Kita Perlu Cara Baru dalam Pergerakan Sosial
Baskara Putra menuliskan tentang eksklusivisme di aktivisme sosial dan bagaimana kita harus mencari format-format baru untuk menyuarakan perubahan.
Words by Whiteboard Journal
Bulan Februari lalu, saya mendapat notifikasi di salah satu akun media sosial pribadi, berisikan mention dari sebuah akun ‘pergerakan’ (entah penggunaan kata ini terdengar pretensius atau tidak, tetapi agak sulit menemukan padanan kata yang lebih tepat) yang mengkritik pandangan politik saya di salah satu wawancara. Ketika itu, saya mengkritisi aksi kekerasan yang terjadi ketika aksi September 2019. Saya mengkritisi aksi kekerasan yang dilakukan tanpa provokasi oleh aparat maupun massa, juga tendensi untuk beberapa dari kita turun hanya untuk lempar-lemparan dan bentrok”. Tanpa mengabaikan bahwa kita butuh banyak dukungan saat turun ke jalan, kadang aksi kekerasan yang dilakukan tanpa alasan bisa mencederai gerakan yang kita mulai.
Mention dari akun pergerakan tadi memotong wawancara dan menciptakan framing seolah saya anti terhadap aksi pergerakan para pelajar, juga kemudian ditanggapi oleh beberapa akun lain yang menyerang band saya, .Feast, karena dianggap melakukan kapitalisasi kultur pergerakan melalui pendekatan “jualan merchandise”.
Murni atas nama penasaran, saya kemudian mencoba berdiskusi dengan (pengelola) akun pergerakan tadi. Setelah beberapa kali interaksi yang cukup absurd sepanjang beberapa hari; tiba-tiba ramah, mengaku memakai tonality provokatif untuk mencari perhatian (netizen), menolak untuk bertemu, saya memutuskan untuk mengakhiri interaksi saat ia memojokkan saya dan teman-teman yang dianggap “tidak mengerti politik sama sekali” dan “menggunakan musik sebagai kendaraan untuk mengkapitalisasi pergerakan”, dengan nada meledak-ledak yang tiba-tiba muncul lagi setelah sempat berdiskusi dengan bersahabat
Ini sebenarnya bukan kali pertama kami (.Feast) dinilai melakukan kapitalisasi aktivisme sosial. Mengkotak-kotakkan usaha untuk menyuarakan hal baik, bagi saya, merupakan hal yang kontra-produktif. Ada kelompok dengan latar belakang tertentu yang dipojokkan lantaran dianggap ‘tidak pantas’ berjuang bersama; kita sama-sama melihat bagaimana kelompok mahasiswi dari salah satu universitas swasta Jakarta dan beberapa kelompok mahasiswa dari universitas swasta lain yang notabene dianggap ‘jarang turun ke jalan’ dicibir habis saat ikut turun di aksi September 2019 kemarin. Selain .Feast, ada juga banyak nama lain yang seringkali mendapat sentimen buruk saat ikut membantu menyuarakan sesuatu, biasanya karena aktivisme dilakukan dalam ranah kreatif yang dianggap terlalu ‘pop’.
Saya mengerti bahwa dalam topik apapun, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, apalagi jika kita berbicara di bawah payung sosial politik. Saya selalu terbuka dalam belajar, berdiskusi dan mendengar dari perspektif lain. Hal yang saya dan kawan-kawan lakukan pun tidak sempurna, saya pernah beberapa kali tone deaf dalam berbicara, dan masih berusaha memperluas sudut pandang sebaik mungkin. Tentunya, percakapan dua arah ini harus dilakukan secara sehat, dan tanpa membenarkan hal-hal seperti provokasi terbuka agar satu kelompok diserang oleh kelompok lain, karena saya percaya kita tidak sedangkal itu sehingga harus ada sensasi agar minat untuk membicarakan sesuatu dapat tumbuh. Menurut saya pribadi, aktivisme sosial memiliki dimensi yang luas; Ia tidak serta-merta secara eksklusif hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang datang dari kelompok tertentu, dan tidak memiliki cara paling ‘definitif’ yang maha benar.
Ada beberapa kawan dari lingkungan pegiat kemanusiaan yang percaya bahwa perubahan “tak akan bisa terjadi tanpa kekerasan dan militansi massa”. Saya berusaha menghargai pandangan tersebut walau tak setuju: bagi saya, kekerasan dalam bentuk apapun tak bisa dibenarkan, dan pergerakan yang menggunakan kekerasan masih meninggalkan aftertaste yang buruk di mulut kami yang datang dari beberapa lingkungan berlatar belakang suku, agama, dan ras tertentu.
Ini adalah alasan mengapa saya percaya bahwa pergerakan dan aktivisme yang dilakukan dari ranah kreatif merupakan alternatif baik, yang nantinya juga dapat membuka pintu untuk opsi-opsi lain tanpa melibatkan kekerasan dan/atau bentrokan, yang traumanya masih besar membekas di lingkungan kami yang minoritas di negeri ini.