Self Reward dan Betapa Gamangnya Kita Mendefinisikan Tujuan Hidup
Pada submisi column kali ini, Abul Muamar menulis tentang self reward dan sederet pembenaran yang kerap dilakukan untuk menghargai suatu pencapaian.
Words by Whiteboard Journal
Seorang teman di kantor baru-baru ini membeli ponsel baru seharga satu sepeda motor. Rp17 juta, katanya, saat kami tanya harganya berapa. Tak ayal, teman saya ini dikerumuni oleh teman-teman saya yang lain dan juga saya sendiri. Kami bergantian memegang dan mengetes ponsel baru teman saya itu sambil berdecak-decak.
Kami, atau mungkin beberapa di antara kami, berdecak bukan karena kagum, melainkan lebih ingin bilang kalau uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk hal-hal lain yang lebih “bermanfaat”, “tepat guna”, atau “baik untuk masa depan”.
“Bagusan beli sapi atau kambing. Bisa beranak-pinak, jadi usaha ternak. Kalau udah maju, resign dari kerjaan,” ujar satu teman.
“Uang segitu bisa buat DP rumah, lho,” kata teman yang lain.
“Buat apa, sih, beli HP mahal-mahal. Kan fungsinya sama aja dengan yang murah,” timpal yang lain lagi.
Tetapi, pikiran-pikiran semacam itu segera terhenti di kepala saya sewaktu teman yang baru beli ponsel itu mengatakan, “Yah, self reward….”
Self reward, katanya. Penghargaan untuk diri sendiri. Saya tertegun dan tercenung mendengarnya dan terus tercenung sampai berjam-jam kemudian, sampai saya pulang ke indekos, mandi, makan malam, bersantai sebelum tidur, sampai beberapa hari kemudian, sampai detik saya menuliskan ini.
Teman saya itu tidak memberi petuah apapun kepada saya, namun rasanya apa yang diucapkannya itu lebih menohok dibanding nasihat-nasihat orang-orang “berpengalaman” yang bisa berbicara berjam-jam untuk menyampaikan “Sebaiknya kau begini…” atau “Kalau bisa kau jangan begini…”, dan sebagainya.
Saya jadi tersentak bahwa betapa selama ini, kita—atau mungkin saya sendiri—sering kali terombang-ambing dalam memahami makna dan tujuan hidup. Untuk apa sebenarnya kita hidup? Apa yang mau kita capai dalam hidup? Masa depan seperti apa yang kita bayangkan? Kita pakai untuk apa sebaiknya uang yang kita punya, yang sudah kita kumpulkan dengan susah payah? Sampai kapan kita terus berhemat?
Seraya kita sendiri tidak yakin, atau gamang, dengan tujuan dan pandangan hidup kita, kita bisa-bisanya menghakimi pandangan atau tindakan yang dilakukan orang lain sebagai kesalahan. Dalam kasus seperti teman saya yang baru beli ponsel mahal itu, betapa mudah kita mencap orang lain sebagai hedonis atau pemboros, misalnya, sembari kita tak sadar atau lupa bahwa justru kitalah yang kelewat pelit atau irit di matanya. Cukup sering pula kita mematok standar kebahagiaan (dan standar etis lainnya) yang kita konsepsikan kepada diri orang lain, padahal kita tahu bahwa tiap-tiap orang punya standar kebahagiaannya masing-masing yang ditentukan oleh banyak faktor, seperti keadaan ekonomi, psikologi, dan lingkungan tempat orang lain itu tumbuh.
Betapa banyak dari kita yang terus didorong oleh bayang-bayang keinginan untuk segera berhenti menjadi karyawan, memiliki tanah sendiri, membangun tempat tinggal sendiri, dan memiliki usaha sendiri. Saking melekatnya bayangan itu sampai-sampai kita secara sadar (bukan lagi tanpa sadar) terlalu mengirit pengeluaran demi menabung secepat mungkin dan mengundurkan diri secepat mungkin. Menahan keinginan untuk membeli sepeda motor baru dan memilih meminjam-pakai kendaraan milik orang tua atau saudara (padahal sebetulnya kita sangat sanggup untuk membeli motor secara kontan). Menahan keinginan untuk jalan-jalan keluar kota (kita berpura-pura berdalih kepada diri sendiri bahwa sekarang sedang pandemi). Melawan keinginan untuk membeli pakaian baru (kita berdalih bahwa pakaian lama kita masih bagus-bagus semua). Menahan diri membeli makanan mewah dan minuman mahal untuk perut sendiri bahkan pada hari gajian. Membendung rasa penasaran untuk mencoba staycation di hotel saat akhir pekan atau berkencan dengan seseorang yang baru. Mengubur keinginan membeli kamera berlensa panjang untuk memenuhi hobi fotografi…. Betapa kita terlalu mencemaskan masa depan yang tak pernah pasti dan kita kelewat khawatir untuk mengeluarkan uang yang kita miliki saat ini. Sampai-sampai, tanpa kita sadar, kesehatan mental kita pun pelan-pelan terganggu. Kita bercita-cita, lalu terobsesi, lalu “menderita” sendiri saat menyadari jalan terjal yang ada di hadapan kita.
Terus, apakah yang diucapkan teman saya yang membeli ponsel baru mahal itu sepenuhnya benar? Tentu saja tidak. Boleh jadi apa yang dikatakannya hanyalah pembenaran untuk menghambur-hamburkan uang, untuk menunjukkan gaya hidup mewah, untuk pamer ke orang-orang, untuk dianggap keren, untuk—ya—macam-macam. Jika ditelusuri, memangnya pencapaian apa yang sudah kita raih sehingga kita merasa perlu memberi penghargaan untuk diri sendiri? Katakanlah penghargaan tak berarti harus diberikan setelah ada pencapaian, lalu atas dasar apa penghargaan itu perlu diberikan?
Namun paling tidak, kalimat singkat teman saya itu menyadarkan kita, atau mungkin saya sendiri, tentang betapa gamangnya kita sebenarnya dalam mendefinisikan tujuan hidup. Betapa sering kita memaksakan diri untuk meyakini bahwa apa yang kita rencanakan adalah benar-benar yang kita inginkan, yang akan membuat kita bahagia, yang akan membuat kita tersenyum lega sebelum mati.