Kesehatan Mental Menjadi Alumni di Tengah Pandemi
Pada submisi column kali ini, Rudi Kafil bercerita tentang perasaan yang dihadapi sebagai seorang alumni di tengah pandemi dan caranya untuk menerima keadaan.
Words by Whiteboard Journal
Saat-saat yang paling mengerikan menjadi alumni di tengah pandemi adalah ketika malam tiba dan tanpa sengaja lagu Iwan Fals yang berjudul “Sarjana Muda” terputar. Ahh, sungguh saat seperti itulah keadaan semakin sunyi. Jiwa mudah tenggelam dan perasaan mulai getir merasakan segala seluk beluk dalam kehidupan ini.
Semua pertanyaan yang telah berlalu tiba-tiba mencuat dalam ingatan begitu saja. “Kerja dimana? Sudah melamar ke mana saja? Lekaslah mencari, lekaslah ini dan lekaslah itu. Ambil dan jangan sia-sia kan waktumu.”
Terekam dengan jelas bagaimana ingatan menampilkan beberapa wajah hingga bagaimana lekuk bibirnya bergerak ketika berbicara. Suara nada mereka atau raut wajah mereka yang memiliki dua kemungkinan antara merendahkan atau menghawatirkan. Anggap saja semua itu niat baik yang hendak disampaikan kepada kita.
Tidak ada yang salah dari semua kenangan itu, hanya saja beban di pundak kini terasa lebih berat. Saya mencoba memahami bagaimana rasa dan dasar dari beberapa pertanyaan itu, yang pasti semua didasari atas niat yang baik bagi kedua belah pihak.
Namun sejatinya pertanyaan itu sama seperti sebuah pisau yang mampu menusuk kedalaman hati dari arah manapun. Sekalipun title saya kini adalah seorang alumni yang notabenenya dianggap sebagai seseorang yang terdidik dan terpelajar, sisi manusia kami tetap ada dan bukan bertindak sebagai dewa yang tak punya nafsu atau amarah. Kadang kala perasaan itu mencuat atau lebih tepatnya pikiran dalam kepala kian lama rasanya ingin keluar dan meledak seperti sebuah granat.
Sesekali saya maklumi pertanyan-pertanyaan itu. Karena bagaimanapun itu adalah resiko yang harus saya terima. Namun saat-saat yang paling memuncak adalah ketika, kita tidak dianggap melakukan apa-apa. Padahal pada faktanya saya yakin semua teman-teman yang sedang senasib dengan saya telah melakukan usaha terbaiknya. Hanya saja kenyataan belum mau menerima itu dan keadaan pun enggan merubah itu.
Berbicara kondisi kesehatan mental para alumni yang kini sedang berjuang mencari status sosial. Saya yakin kalian sudah merasa muak dengan keadaan, merasa lelah dengan segala hal. Amarah dan dendam sudah menguliti kalian setiap hari. Belum lagi beban ekonomi dan stigma yang kalian terima dari lingkungan sekitar semakin membuat diri ini bertanya-tanya, apa lagi…?
Tentu semua ini adalah keluhan. Dan apabila dibaca, kemudian dikomentari oleh “mereka” yang kini sedang bernasib baik, kita semua adalah orang-orang yang kalah karena sudah terlambat mempersiapkan diri di masa depan atau seorang pemalas yang tak pernah membayangkan bagaimana masa depan itu seburuk ini.
Tentu juga, bahwa semua itu telah kami terima dan telan dengan begitu lahap. Karena kami pun beranggapan bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Tapi, ada satu hal yang mesti disadari apakah hal semacam itu memberikan perubahan yang signifikan? Apakah semua pertanyaan itu mampu merubah masa depan? Tentu bisa, bisa juga tidak. Akan tetapi satu-satunya yang paling merubah adalah bagaimana keadaan mental kita, sesekali itu bisa dianggap biasa saja namun pada suatu ketika itu bisa menjadi sesuatu yang mematikan. Karena perasaan dan pikiran adalah dua hal yang sulit untuk dikendalikan, lalu apakah ada dampak dari semua itu? Tentu ada, seperti orang-orang yang mengalami depresi. Merasa lelah dan tidak berguna dalam hidup ini. Saya sempat mendengar kondisi teman saya, katanya setelah ia menjadi alumni banyak berdiam diri dan merenung. Dapat dimaklumi, bagaimanapun juga dia sedang berjuang menjadi alumni di tengah pandemi.
Tapi terkadang manusia selalu ingin berkomentar lebih mengenai hidup kita. Saya ingat betul pesan dari Fahrudin Faiz yang mengutip perkataan seorang filsuf Prancis. Katanya, “Manusia itu memiliki segala potensi dalam hidupnya untuk mewujudkan mimpinya akan tetapi secara tidak lansung dan diyakini oleh banyak orang, tidak ada manusia yang sempurna.” Ironi bukan? Ya.
Terkadang apa yang ada dalam pikiran ini rasanya sudah ingin keluar dan berbicara bagaimana rintangan apa saja yang sudah kami terima, bahwa sejatinya memang nasib baik saja yang belum berpihak, bukan masalah usaha yang kurang atau lebih. Belum adanya kesempatan itulah yang menjadi masalah saat ini.
Mungkin di antara saya atau pembaca pasti sedang berpikir bagaimana solusi dari masalah yang sedang kita hadapi. Saya sempat melakukan beberapa riset kepada teman-teman seangkatan yang mengalami nasib seperti saya, dia bilang :
“Keadaan di luar pandemi aja sulit untuk mencari pekerjaan, apalagi dihajar pandemi kaya sekarang. Jangankan kita secara pribadi, pemerintah aja bingung mau apa.”
Ketika saya tanya lebih lanjut bagaimana keadaannya, dia bilang:
“Gw ngerasa gw ini useless, ketika memang belum bisa dapet kerjaan. Stress dan kosong akibat overthinking. Semua ini gw alamin hampir 2-5 bulan. Tapi ada satu hal yang membuat kita-kita ini terus bertahan: Mereka yang hidupnya memang harus struggle setiap hari untuk makan besok, hal ini jauh sebelum pandemi ada.”
“Gw lagi sering bgt moto, sebenernya siasat aja buat ngobrol sama mereka2 yg memang tiap hari kerja keras, itu salah satu obat buat gw dalam menangkal kesehatan mental gw.”
Karena berusaha meyakinkan, saya pun bertanya ke teman wanita supaya terasa lebih lengkap, dia berkata:
“Sebagian besar yg belum mencapai cita-citanya mungkin menjaga mental mereka degan cara sabar, sebab ini lg pandemi, jadi bukan karena kamu bodoh sehingga blm mendapat pekerjaan, tapi memang karena lg pandemi.”
“Satu-satunya yang paling meyakinkan dalam merawat mental adalah bahwa kita memang sudah diberikan rezeki oleh Allah lewat manapun atau lewat siapapun. Dengan diberi nafas pun itu merupakan rezeki, apalagi masih bisa makan dan bermain,” tambahnya.
Setelah bertanya kesana dan kemari pada akhirnya saya kembali membuat kesimpulan atau cara untuk mengendalikan keadaan yang sedang saya alami. Kesimpulan itu adalah mengeluarkan segala perasaan yang sudah dihimpun sejak menjadi alumni hingga kini dengan bercerita. Tidak ada solusi yang terbaik dalam hidup ini, solusi hanyalah beberapa pilihan yang mungkin memiliki sedikit kelebihan. Faktanya semua itu harus diterima dan dijalani.
Simpan terlebih dahulu mimpi-mimpi itu. Keluarkan segala emosi yang mengendap dalam hati dan segala pikiran yang ada dalam otak karena hanya itulah satu-satunya cara mengatur mental dalam diri kita. Dan dengan menulislah saya bercerita, mencoba mengolah batin atas segala hal yang terjadi dengan memadatkan peristiwa demi peristiwa.
Karena pada akhirnya setelah menerawang begitu jauh masa depan, saya tidak ingin bekerja untuk hidup, saya hanya ingin bersiap diri untuk mati.