaknya hanya menambah tua dan uban di rambutnya. Mas-mas biasa adalah kita semua, kita harus banyak bersyukur karena ini adalah yang terbaik bagi hidup kita.