Milledenials Mengajak Kita Mempertanyakan Konsep Usang tentang Masa Muda
Dalam submisi Open Column ini, Adam Sudewo menuangkan keluh kesah tentang masa muda yang beresonansi pada mini album “The Peak of Youth Life” karya Milledenials.
Words by Whiteboard Journal
“Let everything happen to you. Beauty and terror.
Just keep going. No feeling is final.”
⎯Rainer Maria Rilke
Menjadi muda barangkali bukan hanya persoalan mencapai usia tertentu. Lebih dari itu, di sana mungkin terdapat kepala yang meregang, ledakan hormon, dan tubuh yang selama ini dicetak di berbagai mesin diskursus dan realitas yang absurd. Semuanya seolah dipersiapkan untuk menjadi mature dan memasuki babak baru bernama lintasan sejarah manusia dengan tertib. Namun, beberapa orang justru memilih bentuk maturity lain: yakni immaturity itu sendiri dengan alasan tertentu. Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan Milledenials, unit emogaze asal Bali, dalam EP terbaru mereka The Peak of Youth Life yang dirilis Juli lalu.
The Peak of Youth Life berisi 5 materi lagu yang dibuka dengan Youth LiFe, Precious Me, Feel Any Pain, Nothing (feat. Nisa Hallam foe), dan ditutup dengan You Know That Youth Never Left. Semua materi lagu hampir diisi dengan komposisi berkarakter dan eksplorasi musikal yang meluas. Meskipun masing-masing lagu seakan terfragmentasi dan memikul dunianya sendiri, EP ini memiliki napas keterkaitan yang berayun di tiap lagunya. Menjadikan The Peak of Youth Life sebagai sejenis EP konseptual yang merekam kompleksitas masa muda: ketegangan antara kepastian dan ketidakpastian, identitas dan moralitas, juga cinta dan motif kerja.
Sebagai sebuah pembuka, “Youth LiFe” melemparkan kengerian fakta yang sudah dan belum dialami siapa pun: “Drained out at 25 // In the peak of youth life”. Angka tersebut menandakan seperempat penghabisan spirit manusia dan perjumpaan dengan tiga perempat masa depan yang tak dikenali. Usia yang rentan diberondong berbagai kenyataan dan kegelisahan macam, “Your exes getting married // And parenting makes me worried”.
Tentu, kita semua pernah dan akan mengalami kenyataan yang membingungkan di usia tertentu. Namun, menariknya, Milledenials justru mengamati secara mendalam genealogi manusia dan bagaimana hal tersebut seolah-olah mesti didistribusikan melalui pewarisan. Your exes getting married menandakan keberadaan cinta sebagai asal muasal hidup sepotong manusia, meskipun ia terjungkal di derajat yang paling menyakitkan sebelum kematian. Sedangkan melalui “And parenting makes me worried”, Milledenials seakan memperkarakan identitas dirinya dan mempertanyakan kembali konsep pewarisan yang selama ini dianggap sebagai salah satu indikator maturity. Dalam artian, Milledenials tak ingin begitu saja terjebak dalam kerangkeng raksasa macam ilusi keberlangsungan manusia dan memilih merayakan immaturity di ruangnya yang paling sempit dengan sisa cinta yang tercecer.
Barangkali, memang salah satu anasir yang menyetir masa muda adalah cinta. Biarpun perlu diakui, cinta kerap kali membuat kita berlaku tolol tanpa ampun. Dan, “Precious Me” adalah jawaban Milledenials akan hal tersebut. Tanpa pikir panjang, mereka menjangkarkan kata tersebut sebagai judul dan memungkinkan pembacaan atas keberdayaan seseorang tanpa terperangkap dalam dominasi cinta. Hal tersebut tentu membuat Precious Me berbeda dari sederet lagu cinta arus utama coming-of-age yang masokhis. Suara Nadya Narita yang asing namun tegas dalam menyanyikan bagian, “Had it to rub up the wrong way? // Had it to poise someone’s impatience // I wish this ship sailing smoother // When in the end we wreck it harder.” menyodorkan kita potret cinta yang hampir nihilistik. Meskipun pada akhirnya, lagu ini ditutup dengan lanskap melankolis yang disiram hujan dan cahaya bulan.
Selanjutnya, sebagai sebuah band, Milledenials tentu merasakan secaman kecemasan band tour yang menguras. Hal tersebut setidaknya tergambar jelas dalam Feel Any Pain. “Walk off the tour // Went home and relapse // These times are hard // It feels like I’m stuck in a jar.” Membuat mereka berada pada ketegangan untuk tetap tinggal atau beranjak dari tempat tidur. Untuk rehat atau tetap menancap gas.
Sebuah studi yang dilakukan Jenn Pelly dan dimuat di Pitchfork 2019 lalu, menemukan bahwa 73% musisi independen mengalami kecemasan dan depresi sehubungan dengan pekerjaan mereka. Pada tahun 2021, Journal of Psychiatric Research menerbitkan laporan tinjauan berjudul “Mental health issues among international touring professionals in the music industry” yang diikuti 1154 partisipan sebelum masa pandemi Covid-19. Laporan tersebut menunjukkan tingkat depresi dan stress klinis yang “sangat meningkat” dibanding dengan populasi umum, dan tingkat bunuh diri yang 5 kali lipat meningkat dari tingkat rata-rata populasi AS. Fakta pilu tersebut memang terjadi di belahan dunia yang lain, namun selagi berada di industri yang sama, Milledenials dan beberapa band Indonesia lainnya juga patut khawatir.
Memang, tak bisa dimungkiri bahwa band tour identik dengan perayaan kolosal sebuah karya. Namun di sisi lain, band tour juga menyaratkan hal-hal yang jarang tercatat dan masuk dalam lensa kamera ekosistem musik Indonesia: memainkan lagu yang sama berulang kali, insomnia, anxiety, berpindah dan menetap dari satu bandara ke bandara lain, dari kota satu kota lain, dari hotel satu ke hotel lain, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. Di titik ini, mungkin segala tempat bisa terasa asing layaknya penjara. “Call it depression // This all motivation”.
Dan untuk mengatasi hal tersebut, kita bisa melihat bagaimana upaya Milledenials membuka diri pada akumulasi rasa sakit akibat ditinggalkan oleh orang terdekat (juga dunia sekitar), tuntutan menjadi mature, dan kelelahan akan tour di penghujung lagu.
“Feel any pain // I’m here for an ok time // This flight, I gotta sleep // I gotta sleep”.
Keinginan Milledenials untuk tertidur bukan hanya merujuk pada pelupaan akumulasi rasa sakit tersebut, melainkan sebagai suatu kehendak bebas untuk terlepas dari realitas yang banyak menuntut di masa muda.
Akumulasi rasa sakit tersebut kemudian diteruskan di lagu berikutnya berjudul “Nothing”. Berbeda dengan materi keseluruhan lagu dalam EP “The Peak of Youth Life”, lagu ini memberi kesan muram yang lebih kental.
“Wake up at 3 in dawn // Mentally raped in town // One rally of a bad round // Soaks me now I’m frowned”.
Mendengar lirik berikut, kita bisa membayangkan seorang anak muda terbangun pada pukul 3 pagi di kamar yang gelap dan kemudian menyulut rokok, membuka lemari es dan tak menemukan apa pun kecuali sebotol kecemasan yang tergeletak membeku. Ia tak tahu apa yang ia lakukan. Sebab, berbagai kenyataan yang membingungkan mengawini masa mudanya dengan paksa. Tentang lalu lintas kerja di sebuah kota, engahan napas, dan hal-hal yang membuat kening berkerut.
Kehadiran vokal Nisa (Hallam Foe) yang pekat dan gelap pada bagian “Living in my own lies // Life’s a dream world // Now please don’t wake me up // Living through time time flies // I found ‘nothing’ in this world // Too tired to take care my own lies // Now please don’t wake me up // I found ‘nothing’ in this world” menambah kesan muram lagu ini sebagaimana judulnya: “Nothing”.
Jika lagu sebelumnya menceritakan tentang bagaimana Milledenials menghadapi akumulasi rasa sakit masa muda, Nothing adalah penegasan kembali terhadapnya. Di titik ini, setidaknya kita bisa memahami transisi psikologis Milledenials dan kompleksitas masa muda yang dinamis. Dan di titik ini pula, mereka mulai menyadari ilusi berbagai syarat dan kenyataan yang mempertanyakan tentang maturity seseorang di usia 25. Sebab, dari segala yang mereka alami selama ini, apa yang mereka temukan pada akhirnya adalah ketiadaan (nothing). Tak ada yang lain, kecuali immaturity tanpa ujung yang dirayakan dalam penutup EP The Peak of Youth Life.
You Know That Youth Never Left merupakan salah satu lagu Milledenials yang memiliki format berbeda sekaligus menjadi penutup EP mereka. Tak ada pukulan drum di sini kecuali lantunan vokal yang relfektif. “This one time we got wasted // To much fun the youth lied // Wake up and dejected // In the world we sleepover”. Memuat sekumpulan waktu dan dikotomi perasaan yang telah dilalui Milledenials menuju puncak masa mudanya.
Pada akhirnya, lagu ini ditutup dengan sebentuk perayaan dan penerimaan identitas di tengah segala kompleksitas masa muda. “Is she a friend or just a peer? // We spend days as a queer // Hiding and drinking a beer // I’d say please be here // Please be here“. Mereka menghabiskan waktu sebagai queer: entah terkait dengan arti literal atau merujuk pada identitas gender. Apapun itu, mereka adalah sejenis anak muda yang terbuang dari kelindan zaman. Teralienasi dari segala tuntutan moral yang mengarah pada maturity⎯menerima tongkat estafet pembangunan manusia yang terus bergulir menuju antah berantah. Mereka menolak itu semua dan memilih merayakan immaturity dengan sebotol bir dalam ruangnya sendiri. Sebab mereka percaya, sebagai sebuah spirit, youth never left.