Kita Tidak Pernah Akan Lupa Untuk Menolak
Mengingat kenangan seorang anak yang gugur saat kerusuhan 98, mengingatkan negara akan cinta kasih terhadap sesama.
Words by Whiteboard Journal
Aksi kamisan yang diadakan setiap hari kamis adalah reuni. Reuni untuk memanggil ingatan tahun 98 yang menjadi momok untuk korban-korban ketidakadilan negeri ini. Generasi ini tumbuh dalam ingatan yang masih berkabung dalam menunggu kepastian keadilan selama 20 tahun setelah tragedi 98. Aksi ini tumbuh untuk merawat ingatan pada pelanggaran HAM berat, merawat ingatan publik bahwa tragedi kemanusian masih belum menjadi aspek penting dalam negeri ini. Apakah negara ini masih memilik rasa hormat pada kemanusiaan? Pertanyaan itu harus selalu dipertanyakan agar perampasan hak manusia untuk hidup tak akan terulang. Apakah kita sudah menjadi manusia saat kekerasan atas nama ras, agama, dan gender terjadi ? Jangan- jangan kita berubah menjadi buas tatkala hal itu terjadi. Perlu diingat bahwa tugas negara adalah memberi rasa aman pada warga, bukan merawat ketakutan dengan cara menakutkan. Jika memang negara tidak bisa memberi rasa aman pada warga, kemanakah warga mencari rasa aman di negara ini? Ketakutan menjadi alat untuk meraup keuntungan penguasa.
Aksi ini adalah suara keluarga korban dan suara ketidakadilan, ada yang tercekik, ada yang membantah, dan juga ada yang diam. Bisu, hingga akhirnya pun diinjak dan juga tidak mengetahui dirinya pun juga ditindas. Dari aksi kamisan kita mengetahui satu sosok yang selalu menjadi sosok yang paling keras dalam mempertanyakan ketidakadilan, sosok itu adalah Ibu Sumarsih. Ibu Sumarsih adalah ibu dari Bernadinus Realino Norma Irawan atau Wawan yang hak hidupnya diambil pada tragedi Semanggi 1. Ibu Sumarsih melawan gelapnya dunia disaat anak tercintanya gugur dalam tragedi itu. Jangan tanyakan kepedihan yang dirasakan keluarga korban dan Ibu Sumarsih , yang sudah pasti tragedi ini menjadi trauma terhadap pemerintahan. Trauma ini dipelihara oleh negara dengan mendiamkan aksi kamisan ini. Mungkin ada banyak yang merasakan trauma terhadap pemerintahan karena pernah merasakan pengalaman privat yang menyakitkan yang dilakukan oleh pemerintahan seperti penggusuran, kriminalisasi, dan lain hal. Tapi itu semua merupakan pilihan, apakah kita harus membungkam diri kita atau menyuarakan ketidakadilan itu. Keberpihakan sangat penting dalam menyelesaikan kasus kemanusian ini.
Wawan gugur sebagai Pahlawan. Perjuangannya sekarang bertransformasi kepada Ibu Sumarsih. Wawan hidup dalam diri Ibu Sumarsih. Keingintahuan yang kuat atas gugurnya Wawan adalah alasan kenapa dirinya berani menyuarakan ketidakadilan. Ibu Sumarsih mampu mencari jalan terang untuk melanjutkan kehidupannya. Ia membagikan cinta kasih kepada sesama, karena negara sudah defisit akan cinta kasih. Ibu Sumarsih sedang merancang peradaban dengan HAM sebagai dasarnya. Tuntutan reformasi seperti yang anaknya perjuangankan nampaknya gagal, tak ada satupun agenda reformasi yang terwujud. Masih belum bisanya negara mengadili pelaku kejahataan kemanunasian, Masih maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Menegakan supremasi hukum, Otonomi daerah seluas-luasnya, dan Menyesejahterakan rakyat. Aksi kamisan juga bertransformasi menjadi aksi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Seperti soal penggusuran, soal kekerasan, kasus korupsi, soal pabrik kendeng, soal hukuman mati dan lain-lain. Aksi ini menjadi pintu bagi siapapun yang membutuhkan keadilan, aksi ini menjadi rumah bagi para korban untuk menghidupkan kembali gairah perjuangan.
Waktu sangatlah relative, bagi para korban mungkin bisa menjadi satu abad, bagi para penguasa bisa jadi satu detik. Adakah penguasan yang berani menggantikan satu abad itu menjadi satu detik? Satu detik untuk mempulihkan keadilan? Wawan adalah nama sejarah yang didokumentasikan oleh ingatan publik. Saya tau Ibu Sumarsih tidak sendiri, akan selalu ada kita untuk mendukung kemanusian untuk terciptanya masyarakat yang etis. Payung hitam akan tetap ada karena payung itu menjadi simbol perlawanan akan ketidakadilan. Payung hitam akan menjadi kesadaran publik untuk memperjuangkan keadilan. Di depan istana presiden mereka berkumpul bukan untuk menjabat tangan presiden tapi untuk menuntut pemenuhan hak asasi warga negara. Negara harus mengakui adanya ketidakadilan ini dengan cara mengusut kejahatan-kejahatan masa lalu. Negara harus hadir untuk membuktikan bahwa negara ini masih menghormati manusia. Demokrasi hidup dengan kritik, bukan malah menjadi anti kritik, jika negara menjadi anti kritik. Waspada lah para warga negaranya. Aksi ini dilakukan dengan damai, tidak ada massa yang brutal, tidak ada massa yang mengamuk dan tidak ada massa yang menyakiti hati orang lain, hanya berkumpul dengan satu pesan “hak kami belum kembali”.
Cinta bukan sesuatu yang sekali jadi, bukan pertemuan mesra, intim dan penuh gairah sekali atau dua kali. Cinta adalah proses yang panjang karena cinta adalah proyek eksistensial yang berkelanjutan, pencarian kebenaran yang terus berlanjut. Cinta dapat bertahan lama dan cinta dapat juga bertransformasi dengan cara merawat dan mengembangkannya. Seperti aksi ini bahwa cinta manusia berkembang menjadi makna hidup. Aksi ini akan tetap hidup, diperjuangkan, dirawat dan mencapai kebenaran. Jika pemerintah gagal dalam mendengarkan aspirasi dalam aksi kamisan ini, ingatan publik akan terus terawat dalam ingatan generasi bahwa rezim ini telah gagal dalam memperjuangkan hak warga negaranya. Jika tetap begini tidak ada yang bisa diwariskan untuk anak cucu generasi penerus bangsa. Negara ini telah defisit cinta kepada kemanusian. Negara ini telah lupa bahwa hidup adalah tentang cinta kasih terhadap sesama, tentang penghormataan terhadap manusia dan penghormatan terhadap keberagaman identitas. Apa yang akan rezim ini wariskan jika belum memiliki cinta untuk diajarkan?