Pertanyaan-Pertanyaan Pada Kematian
Pada submisi column kali ini, Oki Mardai memaparkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul atas banyaknya berita duka di sekitar kita.
Words by Whiteboard Journal
Barangkali hidupku saat ini seperti sebaris puisi Joko Pinurbo “Hari-hariku terbuat dari Innalilahi”, hampir setiap hari berita duka terjun bebas bak gurita yang menumpahkan tinta hitam ke tengah kota, berita itu masuk melalui sela-sela grup Whatsapp, merayap ke beranda Instagram, mengalir ke layar televisi dan berbagai macam menu sosial media lainnya dan dalam sekejap menjadi parade kesedihan yang seolah tak berujung.
Kematian adalah suatu keniscayaan, kematian pasti akan menghampiri setiap manusia seperti juga saya ataupun anda yang sedang membaca tulisan ini, namun kali ini kematian menunjukkan sesuatu hal yang berbeda, ia mulai tak sabar menunjukkan taringnya seolah berlomba mencari mangsa, ia mampu menerkam siapapun yang tampak lengah dan tanpa daya seperti seekor singa yang begitu lapar, sangat lapar, teramat lapar melalui sebuah virus yang tak kasat mata. Siapapun tak mengharapkan kematian tiba-tiba muncul seperti kado ulang tahun, tapi siapa sangka justru di antara kita ada yang berlomba-lomba mencari kematian itu sendiri.
Di situasi pandemi saat ini, virus tidak hanya menerkam banyak jiwa tapi juga mengunyah banyak hal, ia mengunyah pekerjaan, pertemuan dan juga mimpi-mimpi lalu kita ditelan sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan, kita ditelantarkan begitu saja pada situasi yang tiba-tiba sunyi dan menimbulkan kekacauan lain seperti halnya kesehatan mental. Mental illness mulai menggerogoti eksistensi kehidupan manusia bak kanker ganas yang mengepung tubuh. Itu juga terjadi pada sebut saja Leon sahabat baik semasa kecil di kampung halamanku disebuah kota di Jawa Timur, ia gugur bukan karena virus melainkan gantung diri akibat persoalan ekomomi dan sesuatu hal lain yang tak bisa aku pahami.
Setiap dari kita pasti pernah memiliki sebuah pertanyaan meskipun itu hanya di dalam hati, pertanyaan seperti:
“Kapan aku mati?”
“Pada umur berapakah aku mati?”
“Apakah aku akan mati muda ataukah aku akan mati di usia tua?” disaat tubuhku mulai penyakitan, rambut berwarna salju, kulit mengeriput, tulang bengkok, pikiran pikun, mulai merepotkan dan menyebalkan hingga suatu hari seseorang datang dan menyebutku “bau tanah”,
“Apakah aku akan merasakan sampai menjadi tua dan tak berdaya seperti itu?” Lalu kemudian pertanyaan-pertanyaan lain lahir bersahut-sahutan seperti suara nyaring burung kolibri:
“Bagaimana aku mati?”
Apakah aku akan mati dengan tenang sambil bermimpi mengelilingi Taman Firdaus ditemani oleh bidadari-bidadari yang teramat cantik tak terperi kemudian malaikat maut pelan-pelan mencabut nyawaku dengan sopan dan berbisik
“Wahai Hamba Tuhan yang terhormat silakan nikmati surga sepuasnya, kau tak perlu lagi memikirkan tetek bengek dunia yang fana ini” atau aku akan mati dengan sangat mengenaskan layaknya adegan dalam film Saw.
“Tubuhku yang biasa-biasa saja ini hancur berhamburan di jalanan menjadi bubur sumsum karena terlindas kereta api yang melintas ganas ataukah tubuhku yang biasa-biasa saja ini hangus terbakar seperti babi panggang karena tersetrum aliran listrik berkekuatan ribuan volt atau mungkinkah tubuhku yang biasa-biasa saja ini tersapu ombak yang menggulung lalu terseret ke dasar lautan dan menjadi santapan ikan-ikan?”. Tidak cukup sampai di situ pertanyaan yang terakhir ini lebih penting dari pada pertanyaan-pertanyaan sebelumnya:
“Aku akan mati sebagai apa?”
“Apakah aku akan mati dalam keadaan miskin?”
“Apakah aku akan mati sebagai orang-orang biasa yang kemudian dilupakan?”
“Apakah aku akan mati tanpa suatu peninggalan yang berarti setidaknya untuk orang-orang di sekitarku? Apakah aku akan mati tanpa memiliki suatu karya yang abadi?”
Tidak menjadi apa-apa dan tidak menjadi siapa-siapa adalah sesuatu yang menurutku sangat mengerikan dari pada bagaimana cara kita mati dan kapan kita mati karena dengan begitu seluruh hidupku mirip seperti sebuah lagu milik Jason Ranti,
“Oh, hidup cuma numpang ketawa” dan itu semua telah menunjukkan betapa selama aku hidup, hidupku sangatlah tidak berguna.
Mungkin Leon memilih mati karena ia bisa menentukan takdirnya sendiri, ia tak perlu lagi memikirkan akan mati seperti apa, tapi apakah ia puas dengan kematian itu, apakah ia memang tak punya mimpi-mimpi yang harus ia raih dan selesaikan terlebih dahulu, apakah ia memang memilih mati dengan begitu saja tanpa meninggalkan apapun pada kehidupan selain menyisakan memori menakutkan pada kedua orang tuanya. Apakah sebelum tindakan bunuh dirinya itu ia tak berpikir bahwa sebagian orang tetap akan mengatainya bahkan setelah ia mati, perihal roh orang mati bunuh diri tak diterima di sisi Tuhan, perihal roh orang bunuh diri akan abadi di dalam api neraka, perihal roh orang bunuh diri akan bergentayangan menjadi hantu penasaran, apakah justru ia mengalami kebahagian?
Pagi itu sekitar pukul 10.00 WIB Ibuku memberi tahuku lewat sebuah pesan Whatsapp bahwa Leon mati gantung diri dan ayahku ikut membantu menurunkan tubuhnya dari tiang gantungan. Hampir seharian di dalam kepalaku waktu itu muncul sebuah pertunjukkan seperti Keleidoskop yang berseliweran menyuguhkan penggalan-penggalan memori kebersamaanku dengan Leon semasa kecil, ketika kami bermain bola dalam guyuran hujan, berangkat mengaji ke Masjid, mencuri mainan anak orang kaya bahkan menonton video porno bersama. Kami terpisah ketika mulai kuliah dan bekerja, ia tetap tinggal di kota kecil kami di Jawa Timur sedangkan aku melenggang ke Ibukota dan tenggelam dalam kesibukan dan sama sekali tak pernah menghubunginya. Aku hanya mendengar sekilas cerita-cerita bagaimana ia melanjutkan hidup yang penuh dengan kekacauan melalui Ibuku, tentang kisah cintanya yang kandas, tentang perjodohannya dengan gadis pilihan ibunya, tentang percerainnya, tentang timbunan utang-utangnya dan baru-baru ini sebelum ia memutuskan mati ia baru saja mengalami PHK dan kisah-kisah lain yang begitu rumit dan tak dapat dijelaskan lewat tulisan. Lalu apa yang ada di dalam pikiran Leon sebelum ia memilih untuk gantung diri, apa yang menghantuinya hingga ia memilih untuk mati dengan cara seperti itu? Aku jadi teringat sebuah narasi pembuka dalam serial drama berjudul “Zero Zero Zero” kurang lebih seperti ini,
“Kau percaya cinta? Cinta bisa berakhir.
Kau percaya pada perasaaanmu? Jantungmu bisa berhenti berdetak.
Kau percaya pada istrimu? Begitu uang darimu habis dia akan mengeluh kalau kau mengabaikan dirinya.
Kau percaya pada anak-anakmu? Begitu kau tak memberi uang jajan mereka akan bilang tak lagi menyayangimu.
Kau percaya pada ibumu? Jika kau tak memanjakannya dia akan menuduh kau anak yang tak tahu terima kasih.
Apa yang akan terjadi ketika kau tak punya apa-apa untuk diberikan?
Ketika kau tak punya hal yang tersisa?
Ketika kau tak lagi berguna?
Apakah itu yang ada dalam pikiran Leon sebelum bunuh diri? Sejujurnya perasan-perasaan ingin mati ini juga pernah dan seringkali aku alami semenjak hidup di Ibukota. Aku orang yang cukup gagap dalam berbicara, cenderung pendiam dan tidak mampu meraih perhatian banyak orang, aku hanya bisa bekerja dan terus bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan melanjutkan hidup meskipun terseok-seok.
“Apakah aku hanya akan ditelan oleh kesibukan Ibukota?”
“Apakah aku bukan apa-apa?”
“Apakah aku ditakdirkan untuk biasa-bisa saja?”
Meskipun terseok-seok aku masih memilih untuk bertahan sembari terus berusaha dan belajar banyak hal, aku tak tahu pasti apakah surga dan neraka itu benar-benar ada, aku juga tak tahu pasti jika aku masuk ke dalam surga apakah di dalam sana masih ada sup tengkleng kesukaanku. Jadi selama kehangatan kuah tengkleng masih mampu mengaliri tenggorokanku aku akan tetap berharap pada hidup seperti halnya kata-kata Chairil “Nasib adalah kesunyian masing-masing”.
Kisah hidup Leon adalah sebagian kecil dari kita dan itu selalu membuatku bertanya-tanya, kapan aku mati, bagaimana aku mati, dan sebagai apa aku mati. Aku pernah membaca sebuah percakapan seorang anak dan ibu dari cerpen berjudul “Manusia Kamar” karya Senno Gumira,
Ibunya selalu bertanya
“Kau mau menjadi apa anakku?”
“Haruskah seseorang itu menjadi apa-apa ibu?”
“Entahlah anakku, yang jelas waktu hamil dirimu aku ngidam nonton bola”.
“Aku bahagia kok tidak menjadi apa-apa ibu, jadi aku tidak perlu sukses dan tidak perlu gagal”.
Hmm, meskipun begitu dunia ini ternyata memang bukan sekedar tempat mampir minum kopi dan ngobrol, melainkan untuk mempertahankan diri agar tidak kere.