Menjalin Hubungan di Tengah Pandemi
Submisi dari Amelie Effendi yang menyadarkan bahwa kita tidak berjuang sendirian di tengah pandemi ini.
Words by Whiteboard Journal
Sudah hari ke berapa?
Kudengar suaranya dari seberang sana. Hari ke berapa. Hari apa. Tanggal berapa. Bahkan aku jarang ingat kalau tidak membuka kalender di telepon genggamku. Di hari-hari awal rasanya memang masih wajar untuk menghitung kemungkinan berapa hari lagi swakarantina ini akan berakhir, tapi kalau sudah sampai di titik ini: pasien makin bertambah banyak, keadaan ekonomi yang kacau, bahan makanan yang mulai sulit didapat, apakah masih diperlukan? Apakah menghitung kemungkinan-kemungkinan atas dasar kepentingan masing-masing masih perlu dilakukan? Kurasa tidak. Di hari yang ternyata sudah menyentuh angka dua puluh lima aku sadar bahwa orang-orang mulai semakin terbiasa dengan keadaan yang mengharuskan mereka berdiam diri di rumah. Memang masih banyak keluhan yang berserakan di sosial media, pesan-pesan pendek, ataupun sambungan telepon tengah malam, tapi setidaknya ada sedikit perubahan yang terjadi di lingkunganku dan mungkin juga di lingkungan orang-orang lain.
Di hari-hari awal karantina seorang teman bercerita bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis di malam hari merutuki segala hal yang harus dibatalkan tahun ini, juga cerita tentang bagaimana mereka yang tiba-tiba terpaksa berhubungan jarak jauh, dan tentunya segala hal tentang kehidupan yang mulai berubah. Pun aku tak ubahnya mereka. Aku sama. Entahlah, kadang aku merasa malu dengan apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana rasa syukur sangat sulit didapatkan padahal aku hanya cukup berdiam diri di rumah dengan fasilitas dan makanan yang serba sehat. Aku tetap mengeluh. Aku ingin kuliah. Aku ingin bertemu teman-teman. Aku ingin bertemu kekasihku. Juga alasan lainnya yang mungkin saja terdengar picisan bagi mereka yang masih harus berjuang di luar sana.
Tapi baiklah. Pada akhirnya manusia selalu punya batas masing-masing. Batas yang membuat mereka paham tentang apa yang harus mereka lakukan di masa-masa seperti ini. Mengeluh tidak selamanya harus dilakukan. Pun pada kenyatannya, kita tahu mengeluh hanya akan sedikit melegakan batin yang tetap saja menyisakan beban di seluruh tubuh. Dan dari batas itulah mereka akhirnya sadar bahwa bersyukur merupakan bagian terbesar untuk mendapatkan energi. Setidaknya dari tubuh kita sendiri. Ditambah kreativitas yang mendadak tumbuh di tengah-tengah kegetiran: memasak menu-menu unik, membuat kopi dalgona, bercocok tanam di halaman rumah, mengulas film setiap habis menonton, membuat cerita-cerita pendek, dan masih banyak lagi.
Lantas apa lagi yang perlu dipermasalahkan? Tentu saja masih banyak. Bersyukur sudah. Berkreativitas sudah. Tunggu. Masih ada perasaan yang minta diberi asupan. Orang-orang sering bilang ini tidak lebih dari masalah picisan. Tapi bagi sebagian orang mencoba berpura-pura untuk baik-baik saja ketika merasa jauh dengan keluarga, teman, dan kekasih adalah hal yang sulit. Bahkan sangat sulit. Seperti yang aku amati terhadap diriku sendiri dan teman-teman di awal swakarantina: kaget, bingung, dan entah apa yang harus dilakukan. Ditambah wabah bukan perkara mudah yang bisa diprediksi kapan akan menghilang. Kita hanya bisa harap-harap cemas, tentu saja dengan menahan rindu terhadap orang-orang yang kita sayang.
Kapan? Menjadi sebuah pertanyaan yang menakutkan. Hari-hari berlalu cepat. Sambungan wifi semakin lelet karena banyak digunakan orang untuk bekerja dari rumah. Kuota-kuota termakan habis. Pulsa lenyap. Kata-kata dalam pesan mulai basi. Kerinduan makin menjadi-jadi. Orang-orang sakit dimakan rindu. Dimakan kenyataan. Dimakan berita menyeramkan. Terhimpit, yang akhirnya membuat mereka ingin bangun. Ingin membiasakan. Ingin jujur untuk tidak baik-baik saja agar kelak bisa diobati. Hari-hari berlalu lagi. Tentu saja rindu masih tetap nyata. Bergeming. Karena pertemuan tak kunjung datang. Realita semakin menakutkan.
Bagaimana ini?
Ternyata tidak semenyeramkan yang dipikirkan. Sudah dua puluh lima hari kita berhasil. Sudah dua puluh lima hari rindu kita mulai maklum dengan keadaan. Sudah dua puluh lima hari, ternyata, kita mampu bertahan dan menuai pelajaran atas semuanya.
Di masa-masa ini aku mulai sadar, bahwa rindu bukan hanya lahir untuk menyiksa orang-orang yang merasakannya, tapi ternyata ia juga memiliki andil yang besar terhadap kita untuk merasakan bagaimana rasa kasih terhadap orang-orang yang sedang jauh dari kita malah semakin kuat. Rasa kasih itu bukan saja berupa rindu, tapi juga kekhawatiran, tapi juga rasa ingin mendoakan agar dimana pun mereka berada akan selalu diberikan kesehatan. Pun akhirnya lambat laun kita tahu bagaimana cara menyikapi seluruh perasaan itu.
Di hari ke dua puluh lima ini aku mulai merasakan bagaimana teman-temanku akhirnya mulai beranjak untuk tidak lagi merutuki apa yang terjadi. Begitupula denganku. Aku sering berpikir, seharusnya, hubungan jarak jauh menjadi hal yang menakutkan dan membosankan. Tapi ternyata tidak, ketakutan untuk tidak percaya dengan pasangan ataupun bentuk hubungan lainnya tidak perlu kita lebih-lebihkan mengingat kita tidak berjuang sendirian. Kita berjuang sama-sama. Juga ketika bosan seharusnya datang, ide-ide unik malah semakin liar berkembang di dalam otak untuk membuat hubungan jarak jauh ini menjadi menyenangkan. Hebat. Manusia begitu hebat.
Dari semua hal itu pada akhirnya aku berhasil menarik kesimpulan bahwa tidak ada kekecewaan yang tidak memiliki obat, setidaknya obat pereda. Sakit seringkali datang, tapi itu wajar dan obatnya ternyata bisa dari mana saja. Dari bagaimana kita menatap sebuah masalah, dari bagaimana kita menumbuhkan kepercayaan, dan dari bagaimana kita semakin memahami diri sendiri di tengah-tengah kegetiran yang kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir. Orang-orang mungkin mulai sibuk merutuki 2020, tapi semoga saja hal itu tidak selamanya. Bagiku, tahun 2020 masih panjang. Aku percaya akan ada hari-hari, bulan-bulan yang menjadi hadiah dari segala yang sudah kita lewati. Sekarang, kita hanya perlu bertahan. Bertahan dengan apa yang sudah kita tanam dari sebelum masa-masa ini datang. Jangan goyah. Jangan lebur. Sekalipun kita berada di kesepian yang paling mencekam, kita tidak pernah benar-benar sendiri. Teman kita ada di seluruh dunia. Kekecewaan, kesedihan, dan kerinduan kita bukanlah yang paling mendalam. Semua orang merasakan sakit dengan porsi dan cara yang berbeda. Juga otak, hati, doa, harapan akan selalu menyembuhkan kita dengan cara yang paling aneh sekalipun.
Begitupula malam tidak akan selamanya malam. Pagi datang. Matahari menyambut. Burung berkicau. Sekalipun hujan, reda akan selalu muncul melahirkan pelanginya…
di sebuah kota kecil, 9 April 2020.