
Kegagalan Komunikasi Pejabat Publik menjadi Sinyal Nirempatinya terhadap Masyarakat
Dalam submisi Open Column ini, Aldhi Franciscus menyuarakan bagaimana dalam lingkungan negara demokrasi seperti Indonesia, komunikasi pejabat ke masyarakat mestinya tidak malah menambah luka dan memperdalam jarak antara mereka berdua, juga mengingatkan bahwa dalam tanggung jawab yang melekat pada pejabat publik, ‘diam’ tidak berarti ’emas.’
Words by Whiteboard Journal
Kurang tepat rasanya jika tidak menyebutkan bahwa demonstrasi akhir-akhir ini salah satunya dilatarbelakangi oleh pernyataan pejabat publik yang dinilai tidak bijaksana dalam merespons situasi negara. Meskipun bukan satu-satunya alasan masyarakat berunjuk rasa (turun ke jalan maupun tidak), tetapi komunikasi pejabat publik memiliki peran krusial dalam memicu amarah warga. Amarah yang berujung pada represifitas oleh alat negara terhadap aksi massa, dan harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa nyawa.
Terkadang, pernyataan pejabat publik cenderung tidak menyentuh substansi sama sekali. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pernyataan tersebut tidak serius dan terkesan merendahkan. Padahal, salah satu tugas penting pejabat publik adalah membentuk hubungan baik dengan masyarakat dengan mengomunikasikan persoalan yang ada.
Sebagai bagian dari demokrasi, publik berhak tahu apa yang menjadi haknya—terlebih jika ada persoalan internal pada tubuh lembaga. Luputnya kebijaksanaan pejabat publik dalam berkomunikasi—mulai dari menjawab pertanyaan, siaran pers, hingga berpidato, sudah cukup untuk dapat digolongkan sebagai kegagalan. Kegagalan yang entah disengaja atau tidak, dapat menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali tidak mengerti permasalahan apa yang sedang dihadapi olehnya, maupun oleh lembaganya. Apabila kegagalan tersebut terus-menerus diulang, bukan tidak mungkin berakibat pada timbulnya krisis kepercayaan, sehingga dikemudian hari—apa pun yang disampaikan pejabat atau lembaga tersebut akan menerima lebih banyak respons negatif daripada positif.
Diam bukan pilihan
Menghindari komunikasi publik adalah kebalikan dari nilai-nilai demokrasi, dan dapat berdampak buruk pada citra lembaga terkait. Jika ada peribahasa yang menyebutkan bahwa “diam adalah emas,” apakah absennya pejabat publik dalam mengomunikasikan suatu permasalahan kepada publik dapat dibenarkan? Apakah diam lebih baik daripada berkomunikasi tetapi terdapat kemungkinan melakukan kegagalan? Pertanyaan ini menjadi penting karena pejabat publik tidak pernah berdiri untuk dirinya sendiri, melainkan mewakili lembaga yang membawa kepentingan masyarakat luas.
Diamnya seorang pejabat publik saat terdapat permasalahan hanya akan memperparah keadaan. Menghindari komunikasi publik mencerminkan egoisme pejabatnya, sebab pejabat yang berdiam diri terlihat lebih mementingkan keselamatan wibawanya daripada menjawab kebutuhan masyarakat.
Setidaknya, dalam lingkungan negara demokrasi seperti Indonesia, diam bukanlah sikap netral, melainkan bentuk pembiaran.
Ketiadaan pernyataan publik juga sejatinya merupakan sebuah pesan. Dalam kekosongan itu, masyarakat akan menafsirkan sikap pejabat sebagai tanda ketidakpedulian atau ketidakmampuan. Kosongnya komunikasi segera diisi oleh opini liar, bahkan disinformasi yang memperburuk keadaan. Alih-alih meredakan suasana, diamnya pejabat justru mendorong keresahan baru, membuat isu bergulir liar tanpa kendali.
Kecenderungan pejabat untuk menghindari komunikasi publik sering kali mencerminkan ketakutan atau kelemahan. Diam dapat dibaca sebagai strategi menutup-nutupi persoalan, padahal strategi ini hanya mempercepat runtuhnya legitimasi. Seorang pejabat yang mengelak dari tanggung jawab komunikatif seakan lupa bahwa mandat yang ia emban bukan hanya menjalankan kebijakan, tetapi juga menjelaskan kebijakan tersebut secara terbuka kepada masyarakat yang berhak mengetahuinya. Bungkam berarti mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan.
Krisis tidak pernah mereda hanya dengan keheningan, ia membutuhkan jawaban yang jelas, arahan yang pasti, dan keberanian seorang pejabat untuk hadir di tengah kekacauan. Dengan berdiam diri, pejabat publik justru menambah panjang usia krisis, membuat masalah kian sulit diselesaikan, dan melukai kepercayaan yang seharusnya dijaga. Diam tidak bisa dipandang sebagai pilihan bagi pejabat publik. Menghindari komunikasi berarti menolak tanggung jawab, sekaligus menegasikan hak publik untuk memperoleh informasi.
Politik Provokatif
Dalam banyak kesempatan, pejabat publik kerap tampil di hadapan masyarakat dengan pernyataan yang tampak meyakinkan, tetapi sesungguhnya miskin substansi. Kata-kata yang dilontarkan sering kali hanya berupa jargon yang berulang-ulang, pernyataan provokatif—seolah-olah sekadar menutupi persoalan nyata yang tengah terjadi. Alih-alih memberikan jawaban yang jelas, pernyataan itu justru menghadirkan kesan bahwa komunikasi pejabat publik lebih ditujukan untuk menghindar daripada memberikan solusi konkret atas keresahan masyarakat.
Kecenderungan ini dapat dilihat dalam pidato resmi, siaran pers, hingga wawancara singkat yang seharusnya berfungsi sebagai sarana menyampaikan informasi dan arah kebijakan. Namun, yang tersaji lebih banyak hanyalah rangkaian kalimat provokatif seperti: “Antek asing,” yang berulang kali disampaikan presiden; “Jangan cuma 5.000 orang, 50.000 orang juga saya hadapi,” yang disampaikan Bupati Pati; hingga “Emang Mbahmu, leluhurmu bisa membuat tanah?” yang disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Belum lagi kalimat-kalimat yang merendahkan seperti: “Orang tolol,” yang disampaikan anggota DPR dan “dimasak saja,” yang disampaikan Kepala Kantor Kepresidenan dalam merespons teror kepala babi ke redaksi Tempo. Deretan ucapan ini memperlihatkan betapa komunikasi pejabat publik seringkali tidak diarahkan untuk menyelesaikan masalah, melainkan justru menambah luka dan memperdalam jarak antara pemerintah dengan masyarakat.
Ucapan-ucapan semacam itu menegaskan bahwa komunikasi pejabat publik kerap digunakan sebagai alat provokasi, bukan sarana menjembatani aspirasi. Alih-alih menenangkan situasi, kalimat-kalimat tersebut justru memancing emosi, menciptakan polarisasi, dan memperkeruh suasana. Bagi masyarakat, hal ini menimbulkan kesan bahwa pejabat publik lebih senang membangun konfrontasi verbal daripada mencari jalan keluar. Retorika provokatif tidak hanya menciderai etika komunikasi, tetapi juga memperlihatkan ketidakmampuan pejabat memahami sensitivitas publik.
Fenomena politik provokatif ini juga berbahaya karena membuka ruang normalisasi ujaran merendahkan dari pejabat negara. Ketika pernyataan keras, penuh sindiran, atau bahkan penghinaan dilontarkan tanpa tanggung jawab, maka pejabat publik sedang mengajarkan bahwa gaya komunikasi kasar dapat dibenarkan. Padahal, posisi mereka bukan sekadar individu, melainkan representasi lembaga negara yang seharusnya menjunjung tinggi martabat.
Ucapan provokatif yang diulang-ulang hanya akan menurunkan wibawa institusi, karena publik akan melihat pemerintah sebagai pihak yang lebih pandai berdebat daripada bekerja.
Lebih jauh lagi, gaya komunikasi provokatif ini memperlihatkan kegagalan pejabat publik dalam membangun ruang dialog yang sehat. Kalimat yang penuh emosi dan merendahkan, sesungguhnya menutup pintu diskusi yang rasional. Ketika pejabat publik lebih memilih mengintimidasi dengan kata-kata, maka tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyampaikan kritik. Padahal, demokrasi memerlukan atmosfer keterbukaan dan kesediaan untuk mendengar, bukan sekadar demonstrasi kekuasaan melalui ucapan yang menantang.
Politik provokatif juga melahirkan dampak jangka panjang berupa krisis kepercayaan publik. Setiap kali pejabat negara memilih kata-kata kasar dan provokatif, publik belajar bahwa pemerintah tidak hadir untuk memberi solusi, melainkan untuk menunjukkan superioritasnya. Kepercayaan yang hilang ini akan sulit dipulihkan, sebab masyarakat akan terus mengingat pernyataan yang melukai harga diri mereka. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, maka legitimasi pemerintah akan tergerus, apa pun kebijakan yang kemudian mereka keluarkan.
Politik provokatif hanya menunjukkan kelemahan mendasar dalam kapasitas pejabat publik. Mereka yang dipilih untuk memimpin dan melayani, justru menggunakan kata-kata untuk menyerang dan merendahkan. Ini bukan sekadar persoalan gaya bahasa, melainkan bentuk kegagalan dalam memahami fungsi komunikasi publik sebagai salah satu unsur penting dalam demokrasi. Komunikasi provokatif bukan hanya kegagalan strategi, tetapi juga kegagalan moral yang berbahaya bagi keberlangsungan hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Bahasa sebagai tanggung jawab politik
Komunikasi pejabat publik seharusnya tidak diperlakukan semata-mata sebagai strategi politik, melainkan sebagai tanggung jawab etis yang melekat pada jabatan. Karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah menata ulang pola komunikasi publik dengan menekankan akuntabilitas personal. Setiap pejabat negara harus menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak hanya merepresentasikan dirinya sendiri, melainkan juga institusi yang ia wakili. Dengan menempatkan komunikasi sebagai kewajiban etis, pejabat publik dipaksa untuk berpikir ulang sebelum melontarkan kalimat yang provokatif atau merendahkan.
Di luar itu, pejabat publik perlu didorong untuk mengadopsi gaya komunikasi yang berbasis empati. Empati yang tidak dapat diartikan hanya sebagai pengumbaran kalimat palsu, tetapi menghadirkan kemampuan mendengar dan merespons keluhan publik dengan cara yang tulus.
Misalnya, dalam situasi krisis, pejabat publik seharusnya lebih dahulu mengakui keresahan yang ada sebelum berbicara mengenai langkah kebijakan. Pengakuan ini tidak hanya mengurangi ketegangan, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih sehat, di mana publik merasa diakui sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan.
Selain itu, perlu ada keberanian untuk merombak format komunikasi yang terlalu seremonial menjadi lebih substantif. Sekarang sudah bukan era yang tepat untuk memberikan pidato yang panjang dengan jargon-jargon klise. Sebaliknya, pejabat publik perlu membiasakan diri dengan format komunikasi singkat, padat, dan berorientasi pada solusi. Keberanian untuk menyampaikan “tidak tahu” atau “akan dipelajari lebih lanjut” seharusnya tidak dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai bukti kejujuran. Dengan demikian, komunikasi publik bukan lagi ajang pamer retorika, melainkan sarana membangun kepercayaan berdasarkan keterbukaan.
Pejabat publik perlu menyadari bahwa komunikasi bukan sekadar soal “menguasai panggung,” melainkan soal membangun legitimasi jangka panjang. Legitimasi tidak bisa lahir dari retorika provokatif, melainkan dari bahasa yang merangkul, jujur, dan berorientasi pada penyelesaian masalah. Dengan membangun pola komunikasi yang etis, empatik, dan substantif, pejabat publik akan lebih mudah mengembalikan kepercayaan masyarakat. Dan pada titik itulah, komunikasi publik tidak lagi menjadi sumber masalah, melainkan bagian dari solusi dalam menjaga kualitas demokrasi.



