Hidup Tanpa Ayah
Submisi open column dari program internship Whiteboard Journal tentang mengingat peran seorang ayah dan memaknai kepergiannya
Words by Whiteboard Journal
Sering tergambarkan sebuah keluarga yang utuh itu terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak. Seorang ayah dengan tanggung jawab sebagai penafkah keluarga, ibu dengan kegiatannya merawat rumah dan anak, dan anak sendiri yang punya kewajiban menempuh pendidikan. Sewajarnya, dengan perannya masing-masing, tiap anggota keluarga bisa saling melengkapi satu sama lain. Namun, sejak tiga tahun yang lalu, gambaran ini sudah tidak lagi ada dalam keluargaku. Posisi ayah yang kusebut papa meninggalkan seorang mama dengan dua anaknya yang masih menempuh pendidikan. Papa meninggal karena serangan stroke keduanya.
Sosok papa adalah orang yang selalu kutunggu kehadirannya setiap malam ketika beliau pulang dari tempat kerjanya. Aku selalu rindu akan sikap ayah yang bisa membangun setiap momen yang paling membekas, bahkan hingga sekarang. Papa memang tegas dalam hal akademis anak-anaknya namun cara ia memberikan ketegasan kepada anaknya bukan dengan memarahi, tapi memotivasi dengan mengajak anaknya bersama-sama menjadi lebih baik. Singkatnya, papa adalah orang yang senang merangkul. Saat aku duduk di bangku SD, papa sangat memperhatikanku saat belajar di rumah untuk menjalani ujian esok hari. Walaupun papa tidak mendampingi secara penuh, tapi sesampainya papa di rumah, beliau selalu bertanya; dan masih teringat di kepala aku, “Belajar apa mas? Ada yang mau dibantuin gak?” Kerinduan akan suara papa ini kadang terngiang di telingaku setiap sedang belajar.
Sosok papa jelas sangat penting bagiku. Bukan hanya untuk menafkahi keluarga, tapi perannya dalam membangun keluarga, menciptakan keharmonisan dan juga menjaga relasi antar anggota keluarga. Sulitnya menjadi seorang papa sudah kurasakan sejak duduk di bangku SMA. Melihat bagaimana papa banting tulang dengan keterbatasannya demi terus menerus menyekolahkan anak-anaknya. Aku ingat benar ketika papa terus bekerja dengan separuh badan kanan yang mati dan tidak bisa bergerak. Alih-alih pasrah dengan keterbatasannya dalam bergerak, beliau justru semangat pergi ke kantor. Walau harus naik turun kendaraan umum untuk sampai kantor, papa dengan giat menjalaninya setiap hari. Hebatnya, aku tidak pernah sekali pun mendengar keluhan darinya.
Kepergian papa tentu tidak hanya meninggalkan sejuta kenangan, tapi juga tanggung jawab besar bagi pengganti dirinya sebagai kepala keluarga. Duka ini membuat mama menangis tak henti selama satu minggu setelah wafatnya papa. Aku yakin sekali mama menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi juga karena belum siap mengambil alih tanggung jawab besar yang diemban papa selama ini. Pikiran mama saat itu hanya terfokus pada “Bagaimana aku bisa menafkahi kedua anakku?” Menghadapi sebuah kehilangan dalam keluarga butuh proses adaptasi yang memakan waktu lama bagiku. Melihat mama, hari demi hari dengan dilema yang melekat dalam dirinya untuk menghidupi anak-anaknya, membuatku turut merasakan kesedihannya.
Sebagai anak laki-laki sulung, aku berusaha menyikapi kepergian papa dengan sangat tabah. Aliran air mata yang meluap pun aku coba tahan, namun nyatanya selalu tumpah. Aku ingat ketika tahu kabar bahwa papa sudah mendekati hari akhirnya. Saat itu yang bisa aku lakukan hanya berdoa dan mensimulasikan situasi di rumah tanpa hadirnya. Jika ada lagu yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu, rasanya lagu “Ikat Aku di Tulang Belikatmu” dari Sal Priadi adalah yang paling cocok. Melihat ke depan, perjuanganku dalam hidup jelas masih panjang – dan untuk itu, aku butuh kehadiran papa. Begitu juga dengan adikku yang masih kecil untuk menghadapi duka seperti ini.
Menjalani hari tanpa papa membuatku jadi selalu memperhatikan dan semakin dekat dengan mama. Mau tidak mau, mama harus menjalani hari-harinya dengan peran ganda, sebagai pengganti kepala keluarga dan tetap menjadi seorang ibu. Hebatnya, beliau menjalani tanpa mengeluh dan berimbang. Peran ganda ini dijalankannya bersamaan dengan porsi yang sesuai. Sosok mama menjadi pahlawan karena dapat menutup kekosongan di keluarga saat konsep keluarga ideal tak lagi aku temukan di sini.
Kenangan bersama orang tercinta adalah yang paling berharga. Meski tak lagi bersama, ingatan tentang papa akan selalu kusimpan dalam kepala. Kehilangan tak melulu harus ditangisi. Saat-saat seperti ini aku belajar tentang cinta kasih dan arti menyayangi. Justru berangkat dari kenangan ini, membuatku semakin terus menerus belajar memahami arti hidup. Aku ingin seperti papa, dengan separuh badan yang mati beliau tetap menjalani hari tanpa mengeluh. Terlepas dari berubahnya konsep keluarga ideal yang aku yakini, aku percaya papa selalu menyertai.
Sampai saat ini, aku masih rutin mengunjungi makam papa untuk sekedar ngobrol atau berdoa, dan inilah doaku untuk papa:
“Terima kasih papa, sudah mengajarkan banyak hal tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan baik selama kehadiranmu di bumi ini. Sekarang papa sudah tenang di sana, berkati dan doakan anakmu selalu supaya bisa seperti papa. Semoga aku bisa terus mengamalkan nasehat papa dalam kehidupanku. Amin.”