Sekilas Renungan dari Film “Afire”: Berkarya = Cara Manusia Merayakan Ego?
Dalam submisi Open Column ini, Ahdini Izzatika menuliskan esainya tentang film Afire (2023) karya Christian Petzold mengenai ego manusia dan irisannya dengan proses berkarya.
Words by Whiteboard Journal
Afire (2023), film drama yang ditulis dan disutradarai oleh Chistian Petzold ini mengawali kisahnya dengan dua pria, Leon dan Felix, yang berniat menghabiskan liburan musim panas mereka di rumah Nadja, rekan dari saudara Felix. Meski sama-sama mengemban misi berkarya, mereka menyikapi trip ini secara berbeda: Leon adalah seorang penulis fiksi yang terobsesi untuk mengisi hari secara produktif namun tengah kehilangan inspirasi. Sedangkan Felix adalah seorang fotografer yang menikmati hari-hari dengan kegiatan relaksasi menyenangkan, layaknya liburan.
Leon yang tengah dikejar tenggat waktu manuskrip, secara kaku terpaku mengukur nilai dari hari-harinya berdasarkan progres manuskrip yang ia kerjakan. Gengsinya yang tidak ingin terlihat malas dengan bualan rencana produktif hariannya, kerap tak terbukti, karena tak mendapat inspirasi dan mudah terdistraksi. Hal ini menjadi relevan dan jenaka. Berbagai adegan menunjukkan keterikatan dirinya terhadap karyanya, namun tidak terhadap dunia sekitar sebagai buah sumber inspirasi karya.
Nadja, yang awalnya merupakan figur misterius yang nama dan keberadaannya hanya disebut atau ditandakan melalui suara desahan pada kamar sebelah yang mengusik tidur Leon dan Felix, memikat Leon pada pandangan pertama. Nadja merupakan karakter yang hangat, nyaman dengan dirinya, sederhana, dan hidupnya tidak dipenuhi dengan misi pembuktian.
David, penjaga pantai yang tadinya diduga sebagai partner Nadja yang menyebabkan suara mengganggu tiap malam itu, mulai sering hadir pada makan siang mereka di penginapan. Hubungannya dengan Felix terjalin kian baik. Melalui berbagai pertemuan ini, terlihat Leon menganggap dirinya tinggi dan orang lain remeh karena profesi yang ia geluti.
Alur berjalan secara linear, penonton mendapat pengetahuan mengenai latar belakang karakter melalui persepsi pemeran utama, yakni Leon. Penonton hanya mengetahui apa yang Leon ketahui: apa yang ia lihat dan ia dengar.
Pertemanan ringan ketiganya perlahan terjalin, hangat dan santai, kerap tidak menggubris Leon yang masam dan kaku. Leon menceritakan manuskrip yang ia kerjakan pada Nadja. Ucapan Leon kerap tak disengaja tajam dan sarkastik, akibat kerapuhan dirinya atas sedikitpun bentuk kritik. Leon yang memendam ketertarikan terhadap Nadja, menyebabkan ekspresinya teredam ego. Sementara, metode pendekatannya adalah pembuktian kehebatan dirinya.
Namun, secara gamblang, Nadja memberi pendapatnya mengenai karya Leon. Dan Hermut, penerbit yang hendak mereview karya Leon, datang dan tampak lebih terkesima terhadap Nadja. Diskusi pada meja makan itu menampakkan kekayaan referensi dan kekaguman
Nadja dan sang penerbit terhadap karya penulis lain, disandingkan dengan Leon yang tampak masam, karena dirinya dan karyanya tak menjadi bagian dari percakapan. Tak peduli seberapapun tertariknya Felix terhadap Nadja, kecemburuan atas pengakuan kompetensi tersebut meninggalkan getir pada dirinya.
Kebakaran hutan, sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba dan menjadi pengingat atas kebesaran destruksi alam ketika disandingkan dengan ego, menjadi sebuah kunci kejadian yang memantik respon empati, lawan dari ego.
Keterikatan identitas diri dan identitas karya
Penggambaran yang lebih dramatis antara kelayakan diri dan ambisi juga terpampang pada film Whiplash (2014) yang disutradari Damien Chazelle, satu dari sekian banyak contoh yang popular. Perbedaannya, pada Whiplash, ego tersebut didampingi oleh besarnya keterpikatannya terhadap medium atau dunia dari karya itu sendiri, dalam hal ini drum atau konser jazz. Hal itu juga terlihat dari ketangguhan dalam menanggapi cela keras mentornya. Perfeksionisme pada Whiplash tersebut imbang dengan disiplin yang meski berlebihan, menghasilkan perkembangan. Sementara itu, pada Afire, Leon kerap nampak terpisah dari mediumnya sendiri, menulis dan dunia yang memberi inspirasi cerita itu sendiri. Ia tenggelam pada dunia kecil isi kepalanya, membuktikan kelayakan dirinya. Menulis yang merupakan buah dari observasi sekeliling, menjadi sebuah tanggung jawab yang memberatkan, karena tugasnya untuk mengukuhkan identitas penulisnya. Produktivitas menjadi tolak ukur keberhargaan hari-hari dan kehidupan itu sendiri tidak lagi menginspirasi cerita baginya, hingga sebuah kejadian yang mengubah hidupnya menimpa. Meski kedua disiplin, pada kadar tertentu, memang menuntut sisi yang berbeda: ketahanan seorang drummer dan kepekaan penulis.
Posisi karakter terhadap hubungan romantis, yang menyingkap kebutuhan primal karakter, juga menjadi pengungkap kekokohan karakter dalam melihat dirinya. Pada Whiplash, ia memutuskan hubungan karena ketidakmampuannya untuk memberi pasangan porsi waktu dan energi, yang utamanya tersalurkan untuk tampil tanpa cela pada konser jazz berkelas. Sementara pada Afire, hubungan tak berjalan sesuai yang diinginkan karena kebutuhan Leon atas pengakuan membuatnya kesulitan mengekspresikan pengakuan untuk orang lain, dalam hal ini Nadja, wanita yang ia suka. Tembok yang dibangun untuk melindungi diri menghasilkan karakter dingin dan masam, merendahkan dan kerap tajam, tameng dirinya yang perasa.
Karya sebagai selebrasi dunia versus selebrasi ego
Seniman dan penulis, yang cenderung berkerja secara individualis, kerap jatuh pada perangkap ini. Garis tipis karya sebagai buah eksplorasi vs eksploitasi dunia atau diri, karena seberapa besar nama pribadi melekat terhadap kebrilianan karya. Bukan sebuah hitam putih, layaknya banyak hal yang memiliki spektrum, umumnya masing-masing karya memiliki persentase antara unjuk diri dan eksplorasi yang berbeda, membuat karya hadir sembari tak sadar menggambarkan fase kehidupan yang dialami penulis dan seniman, melahirkan pendekatan dan cara pandang yang berbeda pula. Layaknya pada profesi lainnya, namun dalam hal ini perbedaan tersebut tercurahkan dalam karya yang dapat diikuti, dialami, dinilai, dan turut menjadi cermin bagi orang lain.