Mencari Batas Ruang Keterasingan dan Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Manusia
Pada submisi open column kali ini, Adam Sudewo membahas tentang peran artificial intelligence dalam kehidupan manusia lewat buku Klara and the Sun karya Kazuo Ishiguro.
Words by Whiteboard Journal
Pada 1950, saat AI menjadi semacam kabut tipis yang datang dari negeri paling jauh, Alan Turing dalam papernya Computing Machinery and Intelligence, membangkitkan pembentukan dan pengembangan tubuh AI yang sama sekali baru. Ia menyatakan jika manusia mampu menyelesaikan masalah dan membuat keputusan berdasar informasi dan tatanan yang tersedia, mengapa mesin tidak bisa melakukan hal yang sama?
Enam tahun setelahnya, kata “Artificial Intelligence” pertama kali dipakai John McCharty dalam program peneletian Darthmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence (DSRPAI) yang mogok. Keterlambatan ini menjadi simpuls motorik yang mengorek jeroan kepala peneliti selanjutnya. Berlari menuju hari esok yang kosong dan antah berantah.
Tahun 1980 adalah hempasan lepas ombak bagi AI. Komputer mulai diproduksi massal seperti es krim. Sekumpulan riset tentang AI berkembang di berbagai pusat studi sampai lorong-lorong universitas. Membuka ruang-ruang baru bagi keterasingan dan pertanyaan tentang manusia.
Di tahun yang sama, Craig Raine menerbitkan buku puisi A Martian Sends a Postcard Home dan terjadi letupan minor Martian Poetry. Sebuah literary movement di Inggris Raya yang menggambarkan perkakas sehari-hari dan perilaku manusia dengan sangat aneh dan asing. Bahkan, di titik paling jauh, keterasingan menjadi subjek imajiner bagi Martian Poetry.
Dalam puisinya, Raine menggunakan narator penghuni Mars sebagai pantulan realitas dalam kegagapannya terkait dua hal tersebut. Misalnya, ia menyebut book sebagai caxton dan mendeskripsikan demikian:
mechanical birds with many wings
perch on the hand
cause the eyes to melt
or the body to shriek without pain
Di Inggris, menurut James Wood, Martian Poetry menjadi elemen populer dalam pengajaran puisi di sekolah-sekolah. Sebab keterasingan sesederhana terjemahan, tulisnya. What is the haunted apparatus? A telephone, miss. Well done. What are Caxtons? Books, sir. Splendid.
Di waktu yang sama, Kazuo Ishiguro memulai karir sebagai seorang novelis dengan terbitnya A Pale View of Hills. Ia besar, setidaknya, dalam bayang-bayang AI dan tradisi Martian Poetry. Kemudian suatu saat, menyusul kesuksesan Never Let Me Go dan The Remains of the Day, ia meletakkan Martian Poetry dan AI dalam progresi ruang keterasingan dan pertanyaan yang sama di novel terbarunya. Klara and the Sun.
Sebuah dystopian science fiction novel yang lembut, suram, sekaligus menghentak. Narasi novel ini begitu jernih dan saya sangat menikmatinya seperti croissants atau musik-musik Perancis di pagi yang murung. Seakan batas yang memisahkan saya dengan teks (atau gambar tentang teks tersebut) hanyalah kaca bening yang tipis. Saya bisa melihat jelas bagaimana Ishiguro bermain-main dengan kesepian dan kesadaran, keluguan dan kematian, dan sebagainya.
Bercerita di waktu yang tidak terlalu lama akan terjadi, Klara adalah seorang AF (artificial friend) yang memiliki kemampuan observasi serupa manusia dan dibeli seorang gadis pesakitan bernama Josie. Ia menghabiskan waktu untuk mengisi kesepian Josie. Kesepian anak kecil yang jeroannya telah dibongkar-pasang untuk peningkatan kognitif seperti teman-temannya di sekolah.
Tidak hanya menemani Josie, Klara seakan dilempar pada faktisitas dan kemungkinan sekitar Josie. Seperti pertemuannya dengan, Mother, Rick (teman kecil Josie yang secara genetik tidak dirombak dan karenanya dianggap inferior), Mrs. Helen, dan lainnya. Memaksanya belajar menjadi mesin-yang-dewasa. Kemudian semua itu terangkum dalam lingkar kepala Klara terkait batas ruang keterasingan dan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia. Dengan bahasa yang ia terjemahkan sendiri secara mekanik. Seperti narator dalam puisi-puisi Craig Raine.
Dengan narator sebuah mesin beserta keterbatasan pengelihatannya, Klara and the Sun secara tidak langsung merepresentasikan kehidupan kompleks yang terfragmentasi. Sebab, dalam wawancaranya, Ishiguro menganggap keterbatasan pengelihatan sebaris dengan kemampuan mengamati lebih cepat.
Melalui pendekatan seperti ini, Klara sebagai makhluk asing sekaligus seperti anak kecil, melalui matanya memotret secara natural perihal pertanyaan fundamental sekaligus eksistensial tentang manusia: Apa yang membuat manusia spesial? Apakah manusia pada dasarnya merasa kesepian? Apa maksud manusia ketika mereka mengatakan saling mencintai satu sama lain?
Lebih jauh, Ishiguro membentangkan batas keterasingan dan pertanyaan tentang manusia seperti adonan donat. Menarik-ulur percakan-percakapan tokohnya dalam potret bom di bawah meja. Misalnya dari percakapan anrata Klara dengan Mr. Paul:
‘Do you believe in the human heart? I don’t mean simply the organ, obviously. I’m speaking in the poetic sense. The human heart. Do you think there is such a thing? Something that makes each of us special and individual?’
‘The heart you speak of,’ I said. ‘It might indeed be the hardest part of Josie to learn. It might be like a house with many rooms. Even so, a devoted AF, given time, could walk through each of those rooms, studying them carefully in turn, until they became like her own home.’
‘But then suppose you stepped into one of those rooms,’ he said, ‘and discovered another room within it. And inside that room, another room still. Rooms within rooms within rooms. Isn’t that how it might be, trying to learn Josie’s heart? No matter how long you wandered through those rooms, wouldn’t there always be others you’d not yet entered?’
‘Of course, a human heart is bound to be complex. But it must be limited. Even if Mr Paul is talking in the poetic sense, there’ll be an end to what there is to learn. Josie’s heart may well resemble a strange house with rooms inside rooms. But if this were the best way to save Josie, then I’d do my utmost. And I believe there’s a good chance I’d be able to succeed.’
Itu terjadi ketika orang tua Josie merencanakan kemungkinan untuk mengganti Josie seperti dispenser rusak (yang saat itu mulai sakit-sakitan) dengan Klara jika ia mati. Melalui observasi robotik dan bantuan sains terkini.
Namun, observasi robotik tersebut mengalami kesulitan terutama ketika Klara mencoba mengamati sekaligus meniru isi hati Josie (bukan sebagai organ, melainkan perasaan puitik) yang kompleks namun tetap memiliki batas.
Pada titik ini, perasaan puitik sebagai kesadaran menjadi ciut dan hampir mendekati nol. Ia muncul dari riak-riak hormon. Kemudian saya teringat tesis-tesis science underground yang menyatakan manusia tak lebih sekadar algoritma dalam rantai organ biologis. Seperti yang dikatakan Alan Turing dan mechanical birds.
Tapi setidaknya, percakapan Klara dan Mr. Paul menyadarkan saya tentang batas-batas bilogis maupun imjainer manusia. Dalam usahanya menaklukan dunia dengan geliat kapitalisme.
Ketika Josie terbaring lemas di kamar tidurnya, Klara mengingat bagaimana ia melihat Matahari mampu menolong pengemis dengan cara ajaib dari kaca jendela toko sebelum ia dibeli Josie. Lalu pergi menuju lumbung dan memohon kepada Matahari untuk menyembuhkan Josie. Di novel ini, Matahari adalah subjek.
‘Please show your special kindness to Josie.’
Menariknya, di samping gelimpangan mayat tuhan di lini masa sosial media saat ini, Klara sebagai mesin meyakini ada sesuatu di luar dirinya dan manusia. Sesuatu yang—absolut atau tidak, nyata atau metafisik, memberi kehidupan dan keajaiban dan batas. Batas yang kian melebar, menjalar ruang keterasingan dan ambisi penaklukan. Memunculkan ketakutan purba Adam-Hawa saat pertama kali dicelupkan di muka bumi.
Tahun-tahun berikutnya, AI tidak hanya menjadi alat mempermudah pekerjaan manusia. Ia menjadi selimut dalam kesepian yang radikal. A Martian Sends a Postcard Home dicetak ulang. Klara and the Sun masuk daftar panjang Booker Prize 2021. Dan masih ada pertanyan-pertanyaan lanjutan di masa depan yang terbuat dari sekrup dan plastik supermarket.