Saatnya Merebut Kembali Kehidupan yang Direnggut Krisis Iklim dan Aktor di Baliknya
Dalam submisi Open Column ini, Sekar Banjaran Aji Surowijoyo tak bosan terus menerus mengingatkan bahwa keadilan iklim adalah hal yang layak kita dapatkan dalam kehidupan.
Words by Whiteboard Journal
Siang tadi, aku mengobrol dengan beberapa kawan orang asli Papua, mereka rata-rata mahasiswa dari berbagai daerah di Papua yang belajar di Jayapura. Kami bicara sederhana saja soal rumah, tempat kami merasa harus pulang.
Salah satu kawan bercerita soal rumahnya yang masih sangat jauh dari Kepi, Ibukota Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Dia bercerita tentang berubahnya sungai-sungai yang dia lalui ketika mau berangkat ke Jayapura. Warnanya semakin hari semakin coklat, dulu bening meski berdasar lumpur. Satu kawan lain dari Dogiyai, Papua Tengah bercerita soal bapaknya yang harus usir orang-orang yang datang minta tanah adatnya untuk membangun gedung pemerintahan sejak penetapan daerah otonomi baru. Sementara kawan dari Merauke bercerita soal Papua Selatan yang sering kali mengalami kebakaran hutan. Dia takut kalau Papua jadi seperti Kalimantan dan Sumatera yang langganan kebakaran hutan tiap kemarau.
Mendengar semua keluh kesah itu membuatku tertunduk. Kukira cuma aku yang khawatir sakit paru-paru karena menghirup polusi di Jakarta. Usia kami baru dua puluhan tapi bicara “penyakit” dan masalah soal rumah seperti kakek nenek di usia senja. Sadar soal itu kami tertawa. Miris.
Setiap hari kondisi rumah yang terus berubah, ceritanya membawa peluh yang membuat kita terus mengeluh. Dalam kekacauan yang terjadi ini, rasanya perubahan iklim telah mengubah segala lanskap menjadi mengerikan. Sementara hari-hari lahir menerbitkan kekhawatiran baru.
Orang-orang yang punya banyak uang mungkin punya kemewahan untuk tetap hidup nyaman atau pindah ke tempat yang lebih nyaman. Namun kita yang cuma punya satu rumah, semacam tidak punya kekuasaan untuk punya banyak pilihan. Perubahan iklim membuat lebih banyak lagi versi ketidakadilan yang kita alami.
Dalam tengah-tengah obrolan, ada kawan yang bercerita tentang sebuah buku karya Benny Giay yang berjudul Mari Mengambil Alih Kendali Kehidupan: Memperjuangkan Pemulihan Negeri Ini. Dia bertutur ulang tentang Pak Benny yang, tidak bercerita soal krisis iklim, tapi lebih dari itu: dia “memotret” proses ketersingkiran yang ada di Papua, pola ketidakadilan karena pembangunan kapitalistik, hingga upaya sadar masyarakat untuk merebut kembali kehidupan.
Dengan kritis, Pak Benny menulis bahwa mengubah masa depan memang sangat berat, oleh karenanya bangsa Papua butuh kekuatan dan energi. Hal itu bisa dilakukan dengan memahami sistem yang menindas sekaligus mendorong upaya internal dalam orang Papua untuk bisa merebut kembali kehidupan.
“Kalau ada rasa krisis iklim bikin segalanya tra adil, kitong harus rebut kembali kehidupan to?” begitu ujarnya dengan mata berbinar. Sungguh mati, rasanya seperti ditampar.
Barangkali soal menghadapi krisis iklim, kita harus belajar dari Benny Giay dan orang-orang Papua: keadilan iklim bisa dijemput. Dan oleh karenanya, kita harus merebut kendali kehidupan dari manusia-manusia yang merusak rumah kita, yang juga membuat suara kita tersingkir dan terus menerus menjebak kita dalam ketidakadilan. Dan ini berarti kita harus secara sadar kembali mengidentifikasi perubahan, serta mengupayakan bersama cara merebut kembali kehidupan. Sebab dalam cerita ini, kita butuh narasi kolektif yang lebih besar dan luas untuk mempercepat datangnya keadilan iklim.
Aku berterima kasih atas cerita hari ini, tanpa kawan-kawan Papua barangkali aku akan terus berkutat dalam keputusasaan sia-sia di umur dua puluh tahunan akibat krisis iklim. Atas nama indahnya langit biru Papua yang saat ini aku pandangi, aku berjanji menuliskan cerita tadi supaya lebih banyak orang bisa membacanya dan menambah optimisme untuk memukul mundur krisis iklim.