Nafas
Belajar empati dan toleransi akan perbedaan iman dalam keluarga
Words by Whiteboard Journal
Oma membaca Alkitab setiap hari, dan ini adalah pemandangan yang saya nikmati setiap pagi. Saya adalah seorang Muslim, tumbuh besar dalam lingkungan keluarga besar ibu saya yang beragama Kristiani. Memandangi oma membaca Alkitab adalah momen spiritual yang mencerahkan. Ketidakhadiran figur ayah yang memilihkan agama Islam untuk saya, oma menjadi figur yang punya andil besar dalam proses saya mempelajari dan mempraktikkan agama yang saya anut. Betul, saya yang mencantumkan agama Islam di KTP, justru banyak terinspirasi dari oma saya yang Kristiani.
Suatu hari, oma terjatuh di depan rumah. Pinggangnya cedera, membuatnya sulit beraktivitas. Saat sedang menemaninya istirahat, oma tampak begitu resah. Beliau resah karena tidak bisa pergi ke gereja. Doanya hanya satu, agar cepat sembuh dan bisa kembali beribadah ke gereja. “Beribadah itu nafas”, kata oma. Saat itu, saya belum paham betul maknanya, tapi entah kenapa kalimat itu tidak bisa lepas dari pikiran saya. Ketika beribadah mempunyai makna yang sama dengan bernafas, maka saat beribadah, kita hidup.
Soal memandang hidup, oma sangat konservatif. Keimanan pada Tuhan adalah yang utama, tetapi dia tidak pernah menggugat keyakinan saya yang berbeda dengan dirinya. Dari situ, saya belajar untuk menghargai keragaman dan meyakini jika semua agama dengan praktiknya masing-masing adalah setara.
Dukungan oma bisa dirasakan pada bagaimana beliau justru paling getol mengingatkan saya untuk tidak berhenti beribadah dengan cara yang saya yakini. Oma selalu mengingatkan saya untuk menjalankan salat, mengucapkan doa sebelum makan atau saat sebelum tidur. Bahkan saat kecil, oma adalah orang yang memberikan saya semangat untuk berpuasa sebulan penuh selama Ramadan.
Saya sempat berpikir jika di luar sana ada lebih banyak orang yang seperti oma. Tetapi ternyata saya kecewa. Ada sekumpulan orang yang seagama dengan saya, tetapi merasa dirinya berhak untuk mengintimidasi mereka yang berbeda. Padahal mereka yang berbeda ini hanya ingin beribadah dengan tenang, sama seperti saya dan teman-teman sesama Muslim lainnya – yang ingin beribadah di masjid dengan leluasa.
Berangkat dari prasangka, beberapa di antara saudara seiman saya ketakutan. Entah dari mana asalnya, paranoia ini membuat mereka memilih untuk menindas daripada menjadi yang tertindas. Takut keimanan tercoreng bila hanya diam, mereka berusaha melawan yang tak seragam. Ketakutan tak beralasan yang membuat saya justru paranoid dengan yang seiman.
—
Ini adalah cuplikan dari salah satu isi buku Whiteboard Journal Open Column, dikurasi oleh Cholil Mahmud, Cecil Mariani dan Irwan Ahmett buku ini berisi 20 tulisan yang membahas gagasan serta pertanyaan dalam bahasan tentang kesetaraan dan keragaman. Baca tulisan selengkapnya di buku Whiteboard Journal Open Column.