Menjembatani Jarak Antara Cita-Cita Dan Realita
Pada submisi column kali ini, Sabil Ismail menulis tentang bagaimana cita-cita terasa semakin menjauh dari realita ketika beranjak dewasa.
Words by Whiteboard Journal
Di umur 25 tahun ini, saya mulai menyadari banyak hal yang sebelumnya luput dari perhatian saya. Mulai dari betapa berharganya waktu istirahat, nongkrong terlalu sering ternyata melelahkan, dan pentingnya manajemen finansial. Hal-hal yang beberapa tahun lalu tidak pernah terpikirkan oleh saya.
Untuk apa istirahat? Nggak tidur semalaman juga besoknya tetap segar. Nongkrong itu adalah kebutuhan primer. Uang nggak usah diirit-irit, toh rejeki sudah ada yang mengatur. Itulah apa yang ada di kepala saya di masa-masa sekolah dan kuliah. Tentu, karena berjalannya waktu dan perjalanan hidup, pemikiran saya berangsur-angsur berubah haluan.
Tapi, ada hal lain yang juga saya sadari setelah seperempat abad hidup di dunia tempat para durjana ini, yaitu seringkali ada jarak yang panjang antara cita-cita dan realita.
Waktu berumur 6 tahun, saya bercita-cita menjadi penerbang pesawat tempur. Cita-cita saya ini mungkin berhubungan erat dengan kakek saya. Beliau adalah seorang perwira TNI-AD, meskipun saya tidak pernah berjumpa dengan beliau, tetapi cerita-cerita heroik tentang beliau mewarnai masa kecil saya.
Beranjak ke kelas 5 SD, saya didiagnosa mengalami rabun jauh dan buta warna parsial. Menjadi seorang tentara yang kesulitan membedakan gradasi warna hijau tentu bukanlah sebuah langkah yang bijak. Oleh sebab itu, saya pindah lajur, kali ini saya ingin menjadi seorang game tester.
Game tester adalah pekerjaan keren yang saya baca di rubrik majalah langganan saya, XY Kids. Pekerjaan game tester “hanya” menguji coba game-game yang sedang dikembangkan oleh perusahaan pengembang game. Itu adalah pekerjaan impian, ucap pikiran saya yang saat itu sedang berusaha untuk menyelesaikan game Bully di konsol PS2.
Masuk masa-masa SMP, saya bersekolah di sekolah favorit yang letaknya di pusat kota tempat saya tinggal. Di masa ini, saya mulai menemukan pergaulan yang lebih luas dan orang-orang yang lebih beragam. Seperti umumnya anak baru gede, saya mulai mencari jati diri dan validasi dari orang lain. Bentuknya beragam, mulai dari mencoba untuk fit in dengan orang-orang, melakukan bullying, hingga yang paling positif, saya ikut ekskul basket.
Lagi-lagi, saya sepertinya menemukan cita-cita baru yang lebih masuk akal. Saya anak SMP tapi tidak bodoh-bodoh amat, belum pernah saya dengar ada perusahaan game di Indonesia. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi game tester? Akhirnya saya memutuskan untuk bercita-cita menjadi pemain basket. Permainan basket saya nggak terlalu jago tapi juga nggak buruk, bisa dibilang medioker. Prestasi tim basket kami yang terbaik adalah menjadi juara dua di suatu kompetisi regional.
Tidak lama hingga saya sadar bahwa saya memiliki satu hambatan lagi untuk menjadi pemain basket profesional, tinggi badan saya hanya 166 cm. Untuk ukuran orang Indonesia, tinggi badan ini masih dikatakan rata-rata atau bahkan sedikit di atas rata-rata. Tapi untuk bermain basket, sepertinya lebih baik cari olahraga lain seperti congklak atau kasti.
Beranjak ke masa SMA, di titik ini, saya tidak tahu lagi apa cita-cita saya. Sepertinya saya mulai memahami bahwa hidup ini memiliki dendam pada orang yang memiliki cita-cita. Akhirnya, saya lebih banyak menganut prinsip ‘jalanin dulu aja, sisanya lihat nanti’.
Tapi, ada satu hal yang tidak pernah hilang dalam diri saya, yaitu kegemaran saya untuk membaca. Saya suka membaca sejak kecil. Mulai dari majalah Bobo hingga buku-buku ayah saya tentang parenting, saya baca di waktu kecil. Bukan berarti saya mengerti buku-buku ayah saya pada waktu itu, saya hanya merasa penasaran ingin mengetahui apa yang tertulis di dalamnya. Saya memang tidak banyak mengerti tapi saya baca sampai habis. Tak hanya itu, bacaan ibu saya seperti tabloid Nova, majalah Paras, dan majalah Ayahbunda pada waktu itu, ikut saya baca.
Ketika SMA, saya mulai punya uang saku yang cukup banyak untuk membeli buku-buku yang saya inginkan. Saya ingat membeli buku-buku Sherlock Holmes, Harry Potter dan lain-lain. Ketika SMP, sekali waktu saya mengunjungi perpustakaan dan menemukan sebuah novel lawas koleksi perpustakaan berjudul Lembah Membara. Novel ini bercerita tentang pejuang kemerdekaan yang merupakan bekas tentara Inggris di Perang Dunia II. Saya tidak pernah selesai membacanya, karena itu saya mencarinya di internet dan berhasil membelinya di masa SMA.
Mendekati masa-masa berakhirnya SMA, saya tidak tahu ingin kuliah di jurusan apa. Ayah dan ibu saya berharap saya masuk fakultas kedokteran, tetapi sepertinya saya tidak terlalu berminat. Hingga akhirnya saya mencari-cari informasi dan memutuskan bahwa saya ingin kuliah di jurusan teknologi pangan. Singkat cerita saya lolos dan diterima melalui jalur undangan.
Di masa kuliah, saya sudah membuang jauh-jauh konsep cita-cita. Bagi saya waktu itu, hidup adalah apa yang terjadi sekarang. Besok belum tentu datang dan kemarin sudah terlalu jauh untuk dikhawatirkan. Hati kecil saya pun sebenarnya tau bahwa saya tidak ingin berkecimpung dalam hal yang berkaitan dengan jurusan saya ketika bekerja nanti.
Saya ingat perpustakaan kampus saya termasuk bagus, bahkan sepertinya gedung tertinggi di area kampus adalah perpustakaan. Saya beberapa kali meminjam buku-buku yang beraneka ragam mulai dari The Great Gatsby hingga Rihla karya Ibnu Battutah. Bahkan saya lebih banyak nongkrong di perpustakaan daripada di manapun ketika mengerjakan skripsi.
Setelah berkuliah selama 4 tahun 7 bulan, akhirnya saya lulus dari universitas. Seperti yang saya bilang, di titik ini saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan. Namun, karena ketidaktahuan saya, akhirnya saya menyimpulkan bahwa saya lebih baik berwirausaha. Saya membuka sebuah usaha dengan beberapa teman.
Di awal-awal berjalannya usaha, semuanya seperti berjalan lancar. Tetapi, belakangan, masalah muncul bertubi-tubi hingga puncaknya datang pandemi COVID-19 yang benar-benar memberikan pukulan K.O.
Selama menjalankan usaha, saya diam-diam punya hobi lain yang sebelumnya tidak pernah saya tekuni. Menulis. Saya mulai menulis karena saya suka. Lalu saya mulai memberanikan diri untuk mengirimkan naskah-naskah artikel. Dapat berita bahwa satu artikel saya dimuat dengan honor Rp100.000. Saya bangga bukan main. Rasanya seperti tak lama lagi saya menjadi J.K. Rowling atau Iwan Simatupang atau siapalah sastrawan yang terkenal.
Tak berhenti sampai di situ, saya mulai ikut kelas-kelas kepenulisan secara online. Saya mulai memasang iklan di platform freelance di internet. Tak dinyana, saya mulai mendapat pesanan artikel rutin dari klien yang berada entah di bagian bumi mana. Lalu saya mulai melamar ke beberapa perusahaan sebagai penulis konten. Gagal berkali-kali, mungkin mendekati seratus kali, hingga akhirnya saya diterima menjadi penulis konten di sebuah start-up.
Sejujurnya, sampai sekarang pun saya tidak tahu apakah yang saya jalani saat ini adalah cita-cita saya yang terpendam, kalau memang ada yang disebut dengan cita-cita. Saya tak pernah membayangkan diri saya menjadi seseorang yang mencari penghidupan dari dunia pena dan kertas, atau kalau sekarang lebih cocok disebut dengan dunia keyboard dan layar. Tapi, saya tahu pasti bahwa saya suka menulis. Untungnya, menulis tidak membutuhkan saya untuk tidak rabun jauh, bisa melihat semua gradasi warna, tinggi badan menjulang semampai dan syarat-syarat lain yang tidak memberikan keuntungan bagi saya.
Dari berbagai cita-cita yang saya inginkan semenjak kecil hingga beranjak dewasa, saya menemukan adanya jarak yang cukup jauh antara cita-cita dan realita. Saya tidak tahu apakah orang lain juga merasakan hal yang sama. Sampai sekarang pun, saya masih tidak selera untuk bercita-cita, karena dari pengalaman, banyak hal yang dicita-citakan justru tidak tercapai. Itu satu cara untuk melihat.
Tapi, saya menyadari ada cara lain untuk melihatnya. Kalau saja, saya tidak pernah bercita-cita menjadi penerbang pesawat tempur, yang pada akhirnya membuat saya bercita-cita menjadi game tester, yang membuat saya bercita-cita menjadi pemain basket, yang akhirnya membuat saya apatis terhadap cita-cita, yang membuat saya lebih banyak membaca buku, mungkin saya tidak menjadi seperti sekarang.
Pada akhirnya, mungkin cita-cita dan realita mendekat seiring berjalannya waktu, hingga keduanya saling bersinggungan. Kita yang seharusnya tidak tergesa-gesa untuk melihatnya.