Nenek Kecil Diculik
Di edisi open column kali ini, Harlan Boer mengajak kita untuk bertualang dalam liar imajinasi melalui cerpen khasnya.
Words by Whiteboard Journal
Nenek kecil di planet Jojonta baru saja lahir. Suara lemahnya disambut senyum seisi ruangan, terutama sukacita pasangan muda yang sedang berbahagia. Bagaikan sejuta kunang-kunang membawa permen kapas turun dari langit.
Setelah melepas sarung tangan cap Laser Lancar, dokter mengucapkan sesuatu dengan logat bijaksana, tegas tapi landai, “Selamat, sekarang Ibu dan Babak sudah punya nenek.”
“Terima kasih, Dokter,” jawab istri. Ia lagi lega-leganya.
Sementara bidan, dengan sopan dan simpatik bertanya, “Nenek keberapa ini?”
“Nenek pertama suster,” jawab suami. Tidak ada sedikit pun sisa kecapekan menanti persalinan dengan segumpal deg-degan.
Tukang kebun rumah sakit bersalin bertanya, “Neneknya sudah disiapkan nama?’
“Sudah,” jawab dokter pelan.
Tukan kebun menggerakkan ibu jari dan telunjuknya sehingga membentuk semacam huruf O, sementara kelingking, jari manis, dan jari tengahnya berdiri—simbol dari Ok. Kebelet, tukang kebun ke kamar mandi.
Dan berita kelahiran nenek kecil itu telah pula disebarluaskan kepada handai taulan. Segenap kerabat terharu menatap layar gawai pintar yang beirisi berita istimewa tersebut, kemudian berkomentar bercampur tetes air mata. Semua menyambut bersuka ria dan bersyukur, kecuali satu orang yang tidak kita bahas di cerita ini, juga ciri-cirinya, karena dia sama sekali tidak ingin diketik. Penulis menghargai privasinya.
Baiklah, kita putar balik sebentar. Kurang lebih, berikut adalah kejadian sebelumnya: Tepat ketika opor ayam sedang hangat-hangatnya, bumbu sudah meresap, sayur-mayur dicemplung ke kuali, dicicipi sedikit, istri merasakan kontraksi. Tanggap, segera suami membawanya ke rumah sakit bersalin terdekat di tengah keasikannya menonton gulat di monitor mungil hitam putih dengan kacamata tiga dimensi. Koper dan segala perlengkapan proses persalinan sudah dipersiapkan pada sekian malam sebelumnya. Tidak ada yang ingat kapan tepatnya; yang jelas saat meteor melesat, menabrak ekor tumpul planet Jojonta.
Kini kita di rumah sakit bersalin. Lihatlah: kerutan-kerutan nenek kecil itu begitu imut. Para suster mencubit peot pipinya dengan manja. Sepasang ibu dan bapak baru memandangnya dengan mata yang semakin besar karena hati-hati mereka yang juga membesar. Kelak, ketika besar nanti, nenek kecil diharapkan menjadi orang besar. Harapan orangtua yang besar. Itu tak mengapa; setiap orang boleh berharap nenek kecilnya menjadi orang besar.
Salju kosmik turun. Cerobong asap rumah sakit bersalin dinyalakan. Semua merasakan kehangatan. Keadaan yang terlalu hangat itu membuat semua orang merasa gerah. Peluh bercucuran. Mereka membuka mantel, meletakkannya di kursi seolah semua orang di rumah sakit adalah direktur.
Hanya segelintir orang yang tidak merasakan kehangatan. Salah satunya Pintorax, seorang gelandangan veteran yang banyak bepergian untuk mengikuti pikirannya yang kusut. Pintorax membuka salah satu dari sebelas pintu kulkas pada sebuah kamar kosong di rumah sakit itu. Dia mengambil sebotol jus soda. Botolnya besar sekali, walau tidak sebesar botol kecap di Puncak, Jawa Barat, Indonesia, bumi.
Pentorax sebetulnya tidak haus. Ia hanya mencoba menenangkan perang otaknya. Otaknya memang seperti medan pertempuran yang kerap dahaga. Banyak tank di sana. Banyak bendera. Banyak letusan. Banyak perundingan. Banyak sekutu. Banyak korban bergelimpangan. Banyak tawanan. Banyak mata-mata. Banyak peta. Banyak simpang siur.
Nenek kecil kini sedang beraktivitas yang diinterpretasikan oleh suster bahwa ia sedang bermain. Pantorax mengendap-endap masuk ke ruangan itu, setelah meletakkan botol jus soda di dalam celana kulitnya yang lebar. Pentorax hampir kepeleset karena ubin rumah sakit sangat mulus, tanpa gerigi. Beruntung ia sempat pegangan ke papan tulis tempat nama-nama dokter yang sudah pensiun dicoret dengan spidol hijau.
Poni Pantorax jatuh ke dahi. Matanya jadi memicing. Poni diseka tangannya. Kemudian tangan itu bersigap ingin mengambil nenek kecil di tempat tidur kecil. Suster meleng, Pantorax berhasil. Nenek kecil diculik!
Sebentar, cerita berhenti dulu. Penulis mau berendam.
Air hangat sudah memenuhi bathtube, dengan aksen busa-busa, samar-samar menerawang, menutupi tubuhnya. Ia memejamkan matanya, menuju ketentraman. Ia melepaskan penat-penatnya. Banyak hal berkontribusi pada penatnya, terutama mendapati dunia sedang macet, jalanan sepi, dan dirinya banyak sendiri.
Sampai di mana tadi?
Ya, betul, nenek kecil diculik!
TAMAT
***
Jenifa menutup buku tiga lembar itu. Dia terhenyak, lebih tepatnya tidak menyangka, bahwa buku Nenek Kecil Diculik isinya seperti demikian. Jenifa bahkan tidak ingin membaca nama pengarangnya, walau ia hafal nama itu.
Bangkit dari kursi, Jenifa meletakkan kembali Nenek Kecil Diculik ke rak buku yang didesain seperti lemari baju. Jenifa segera keluar dari PERPUSTAKAAN ADA ADA, melintasi meja kecil dengan mini boombox yang sering memutar lagu-lagu senam dengan volume nol, serta sebuah meja yang tampak bonafid dengan kepala seorang pustakawan tidur siang di atasnya. Tapi tidak mendengkur, sebab dilarang berisik di perpustakaan. Aturan umum dan wajar. Pustakawan tidur mematuhinya.
Mulai dari pintu keluar perpustakaan, langkah Jenifa dipercepat. Jenifa tidak terlalu mempedulikan sekitar, sementara sekitar begitu mempedulikan Jenifa. Sebab, meskipun wajahnya sedang menuju kusam dan penampilannya sekilas umum, namun Jenifa mengenakan sepatu ngejreng.
Dari jalan raya, Jenifa belok ke kanan. Patokannya: ada warung. Di bangku warung, tidak ada yang nongkrong, sebab bangkunya basah. Setiap ada anak muda yang ingin nongkrong di sana, mereka mengurungkan niatnya.
Langkah Jenifa tidak diperlambat.
Tetangga Jenifa sedang berpikir di dalam kamarnya; menatap rencana-rencana pekerjaan yang putus dan belum menemukan solusi pengganti. Jenifa tidak bisa melihatnya.
Jenifa membuka pagar.
Sampai di rumah, Jenifa bercerita pada suaminya, “Sayang, kamu tahu aku habis membaca buku apa tadi siang di PERPUSTAKAAN ADA ADA?”
“Aku sudah bilang, kamu jangan ke sana!” sergah suaminya.
“Ya, ya. Kamu benar. Perpustakaan itu memang mengada-ada,” Jenifa tak menampiknya.
“Tapi pasti kamu tetap mendapatkan sesuatu dari sana,” suaminya mencoba menghibur sekaligus memberi kesempatan, “Coba ceritakan, seperti apa kisah buku itu? Tadi, katanya kamu mau cerita ke aku?”
Jenifa menarik nafas. Entahlah, Jenifa kini teringat akan ibunya, mertuanya, anak-anaknya, serta cintanya pada mereka, setelah ia membaca Nenek Kecil Diculik. Tapi rasanya, Jenifa bisa diingatkan akan semua rasa itu secara lebih baik dari buku-buku yang lain.
“Aku nggak perlu cerita, deh, Sayang. Aku perlunya: tidak pernah kembali lagi ke PERPUSTAKAAN ADA ADA.”
Bangkit rasa penasaran suami Jenifa akan kisah Nenek Kecil Diculik, ”Ya, sudah, kalau kamu nggak mau cerita, nanti malam aku mau pergi ke PERPUSTAKAAN ADA ADA dan membaca buku itu!”
“Lho, kok gitu?”
“Ya, begitu.”
“Kenapa begitu?”
“Karena begitu.”
“Begitu bukan jawaban!”
“Begitu bukan pertanyaan!”
“Begini!”
“Begitu!”
“Begini!”
“Begitu!”
“Begininini…”
“Begitutututu…”
“Lho, kok kita jadi nyanyi lagu Benyamin?” suami mencoba menghentikan duet, “Ngapain, sih, sok duet? Ceritanya mau drama musikal, gitu? Di tengah konflik, tahu-tahu nyanyi…”
“Yeee…” Jenifa sebal.
“Apa, yeeee?” tantang suami.
“Yeee bukan pertanyaan!” Jenifa semakin sebal dan melipat tangan.
“Apa sekalian kita nyanyi lagu Teacher?”
“Aku nggak hafal… Superman aja!” pinta Jenifa.
“Kok nggak hafal, sih? Bukannya kamu suka lagu itu?” sergah suami.
“Ya, kalau suka kan belum tentu hafal. Kamu aja suka nggak hafal jalan!”
“Nama-nama keponakan kamu, memang kamu hafal semua?” tantang suami.
“Hafal! Kamu hafal nggak tahun berapa Konferensi Asia-Afrika?”
“Hafal!”
“Aku juga hafal!” Jenifa tak mau kalah.
“Kita nyanyi lagu Sepakbola aja, gimana?”usul suami lagi.
“Siapa yang jadi Benyamin, siapa yang jadi Eddy Sud?” selidik Jenifa.
“Terserah, siapa aja!”
“Terserah bukan jawaban! Lagian kenapa kita jadi mau nyanyi lagi, sih?”
“Tahu, kenapa…” suami lepas tangan.
“Lagi pula aku nggak suka main bola, aku sukanya main bekel!”
“Main bekel juga pakai bola!”
“Ya, tapi bolanya beda!”
“Bola apa?”
“Bola bekel!”
“Main bola juga pakai bola!”
“Ya, tapi bolanya beda!”
“Bola apa?”
“Bola bola!”
Suami menghela nafas, kemudian suaranya meninggi lagi, “Sudahlah, Jenifa, pokoknya nanti malam aku mau ke PERPUSTAKAAN ADA ADA!”
“Tapi kamu sendiri yang ngelarang aku pergi ke PERPUSTAKAAN ADA ADA?”
“Iya, dan kamu nggak ngedengerin aku! Kamu malah tetap pergi ke sana!” nada suara suami semakin meninggi.
“Tapi sekarang justru kamu yang mau pergi ke sana?!” jerit Jenifa mulai mengimbangi tingginya suara suami.
“Bukan sekarang. Nanti malam, kataku!”
“Iya, sama saja. Intinya, kamu mau pergi ke sana. Padahal kamu sendiri yang bilang jangan pergi ke sana!” nada dari mulut Jenifa sudah semakin meninggi.
“Jadi kamu maunya apa?” suami memelankan suaranya, namun getar marah masih terdengar.
“Ya, kamu jangan ke sana…” Jenifa berusaha melunakkan suaranya sekeras-kerasnya.
Lekat-lekat mereka saling tatap.
Suami meninggalkan Jenifa ke ruangan lain. Dia memilih rebahan di tempat tidur, untuk meredakan marah. Sementara Jenifa menelentangkan tubuhnya ke sofa; tatakan tangan sofa menjadi bantal bagi kepala Jenifa dan ujung kaki-kakinya disanggah tatakan tangan sofa di seberangnya, untuk meredakan marah.
Waktu berjalan.
Jenifa bangkit dari sofa, mengambil termometer marah di laci buffet. Entah di mana termometer itu diletakkan di tubuhnya, yang pasti Jenifa mulai mengukur diri. Dia lihat angka yang tertera di termometer digital tapi bisa analog itu. Hasilnya: ternyata masih agak tinggi.
Jenifa mengembalikan termometer marah ke tempat semula, kemudian dia telentang lagi. Kali ini posisinya tanpa sadar ia tukar: ujung kaki-kakinya disanggah tatakan tangan di sofa dan tatakan tangan sofa diseberangnya menjadi bantal bagi kepala Jenifa.
Waktu berjalan.
Jenifa memutuskan untuk kembali mengecek dengan termometer marah. Wah, marahnya sudah turun. Kini Jenifa normal!
Segera Jenifa pergi menemui suaminya. Dia letakkan termometer marah, entah letak persis posisinya, yang pasti di tubuh suaminya. Suami tak banyak bergerak melihat aksi Jenifa.
“Bagaimana, Jenifa?” tanya suaminya selembut awan.
Jenifa menatapnya dengan sejuk di mata.
Berhasil, marah mereka sama-sama reda.
TAMAT