Surat Yang Tak Pernah Terkirim Untuk Sahabatku, Korban Tragedi 1998
Alvin Yunata menuliskan ingatannya pada tahun 1998 dan saat-saat terakhir bersama sahabatnya, Hafidin Royan, korban Tragedi Trisakti 1998.
Words by Whiteboard Journal
Tahun 1998 adalah tahun yang berbeda tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya pikir tahun 1998 akan sangat menyenangkan bagi saya yang baru saja menjajaki tahun ke tiga di bangku perkuliahan. Saya adalah tipikal mahasiswa yang tergila-gila dengan musik. Tahun 1998 adalah tahun yang baik bagi band kami, sekumpulan pertemanan yang awalnya alumni dari SMA yang sama yaitu SMA Negeri 2 Bandung. Band lelucon kami yang bernama Harapan Jaya baru saja mendapatkan perhatian publik Bandung, kami mulai bermain di banyak acara baik pensi SMA, perguruan tinggi maupun acara umum lainnya.
Selain mendapat teman untuk bermain musik, di SMA Negeri 2 Bandung pula, saya mendapat teman karib. Salah satu teman karib itu bernama Hafidin Royan, bersamanya, saya banyak menghabiskan masa-masa SMA. Bahkan pada saat penjurusan kami bersepakat untuk terus dalam kelas yang sama. Kami sama-sama menyukai musik, khususnya musik alternatif sedang menggerogoti kami kala itu. Idhin atau Royan (panggilan kami padanya) adalah seorang teman yang menyenangkan. Cukup langka rasanya bisa mendapatkan teman yang tulus sepertinya. Ia yang jago saat main hoki dan main bola, juga aktif sebagai pecinta alam termasuk sosok yang tidak neko-neko, dia menjaga salat lima waktu, tidak merokok dan patuh dengan orang tua. Kami memiliki karakter yang 180 derajat berbeda, namun kami berteman akrab.
Ada rasa sedih saat mendengar keputusannya untuk meneruskan kuliah di Jakarta. Setelah hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama, keputusannya meninggalkan Bandung tentunya akan membuat pertemuan kami ini akan semakin langka. Realitanya seperti itu, walaupun dirinya kerap berjanji akan menemui kami di setiap akhir pekan.
Saat kuliah, saya tidak terlalu menikmati situasi perkuliahan karena salah memilih jurusan. Membuat hasrat bermusik saya semakin tinggi dan sesuai dugaan, saya lebih banyak waktu bermain band ketimbang belajar. Saat di kampus, saya lebih banyak nongkrong di sekretariat himpunan yang membuat saya bisa berbincang dengan teman lintas angkatan dan jurusan. Berada di sana membuat saya paling tidak dekat dengan tongkrongan “politik” walaupun posisi saya hanya sebagai “tim hore” yang banyak beroperasi di wilayah bermain gitar, papan karambol dan bermain kartu. Sementara di tongkrongan yang berkaitan dengan skena musik kota Bandung, bahasan aktivisme politik juga sangat kental, khususnya di area PI alias Pasar Induk (Punk Indonesia belakang Bandung Indah Plaza) dan juga di posko Bandung Hardcore Harder yang kerap mengadakan diskusi politik yang intens.
Tapi, seperti yang saya tuliskan di atas, tahun 1997-1998 saya cukup disibukkan oleh kegiatan bersama Harapan Jaya. Jujur fokus akan riuhnya isu politik memang kurang menyita perhatian saya hingga masuknya tahun 1998.
Dengan berbagai kesibukan tadi, intensitas saya bertemu dengan Royan semakin sedikit, walaupun Royan selalu meluangkan waktu akhir pekannya untuk bertemu dan berkumpul jika dirinya pulang kampung. Di sebuah kesempatan, di awal Mei 1998, Royan pulang ke Bandung dan ia menyempatkan diri untuk nonton Harapan Jaya di sebuah panggung. Seharian saya bersamanya hingga malam hari. Ketika itu, ada barang saya tertinggal di mobil Royan. Pagi harinya saya hubungi Royan via pager dan seperti biasa di sore hari Royan menjawab dengan menelepon ke rumah. Dan ternyata, itulah akhir pekan terakhir saya bersama Royan.
Bulan Mei 1998 menjadi bulan yang sulit bagi Indonesia. Indonesia mengalami resesi, kami menyebutnya krismon (krisis moneter) banyak teman-teman yang kuliah di luar negeri pulang akibat melemahnya rupiah yang drastis. Banyak usaha gulung tikar dan angka pengangguran mencuat sangat tinggi. Berita terus memanas demonstrasi mulai marak dimana-mana di setiap kampus. Di setiap daerah. Bandung yang terbilang area yang “dingin” pun turut serta dalam aksi-aksi demonstrasi walaupun intensitasnya tidak sebesar Jakarta. Yang saya rasakan, semangat seluruh mahasiswa di Indonesia saat itu sama, melantunkan protes yang senada, semua seolah diwajibkan untuk ikut serta tanpa terkecuali dan tanpa paksaan.
Tapi di antara situasi yang mulai memanas ini, kehidupan terus berputar. Ujian Akhir Semester tetap berjalan seperti biasa ditengah maraknya demonstrasi. Hari selasa pagi tanggal 12 Mei 1998 saya kembali mengingatkan Royan menanyakan perihal barang yang tertinggal di mobilnya via pager. Di saat terakhir, ia belum sempat mengembalikan barang tersebut. Hari itu, ada yang berbeda. Royan yang biasanya merespon pesan saya di ujung hari tak kunjung merespon. Ini tidak biasa. Tapi, perasaan aneh ini teralihkan pada kesibukan untuk persiapan Ujian Akhir Semester untuk keesokan harinya dan rencana bermalam belajar bersama di basecamp teman-teman satu angkatan.
Malam itu lebih dingin dari biasanya. Hujan turun menemani kami yang sedang mencoba merangkai jawaban latihan soal. Waktu menunjukkan pukul 21.00 saat hujan mulai reda. Tiba-tiba pintu basecamp diketuk. Di balik pintu, sosok sahabat SMA saya bernama Wisnu berdiri mematung dengan wajah muram. Ia membawa kabar buruk. Dia memandang wajah saya, kemudian berkata, “Idhin meninggal, ditembak tadi sore”. Segera saya menghubungi ibu di rumah via wartel terdekat, di ujung telepon, ibu saya menangis histeris mengkonfirmasi kabar buruk ini. Hari itu hancur seketika.
Persetan ujian akhir, di sisa malam itu, saya menenggelamkan diri mencari tahu kronologis kejadian. Paginya, itu di ruang ujian saya hanya mampu melihat kertas kosong dengan perasaan bercampur aduk. Saya segera keluar untuk mengejar pemakaman yang kabarnya akan segera dilakukan beberapa jam lagi. Di luar kampus, keadaan sudah cukup chaos. Pasukan ABRI dan mahasiswa sudah mulai saling dorong-dorongan, saya terjebak oleh aksi demonstrasi, tidak ada kendaraan umum yang melintas. Berpacu dengan waktu pemakaman, saya diselamatkan seorang teman kampus yang rela mengantar saya dengan motornya. Sebelum saya pergi, saya layangkan tendangan kepada salah satu aparat dan sebagai balasannya sebuah pentungan telak menghantam kepala saya. Kejadian tersebut menyulut emosi teman-teman mahasiswa lainnya. Saya segera berlari menuju motor untuk mengejar seremonial perpisahan.
Rumah yang dulu sering kami singgahi untuk bermain, pagi itu penuh sesak oleh para pelayat. Saya menerobos kerumunan menuju tempat peristirahatan terakhir sang sahabat. Dibalik kerumunan saya hanya melihat nisan dengan gundukan tanah dengan taburan bunga segar. Saya terlambat. Tak sempat melihat wajah terakhir Royan, saya hanya bisa termenung lemas di depan pusara.
Menurut informasi yang saya dapatkan, dalam tragedi sore itu sesaat sebelum aparat menembakkan peluru dari arah jembatan, Royan sedang sibuk menolong teman-teman yang terkena gas air mata. Di saat itulah Royan tertembak di pelipis kanan tembus ke kepala belakang dengan peluru ulir. Ia lalu tersungkur dan menghembuskan nafas terakhirnya. Sedih dan pilu serta kehilangan ini tak pernah terbayarkan dan saya yakin betul kalau saya bukan satu-satunya yang memiliki rasa pedih ini.
Tragedi Mei 1998 tak pernah diusut tuntas hingga saat ini, tak hanya teman-teman di Trisakti, korban juga berjatuhan dari etnis warga Indonesia keturunan Tionghoa dan masih banyak kasus lainnya. Mereka yang tak bersalah menjadi korban menyisakan cerita tragis nan pilu bagi setiap orang-orang terdekatnya. Saya yakin, banyak sosok baik seperti Royan menjadi korban.
Alih-alih menyenangkan, tahun 1998 menjadi tahun yang menyesakkan. Saya dan banyak orang kehilangan teman, saudara, keluarga, juga orang-orang terkasih. Cerita saya dan mereka tak pernah menemui ujungnya. Pada akhirnya, semua duka dipaksa untuk dikubur dalam-dalam. Tapi kami tak akan pernah lupa pada tragedi ini, seperti kami yang tak akan pernah lupa baik budi teman-teman yang menjadi korban. Kebaikanmu, dan pengorbananmu akan terus kami kenang, Royan.