Sebelum Aku Benar-Benar Mati
Sebuah sajak untuk hidup yang tak berarti, dan apa-apa yang tak pernah selesai.
Words by Whiteboard Journal
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kata-kata kembali setajam belati. Luapkan dari mulutmu sebagai ironi. Lalu jemput ujungnya di lain hari.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin penyair itu berteriak lagi. Tentang hujan, tentang sepotong senja di kartu pos, tentang pemuda yang tiba-tiba mati, atau tentang kunang-kunang yang berbicara padamu saat ini.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin penyanyi itu bersuara lagi. Tentang tanah yang akan dibeli, tentang air yang selalu mati, tentang manusia yang semakin tak peduli, atau tentang gedung-gedung yang tak berhenti meninggi.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin pria tua itu berteriak seperti dulu lagi. Lantang menerobos dinding tebal seberang sana, yang diakhiri dengan adu lincah dengan senapan mereka. Lalu esok paginya bercengkrama seperti biasa.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin lukisan itu semerah darah. Guratan-guratan pada tiap sisinya, mengisyaratkan duka di sudut galeri tua. Yang bahkan tak seeorang pun berkenan menjamahnya.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin pak tua itu hidup lagi. Bercerita tentang apa-apa yang tak akan terjadi lagi. Tentang sejarah api, hingga asmaranya yang sudah tak berarti.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin mereka tak berduka lagi. Hidup seperti seharusnya, tak perlu lagi menanti kabar kembali. Sebab kata-kata menuntun mereka ke jalan yang seharusnya. Pulang.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kau untuk mengerti. Bahwa tanah yang kau injak saat ini, bahwa air yang kau minum saat ini, bahwa udara yag kau hirup saat ini, adalah darah dan air mata mereka yang tak pernah kau hargai.
Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kau membaca ini.
Batu, 9 Februari 2019