Saya Lahir Ketika Orde Baru Runtuh, dan Hantunya Masih Menghantui Hingga Kini
Fajar Adi Nugroho, perwakilan BEM Universitas Indonesia menuliskan tentang bagaimana Orde Baru terus menghantui masa depan kita semua.
Words by Whiteboard Journal
Nama saya Fajar Adi Nugroho, saya lahir tahun 1998, lebih tepatnya, 14 Oktober 1998. Saya lahir setelah Orde Baru runtuh. Tapi, sampai sekarang, dua puluh dua tahun kemudian, saya masih merasakan dampaknya. Reformasi memang telah berumur lebih dari dua dekade, tapi jejak kelam pengalaman sebelumnya dirasa masih diwariskan. Jika pada umumnya warisan adalah bekal bagi generasi penerus untuk berkembang, maka kami justru mendapat warisan yang menjadi awan suram yang membentang di masa depan kami.
Awan suram itu pula yang menghantui saya di saat aksi Reformasi Dikorupsi bulan September 2019 kemarin. Hari itu, kami turun memeringatkan bahwa apa yang telah dilakukan pemerintah tidak menggambarkan apa yang rakyat butuhkan. Sepintas ada rasa percaya bahwa hari itu aksi saya bersama teman-teman seperjuangan akan menciptakan perubahan. Bahwa aksi bersama itu akan menyibak awan gelap yang membayangi masa depan kita semua.
Tapi, nyatanya gelap awan semakin kelam. Harapan kami tadi bubar seiring pecah seiring lontaran gas air mata yang memporak-porandakan aksi kami. Kita mengharapkan perubahan, tapi kita dipaksa untuk mengulang masa-masa kelam yang harusnya kita kubur di belakang.
Gelap awan semakin kelam beberapa waktu belakangan. Hantu bernama Orde Baru semakin nyata pada bagaimana ruang-ruang kritik dibatasi, dan narasi perlawanan terhadap pemerintah diberangus oleh kriminalisasi dan cuap-cuap buzzer. Penangkapan Ravio Patra, juga tiga pejuang di Malang adalah contoh bagaimana kita diancam saat kita memperjuangkan kebenaran.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini pula, ruang-ruang konsolidasi menjadi terbatas dengan dialihkannya mayoritas pergerakan rakyat menjadi menjadi daring. Ironinya, DPR masih saja tidak gentar untuk rapat secara luring untuk membahas serangkaian rancangan undang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan penjaminan rakyat selama pandemi. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan, saya merasa ada pihak yang diuntungkan. Dan yang jelas itu bukan kita. Bukan kami, generasi terkini yang dipaksa hidup dalam konstruksi lama itu.
Keadaan yang demikian memicu rasa pesimis di dada. Tentang apalah guna kita untuk terus bersuara bila negara terus melakukan upaya-upaya untuk membungkam kita. Mungkin lebih mudah bagi saya untuk tunduk saja, mengikuti jalannya zaman, meski itu berarti kita terus dijebak dalam sistem negara ala Orde Baru itu.
Tapi, rasanya, saya tak punya hak untuk pesimis akan pergerakan ketika korban pelanggaran HAM dan masyarakat terdampak masih berjuang untuk bersuara. Pesimisme tersebut bukan menjadi alasan untuk berdiam diri. Pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan saat ini harus terus digaungkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berdiam.
Setidaknya kita perlu saling menguatkan untuk memberikan peringatan bahwa jejak kelam ini tidak perlu dilanjutkan dan reformasi hadir untuk memberikan perbaikan total, bukan hanya sekadar seremonial. Karena hanya inilah yang kita bisa untuk menyibak gelap awan hitam itu. Supaya kita bisa mengubah warisan kelam tadi menjadi harapan.