Mindfulness di Masa Swakarantina
Submisi dari Rafsanjani yang menggunakan mindfulness sebagai kacamata yang dipakai untuk menelaah pentingnya kebiasaan baru yang mulai kita jalani sekarang ini.
Words by Whiteboard Journal
Di masa pandemi ini, sadar maupun tak disadari ada perubahan cara hidup yang sedang kita jalani. Baik dari segi aktivitas fisik maupun psikis. Kita lebih mindful (sadar) terhadap aktivitas sehari-hari. Kita mulai membangun penciptaan ‘kebiasaan baru’ yang berkelanjutan. Lebih peduli terhadap keterbukaan informasi serta kesadaran implisit akan pentingnya beragam perspektif.
Dalam tulisan ini, saya mencoba menggunakan konsep mindfulness (meningkatkan kesadaran) sebagai kacamata yang dipakai untuk menelaah pentingnya kebiasaan baru yang mulai kita jalani sekarang ini. Dalam konteks ini, mindfulness bukan semacam praktik sisipan meditasi dalam aktivitas sehari-hari melainkan respons kondisional yang melahirkan kesadaran diri di situasi merebaknya virus corona (Covid-19) ini.
Persebaran Covid-19 yang begitu cepat dan masif menjadikan kita lebih wawas diri. Fokus kita yang awalnya hanya mementingkan ego sektoral (lingkaran terbatas) dan kebiasaan lama kita terhadap preferensi masing-masing semuanya tiba-tiba dialihkan oleh pandangan ancaman nyata dari virus ini. Kondisi ini menjadikan aktivitas keseharian kita terbatas lantaran imbauan untuk menjaga jarak fisik dan berdiam diri rumah sebagai salah satu langkah paling penting untuk memutus mata rantai penyebaran dari virus ini.
Kesadaran untuk memutus mata rantai Covid-19 kemudian melahirkan banyak di antara kita melakukan karantina mandiri (swakarantina). Masa ini menjadi semacam laboratorium kita. Tempat kita mengembangkan kesadaran diri terhadap hal-hal kecil yang mungkin selama ini dianggap remeh.
Kebiasaan selama swakarantina (saya sudah jalani selama kurang lebih 25 hari pada minggu ini) pelan-pelan menjadikan kita lebih meningkatkan kesadaran akan hal-hal kecil. Di hari-hari biasa sebelum pandemi Covid-19 ini muncul, mungkin beberapa hal tampak sepele dilakukan secara otomatis. Sebagai contoh ketika kita baru saja memegang sebuah benda seperti gagang pintu atau gawai dan sebuah makanan ringan tersaji di depan kita, mungkin kebanyakan dari kita hanya langsung mengambil makanan itu dengan tangan lalu memakannya tanpa berpikir untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Atau contoh lain, misalnya, dalam aktivitas rumah tangga, di hari-hari biasa, barang belanjaan dari luar rumah seperti sayur atau bahan rempah-rempah yang akan dikonsumsi dulunya hanya dicuci ala kadarnya, tidak ada kesadaran untuk melakukan inspeksi secara sadar. Dan masih banyak contoh aktivitas lainnya yang dulunya kita lakukan secara otomatis tanpa berpikir lebih sadar.
Belakangan, setelah Covid-19 ini muncul dan anjuran untuk melakukan cuci tangan atau menjaga kebersihan setiap saat (hal yang tampak remeh) sebagai salah satu cara untuk menghindari paparan dari virus ini, menjadikan kita lebih perhatian terhadap pentingnya mencuci tangan atau menggunakan penyanitasi tangan. Begitupun dengan anjuran untuk menjaga jarak fisik atau menghindari kerumunan, hal yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk tidak berada dalam situasi atau kondisi seperti itu. Semuanya menyadarkan kita untuk lebih fokus terhadap hal-hal yang awalnya dinggap remeh.
Sebagaimana yang saya sebutkan di awal tulisan bahwa di masa pandemi ini, kategori atau kebiasaan baru yang kita ciptakan atas respons dari kebiasaan lama memungkinkan kita bersikap lebih terbuka terhadap berbagai informasi atau lebih menyadari akan adanya perspektif yang berbeda-beda. Alih-alih meningkatkan kesadaran kita terhadap kebiasaan lama yang dianggap sepele.
Perspektif berbeda ini hadir dalam strategi metode pengajaran di sekolah kemudian dialihkan ke proses belajar-mengajar berbasis online (belajar dari rumah). Mungkin ini merupakan hal biasa bagi kebanyakan orang, apalagi di kalangan milenial yang melek teknologi dengan gawai di genggamannya. Namun, ada kebiasaan lama yang kemudian mengubah perspektif mereka belajar dari rumah yang bagi saya hal itu sudah semestinya mereka sadari lebih dini. Baru-baru ini, keluarga saya yang masih duduk di bangku SMA kelas dua diberi tugas untuk menonton salah satu film dokumenter dalam negeri dan diminta untuk mengulasnya (menceritakannya). Bagi dia dari sekian banyak tugas sekolah yang pernah dikerjakan sebelumnya, baru kali ini dia merasa mengerjakan tugas yang agak berbeda dan lebih menyenangkan. Ia tidak menyangka salah satu gurunya memberinya tugas menonton film dan diminta untuk menceritakannya dalam bentuk tulisan. Hal itu sudah lama ia dambakan lantaran suka menonton film yang awalnya hanya dianggap sebagai hiburan semata tanpa menyadari ada proses belajar di dalamnya.
Siasat Pribadi
Sebagai perantau yang sedang menuntut ilmu di Kota Makassar sambil mencari (mengupayakan) penghidupan yang layak, di masa pandemi ini imbauan untuk melakukan pembatasan fisik dengan tetap di rumah saja (meski bukan rumah yang sebenarnya) menjadikan saya lebih mindful dalam mengatur keuangan yang tersisa, alih-alih cemas untuk tetap bertahan di kota ini. Kebutuhan dasar yang harus terpenuhi dengan gaji yang tidak seberapa sebelum memutuskan untuk berdiam diri di rumah memungkinkan saya untuk mengatur siasat dengan penuh perhitungan.
Misalnya, sebagai perkenalan—saya sebagai perokok aktif yang hanya menghabiskan satu bungkus rokok isi 12 selama dua hari. Mungkin ini bisa jadi cerita konyol. Semalam, saya dihadapkan pilihan sulit hanya untuk menikmati segelas kopi dengan sisa sebatang rokok (saat itu uang saya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok favorit saya, sementara saya khawatir untuk membeli rokok batangan lantaran cara penjualnya mengeluarkan rokok dari bungkusannya menggunakan tangan yang mungkin saja di tangannya itu ada sesuatu yang harus dihindari). Jadi pada saat itu, setidaknya dua pilihan yang terlintas di kepala saya untuk mengimbangi kenikmatan segelas kopi dengan satu batang rokok. Apakah saya menyulut rokok itu di saat kopi sedang hangat-hangatnya? Atau apakah saya menundanya saja sambil menunggu kopi sisa setengah gelas barulah saya menyulutnya. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan saya memutuskan cara pertama sambil menikmatinya secara lebih sadar.
Saya kira, di masa-masa swakarantina ini dengan lebih banyak ‘berdiam diri’ di rumah, ada banyak hal yang awalnya dianggap sepele kemudian menjadikan fokus perhatian kita bertambah sekaligus meningkatkan kesedaran (mindfulness) kita terhadap kebiasan-kebiasan baru. Konon, mindfulness adalah salah satu cara menghindari rasa cemas maupun stres, dengan menempatkan perhatian, perasaan, dan perilaku sesuai dengan situasi yang tengah kita hadapi. Hal ini, jika dilakukan secara sadar tentu dapat menjadi keuntungan bagi kesejahteraan psikologis dan fisik kita selama melewati masa-masa sulit seperti sekarang ini.