Piala Dunia Qatar: Kepergian yang Dirayakan?
Dalam submisi column ini, Muhammad Rayhan mengungkapkan duka yang beriringan dengan penyelenggaraan Piala Dunia 2022 dan bagaimana perhelatan tersebut menjadi luka kolektif yang menimpa ratusan ribu keluarga pekerja migran di Qatar.
Words by Whiteboard Journal
Sepak bola menjadi topik perbincangan yang sering saya lakukan dengan Bapak. Piala Dunia Jerman 2006 adalah turnamen sepak bola pertama yang saya saksikan bersama beliau. Bapak menjagokan Jerman kala itu. Hingga hari ini jersey bernamakan Wibi-Muller, masih menggantung rapih di lemari pakaian sebagai bentuk kecintaannya terhadap Gerd Muller. Laga pembuka pada Piala Dunia itu dimenangkan Jerman dengan skor telak 4-2 melawan Kosta Rika. Meski demikian, Jerman menempati juara 3 pada edisi Piala Dunia tersebut.
Di penghujung usia almarhum Bapak, sepak bola juga menjadi topik utama yang kerap kami perbincangkan. Di antara perbedaan pilihan politik, pandangan sosial, hingga pemahaman tentang keyakinan, percakapan tentang Manchester United tinggal satu-satunya topik obrolan yang mengakrabkan kami. Piala Dunia Qatar bergulir pada 21 November 2022, berselisih sehari dengan peringatan satu tahun Bapak pergi meninggalkan kami. Dengan kata lain, Piala Dunia pertama saya tanpa Bapak.
Sampai hari ini, kematian masih terasa begitu surreal bagi saya. Semua adegan yang terekam tentang rumah sakit hingga tanah pekuburan seperti di film-film itu saya harap hanya mimpi. Bagi Mairul Khatun, kehilangan yang ia alami boleh jadi lebih terasa lebih menyedihkan. Lewat ceritanya kepada Human Rights Watch, suami Mairul yang bernama Mohammad Naddaf merupakan salah satu pekerja migran asal Nepal yang bekerja untuk membangun infrastruktur pelaksanaan Piala Dunia 2022 di Qatar. Sejak Naddaf berangkat ke Qatar, Mairul sering kali kesulitan menghubungi suaminya. Sekalinya mendapat kabar, isinya adalah informasi kematian Naddaf. Tanpa dapat menyaksikan penguburan suaminya, kabar itu datang tanpa kompensasi apapun kepada keluarga Naddaf di Nepal.
Mairul tentu tidak sendirian. Amnesty International menyebutkan kesedihan itu menimpa lebih dari 15 ribu keluarga pekerja migran yang membangun infrastruktur Piala Dunia 2022 di Qatar, terhitung sejak dimandatkan sebagai tuan rumah pada 2009. Berdasarkan laporan The Guardian, 12 pekerja migran yang berasal dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka meninggal tiap minggunya. Angka tersebut bisa jadi lebih besar mengingat keengganan pemerintahan Qatar untuk serius menangani masalah ini. Perhitungan di atas mungkin disederhanakan dengan deret angka statistik, namun ia mewakili ratusan ribu anggota keluarga yang mengalami perasaan duka mendalam hingga kerugian materiil akibat kematian.
Kematian, mungkin, merupakan takdir yang tidak dapat diketahui kapan tibanya oleh manusia. Namun dalam kasus ini, pemerintahan Qatar memiliki peranan besar akan kematian yang terjadi. Lemahnya pengawasan dan penegakan aturan tenaga kerja menjadi penyebab terjadinya jam kerja yang panjang, tempat tinggal dan sanitasi yang buruk, diperparah dengan kondisi iklim yang ekstrem. Tidak cukup sampai disitu, mayoritas para pekerja migran juga tak kunjung mendapatkan upah sesuai dengan perjanjian kerja, atau bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali.
Ashraf (2016) menyebutkan bahwa apa yang menimpa para pekerja migran di Qatar ini sebagai salah satu bentuk perbudakan modern. Peraturan ketenagakerjaan di Qatar mewajibkan pekerja migran memiliki penjamin yang bertanggung jawab terhadap visa dan status hukum para pekerja migran. Mekanisme ini disebut dengan Sistem Kafala. Sistem ini bahkan telah mendapatkan sorotan dunia sebelum Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) punya peranan penting dalam menangani hal ini. Menurut Panduan Prinsip PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak pekerja. Dalam kondisi apapun, perusahaan tidak diperkenankan untuk memanfaatkan kelemahan dalam sistem perburuhan di Qatar. Sebagai entitas yang memiliki operasi bisnis terkait Piala Dunia, FIFA memiliki tanggung jawab untuk mencegah penyalahgunaan dan menangani pelanggaran hak pekerja migran yang terjadi di Qatar.
Amnesty International bersama organisasi masyarakat internasional lainnya pada Mei tahun 2022 menerbitkan surat terbuka kepada Gianni Infantino selaku Presiden FIFA. Surat terbuka ini bertujuan untuk menekan FIFA agar bekerja sama dengan pemerintah Qatar, serikat pekerja, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), dan pihak terkait lainnya untuk membuat program komprehensif yang dapat memastikan segala pelanggaran tentang perburuhan dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2022. Mereka menuntut FIFA untuk memperbaiki dan menyisihkan sumber daya keuangan yang sesuai sebagai bentuk kompensasi.
Arwah pekerja yang menjema menjadi maskot Piala Dunia 2022
Pada April 2022, maskot Piala Dunia Qatar 2022 yang bernama Laeeb resmi diperkenalkan ke publik. Maskot berbentuk penutup kepala tradisional Qatar itu dibuat menjadi karakter hidup yang melayang. Sebagian besar publik di internet merespons perilisan maskot itu sebagai simbol arwah para pekerja migran yang gentayangan. Respons publik tersebut menandakan kesadaran publik akan kondisi pelanggaran HAM yang terjadi di Qatar. Selain di luar lapangan, para pemain dari dalam lapangan juga menunjukan solidaritas mereka melalui aksi sebelum pertandingan maupun pernyataan ketika konferensi pers.
Piala Dunia Qatar akan memulai kick off pertamanya 158 hari lagi saat opini ini ditulis. Namun, hingga hari ini, baik FIFA maupun Qatar urung memberikan respons atas tuntutan yang disampaikan oleh berbagai organisasi internasional terkait pelanggaran HAM yang terjadi. Pada 21 November 2022, Qatar akan menjadi negara di kawasan Timur Tengah pertama yang menggelar kontestasi olahraga terbesar di bumi. Namun, dari balik segala kemegahan upacara pembukaan dan infrastruktur yang telah dibangun akankah keadilan kunjung datang bagi para keluarga korban pekerja migran?
Di Nepal, negara Mohammad Naddaf berasal, sebagian besar upacara pemakaman dilakukan dengan tata anjuran agama Hindu. Namun bagi saya, upacara pembukaan Piala Dunia 2022 boleh jadi cara kita untuk mengenang kepergian Naddaf dan ratusan ribu nyawa lain yang pergi akibat pelanggaran HAM yang terjadi di Qatar. Seperti ratusan ribu keluarga lain, Piala Dunia Qatar 2022 merupakan salah satu cara bagi saya untuk merayakan kepergian.