Memori, Perjuangan, Kekhawatiran, dan Hal-Hal Lain Tentang Pematang Siantar
Pada submisi column kail ini, Hillfrom Timotius melepas rindu terhadap kota Pematang Siantar dengan menuliskan memori, ode perjuangan perantau, hingga kekhawatirannya pada nasib kota tersebut di masa pandemi.
Words by Whiteboard Journal
Ise songon au, sude do mananda ahu.
Jakarta dalan-dalanki di pulo Batam bisnis hi.
Siantar men siantar man, anak Siantar do au ito.
Molo bicara tentang cinta pos roham setia do au.
Rela berkorban demi cinta dang olo au mengingkar janji.
Usaha mempertahankan prinsip bukan sebuah hal yang mudah. Barangkali mempertahankan prinsip memiliki sinonim bernama sifat angkuh, percaya diri yang kelewatan, dan dalam beberapa kasus, menyiksa diri sendiri. Tekad untuk menolak musik sebagai topik bahasan dalam diskografi penulisan saya, sore tadi nyaris saya khianati. Banyak sekali essai dan pemikiran menyoal musik––lima huruf yang mengubah hidup saya, yang ingin saya setubuhi dan hempaskan dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, sudah lah, Pop Hari Ini, Cultura Magazine, dan Music Vibe sudah cukup kenyang menyantapnya.
Entah kepalang rindu dengan kota kelahiran kedua orang tua saya, amunisi kuliner pemuas perut yang tidak ada habisnya, atau letak kota ini di hati saya. Pematang Siantar jadi hal pertama yang jahil mampir di pikiran saya. Melayangkan pikiran saya pada memori, ode perjuangan perantau, kekhawatiran pada nasib kota ini di masa pandemi, hingga dongeng pengantar tidur seputar kehidupan 90-an di Jalan Toba, Tomuan, dan Pajak Horas.
Mari kembali ke barisan lirik di bawah gambar pembuka artikel ini. Jakarta bisa saja diwakilkan oleh “Ode Untuk Kot”a dari Bangku Taman. Bali boleh saja tergambarkan melalui “Jalan-Jalan” dari The Hydrant. Siantar pun demikian, seluk beluk individunya tercermin murni lewat senandung individu-individu bersuara emas kelahiran kota ini. Rasanya, penyanyi batak yang saya temui di Jakarta, kebanyakan lahir dan tumbuh besar di kota ini.
Ise songon ahu, sude do mananda ahu. Kalimat barusan apabila diartikan menyatakan bahwa sang penyanyi berujar bahwa tidak ada yang sepertinya, semua mengenalinya. Hal ini yang membuat saya kerap kali berpikir, saat Tuhan menciptakan warga Siantar, ia tidak sengaja menumpahkan cairan rasa percaya diri. Hasilnya, penduduk kota ini punya rasa percaya diri yang tidak tanggung-tanggung, ada di batas maksimal!
Jakarta dalan-dalanki di pulo Batam bisnis hi. Ke Jakarta untuk wisata, ke Batam untuk berbisnis. Kota ini memang punya kualitas wahid urusan ekspor perantau. Pendekar berdarah batak yang lahir dari kota ini telah melebarkan sayapnya di seluruh penjuru dunia. Perantau dari kota ini bermental baja, siap bertarung, dan gigih dalam bekerja. Setidaknya hal itu lah yang saya temukan dalam diri ayah dan mama. Kedua sosok dahsyat dalam hidup saya.
Dua kalimat terakhir dalam cuplikan lirik lagu tersebut berbicara soal cinta. Bagaimana sang penyanyi mendiskripsikan orang Siantar dengan sifat yang loyal, tak pernah ingkar janji, dan rela berkorban––penggambaran yang flamboyant dan elegan. Kota ini romantis, tak ayal manusianya pula. Ayah dan mama punya 1001 cerita masa muda mereka yang dimabuk asmara. Siantar gelap dan gemerlap di waktu yang sama. Cinta dalam kamus kota ini beribu maknanya. Dari cinta yang teatrikal, santer dengan rayuan, hingga cekikikan. Iya, kota ini lengkap dan ahli sampai ke soal esek-esek.
Siantar itu berbeda. Dia punya segalanya. Tapi tidak jumawa. Dia bukan Jakarta yang kompleks dan gaduh. Bukan juga Bandung yang romantis tapi taktis. Siantar itu Siantar. Kota yang tidak terlampau besar di Jalan Raya Lintas Sumatera. Ditempuh dengan berkendara selama 2 jam dari Bandara Internasional Kualanamu––itu juga kalau sang supir tidak mampir untuk buang air besar di rumah makan saat perjalanan baru berlangsung.
Siantar adalah umroh bagi para penggila Bakmie. Sebut saja Simpang Dua, Pajak Horas, Parluasan, hingga Tomuan. Beragam merek dengan beragam jurus racikan dan formula antar keluarga siap menggoyang lidah siapapun yang menikmatinya.
Ah iya, bertanya perihal halal atau tidaknya santapan di Siantar sama hukumnya dengan bertanya soal sakit atau tidaknya proses pembuatan tattoo pada sang artis tattoo. Sewajarnya, untuk keduanya, kita sudah sama-sama tahu jawabannya.
Sapi cebol––sebutan gemas untuk babi juga menjadi primadona di kota ini. Bersanding dengan kedai kopi yang kian hari kian bertambah jumlahnya, olahan B2 juga tersedia dalam berbagai bentuk variasi menu. Saksang, panggang, goreng, hingga arsik. Semua tergantung selera.
Persetan thrift shop, Siantar punya Pajak––sebutan lokal untuk pasar, yang punya tumpukan barang rojer––barang-barang impor yang telah melalui proses kurasi, yang tidak mampu menembus pasar perdagangan barang di negara lain. Lain kali akan saya ceritakan kisah tentang sebuah celana Nike dan kemeja Uniqlo yang dibanderol seharga satu porsi Soto Mie Bogor di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Siantar punya posisi khusus di hati saya. Bak teman lama yang sudah jarang bertemu, tapi masih selalu saya perhatikan. Pandemi ini membuat rasa khawatir terhadap kota ini meningkat. Siantar bukan kota yang hingar-bingar hingga malam berganti. Dalam beberapa kasus, jam 7 malam sudah menjadi batasan waktu untuk mematikan lampu pertokoan.
Bagaimana bisnis Paradep? Moda antar-jemput penumpang yang menjadi salah satu alternatif kendaraan untuk singgah di kota ini. Bagaimana omset penjualan para pedagang Bakmie? Apakabar peracik minuman dan jagal daging di pasar? Semoga pandemi bisa cepat berlalu, saya, dan barangkali kamu, dapat menyapa Siantar. Tempat para pemimpi bersauh, tradisi dihormati, dan cinta dimaknai.