Melihat Dapur Sebagai Tempat di Mana Keajaiban Terjadi
Bagaimana kamu mengingat masakan seseorang?
Words by Whiteboard Journal
Saya mengingat masakan opor putih dan sayur labu jipang masakan ibu saya, kelezatan yang sederhana dan mudah diingat. Saya mengingat enaknya mie sapi buatan mas Satria yang baru-baru ini jadi langganan saya, masakan mas Satria yang lezat membuat saya berteman baik dengannya sekarang. Adalagi Rumah makan chinese food di dekat tugu yang sudah keluarga saya kunjungi sejak saya masih SD, dengan rasa yang tidak berubah. Tak melulu pengalaman yang hangat dan menyenangkan, ada pula pengalaman buruk akan masakan berupa nasi goreng warmindo di dekat kampus yang sepertinya dimasak seperempat hati, vetsinnya terlalu banyak hingga masih menyisakan kristal-kristal vetsin saat saya kunyah, bayangan yang mengerikan.
Saya yakin, mengenai masakan kita akan mengingat banyak hal lebih baik, bila tidak demikian, ya itu kesialan sebenarnya. Mungkin ingatan bisa bangkit dari aroma masakan, atau dari makanan yang kita makan. Kenangan akan orang atau hal-hal yang kita sayangi, hingga sesuatu yang paling kita benci.
Masakan adalah sihir, ia mampu bercerita tanpa bersuara. Bercerita dengan rasa, aroma, bahan-bahannya dan aspek lain sekitarnya. Contohnya kita bicara tentang jengkol, pasti kita bisa merunut berbagai cerita dari satu makanan tersebut, entah dari pengalaman jengkolan, membenci jengkol atau pengalaman menghirup bau jengkol paska ekskresi tubuh di toilet yang baunya amat jahanam.
Dalam sebuah fragmen dari novel Laut Bercerita yang ditulis Laila S. Chudori, makanan disimbolkan sebagai anggota keluarga. tokoh utama novel tersebut, Biru Laut amat menggemari masakan tengkleng dan gulai ibunya di rumah. Di antara kisah sedih hidupnya dalam novel tersebut, Laut bercerita tentang masakan yang disajikan tiap akhir pekan dengan semua anggota berkumpul, sama-sama berkhidmat di depan semangkuk olahan daging dan tulang sapi bernama tengkleng dan gulai. Hingga Laut tak lagi bisa pulang seperti sebelumnya ritual makan tengkleng dan gulai masih saja berlanjut, dengan salah satu bangku kosong dan piring tertelungkup mereka menikmati makanan di meja dengan rasa yang berbeda, tetap lezat tapi tidak utuh.
Bukankah ini ajaib? Bagaimana masakan bisa membawa berbagai bentuk emosi di hidup kita, makanan dengan atributnya memang pandai menyerang bagian rentan dari diri, bagian bernama ingatan.
Tapi, makanan tidak hadir begitu saja secara ajaib, ia bukan sesuatu yang given, atau tiba-tiba didatangkan oleh tuhan serupa wahyu yang dibawa malaikat. Bila makanan adalah sihir, maka dapur adalah tempat ajaib di mana si penyihir meramu mantra dan hal-hal absurd lainnya menjadi sebuah sihir. Tidak cuma berisi asam dari gunung dan garam dari laut, dapur lebih rumit dari itu, di sebagian besar dapur ada lada dari Bangka, bawang merah dari Brebes, kemiri dari Padang, dan lain sebagainya. Rempah-rempah yang disebutkan sebelumnya bukanlah rempah-rempah yang asing dan merupakan kelengkapan dapur paling dasar, seperti mantra-mantra dasar dalam menciptakan sihir bernama nasi goreng.
Dapur adalah tentang harmoni, ia menyatukan bumbu dari berbagai daerah baik dalam atau luar negeri dalam satu tempat, satu rak dan dalam jarak genggaman tangan, ajaib bukan?
Perangkat dalam dapur pun beragam, dari tungku kayu sederhana, kompor gas, kompor listrik hingga pemanggang modern seperti di iklan bioskop tiap menjelang film diputar, pemanggang yang mungkin lebih layak dipajang di ruang tamu menurut hemat saya.
Bersama peralatan dan isi yang beragam itu dapur hadir dalam beragam bentuk pula, dapur tradisional dengan dinding penuh jelaga, yang digemari orang-orang urban untuk bersantap gudeg atau mangut lele seraya berdecak bagaimana caranya makanan lezat di tangan mereka itu hadir dari tempat yang terlihat seperti tidak pernah dibersihkan selama setidaknya tiga dasawarsa. Ada lagi dapur kos yang tak lebih dari kompor gas, wastafel dan rak piring, dapur ini bekerja layaknya dapur umum, tapi keberadaannya amat vital bagi ketahanan ekonomi para penghuni kos. Atau dapur modern yang rapi dan bersih, penuh peralatan masak canggih dari kompor bergaya brutalis, rak industrial hingga tatakan gelas beraliran steam punk, entah bagaimana semua itu bisa disatukan menjadi dapur, kehidupan modern memang membingungkan.
Tapi, mari kembali sejenak, mengingat dan merefleksi betapa ajaibnya dapur. Dapur mengingatkan saya pada momen-momen memasak dan mempersiapkan menu bersama ibu atau adik saya, mencium aroma dan mengicip sayur dengan ujung sendok kayu. Mendapat beberapa luka bakar dari letupan minyak saat menggoreng ikan, dan lain sebagainya. Tentu kalian juga punya pengalaman tertentu dengan dapur kalian sendiri bukan?
Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi warung makan langganan saya, diundang untuk mencicipi beberapa menu baru yang akan di rilis, masakannya luar biasa enak dan saya belum pernah merasakan masakan selezat itu, saya melihat dapurnya. Teman saya selalu tersipu tiap saya melihat dapurnya, dia selalu berkata, “wah jangan liat dapur, berantakan ya bor? Dapur cowok nih hahaha” saya terdiam sejenak, melihat dapurnya yang sepintas memang terlihat seperti habis kena hantam roket peluncur granat, dengan botol-botol beraneka saus atau minyak di setiap sudut, rempah-rempah yang berserakan tapi harum baunya, irisan daging yang belum sempat ditaruh di atas piring, panci-panci kotor yang habis digunakan, dan segala ketidak teraturan lainnya.
Tapi, saya kembali melihat dia dan bicara, “ah..gak apa apa lah, yang penting hasil dapur nya enak, dapur kotor bisa dibersihin, tapi ga semua dapur bersih hasil masakannya enak kan?” Kami berbagi tawa.
Dari momen itulah tulisan ini hadir, di antara kehidupan kita yang maha cepat kita mudah melupakan sesuatu yang sebenarnya dekat dengan kita, begitupun dapur, bagian dari rumah yang harusnya juga membawa kesan rumah pada kita, lagipula dapur adalah tempat di mana semua keajaiban terjadi kan?