Harta Pedestrian adalah Trotoar dan Hanya Itu Satu-satunya
Menilik fungsi sosial trotoar dan esensi kesederajatan manusia di dalamnya.
Words by Whiteboard Journal
Teman saya seorang miskin absolut dalam ukuran mencicil motor. Sebutlah namanya Mamo. Sadar upahnya rendah, ia tak pernah berpikir mengkredit kendaraan, apalagi ia sedang rajin menabung untuk nikah. Maka, jalan kaki adalah pilihannya sehari-hari untuk berangkat-pulang kerja dan berkegiatan lainnya.
“Boleh saja orang menuduh jalan kaki sebagai laku purbawi,” kata Mamo sembari melihat sebuah Mercy menggilas aspal, saat kami sedang menyusuri trotoar Stasiun Jatinegara. Ia melanjutkan, “Itu tuduhan yang betul. Masyarakat Kamerun kuno melakukannya, orang bantaran kali Nil tiga ribu tahun lalu juga demikian, pun kakek-nenek kita. Tapi ingat, merekalah perawat bumi sejati, pedestrian yang tidak menyumbang polusi buruk bagi kesehatan. Kita bersama mereka, Bung!”
Saya paham mengapa Mamo mengatakan klise khas kelas menengah semacam itu. Saya acapkali melakukan hal serupa sewaktu ada simbol-simbol kemewahan menghampar mata. Secara khusus saya menyebutnya “sensor kemiskinan”; semacam mekanisme pertahanan diri yang terucap tatkala identitas kemiskinan pribadi sedang disentil oleh kenyataan.
Pada intinya sebagian diri saya dan mungkin Anda juga, berkecenderungan menolak untuk terang-terangan disebut miskin. Menengah ke bawah, walaupun tak ada bedanya, bolehlah jadi sebutan.
Meski sebetulnya, saya dan Mamo berbagi model kemiskinan yang identik. Kami jejaka desa yang berat menyewa ojek online, apalagi mencicil motor. Kami bepikir dua kali untuk memasuki kafe berpintu kaca. Demikian halnya kami ciut nyali saat mencium bau udara pusat perbelanjaan. Hal-hal itu, dan juga sekian hal lain, seperti “keangkuhan” kota di mata kami. Tapi sebagai jenis pengetahuan, kami tetap bisa menunjukan di mana lokasi Starbuck atau McD. Kami juga hapal nama-nama gedung.
Saya pribadi nyaris tak pernah masuk dan menginjak dinginnya lantai tempat-tempat itu. Seterusnya, saya lebih sering menginjak trotoar pelatarannya, melirik sebentar, takjub, dan berlalu. Di hari libur, saya juga kerap melakukan hal serupa; jalan-jalan di trotoar, mengamati gedung, dan berlalu. Kegiatan ini cepat saja saya pilih sebagai hobi. Selain karena tak berbiaya dan terjadi tiap hari, kebetulan sekali banyak trotoar bagus di Ibukota.
Kemudian waktu, menggelandang ke sana dan mengharu ke mari demikian terasa menyenangkan. Dan dari situlah mula-mula saya menyadari akan adanya jurang lebar yang membedakan orang desa seperti saya, di hadapan seisi kota termasuk penduduknya. Mereka begitu terbiasa keluar-masuk gedung bertingkat sementara tak ada satupun gedung yang menampung kepentingan saya. Apa yang orang kota lakukan di dalam gedung-gedung itu?
“Bisnis,” terdengar bisik dari jalan. “Cobalah sesekali dekati gedung-gedung menjulang itu, pegang salah satu sudutnya dari luar, lalu goyang-goyangkan sekuat tenaga seperti saat kau jengkel terhadap CPU komputer yang lelet, niscaya akan banyak uang berhamburan dan berjatuhan ke arah trotoar. Kau tahu, besar sekali jumlah uang terjebak di dalam gedung itu dan susah keluar.”
Itu sebuah bisikan yang naif. Alih-alih percaya pada bisikan itu, saya lebih memilih untuk bersyukur atas banyaknya trotoar bagus di Ibukota. Jumlahnya mungkin sama dengan trotoar buruk, tapi itu satu soal. Dalam soal yang lebih subtil, saya menemukan bahwa ada kesederajatan manusia di trotoar.
Di trotoar, saya pernah berjalan di samping bule sebesar pohon. Kali berikutnya saya berpapasan dengan pemuda-pemudi tegap berkemeja rapih. Saya juga pernah menyalip bapak-bapak usia puber kedua yang memakai arloji mahal. Di tempat lain, para pejalan kaki ini mungkin berstatus sebagai CEO perusahaan atau staf pemasaran bergaji jutaan. Namun, di atas trotoar kami beridentitas sama. Kami pedestrian.
Apakah terdengar menyedihkan bila saya bangga menahbiskan diri sebagai pedestrian dengan alasan di atas? Sila menilai. Yang jelas, saya temukan bahwa pedestrian adalah status paling egaliter. Ia adalah kata lain dari kesederajatan. Anda bisa berprofesi apa saja dan muncul dari golongan manapun. Namun begitu Anda menyusuri trotoar, Anda sama dengan yang lain; makhluk purba yang serupa dalam laku, setara mengenai hak, dan sama soal kewajiban.
Saya bangga menjadi pedestrian di Ibukota dan itu bagi saya lebih dari sekedar identitas. Persoalan akan menjadi mudah bila orang tidak luput melihat sebagaimana kami pejalan kaki—utamanya yang miskin—melihat, bahwa menjadi pedestrian adalah juga ekspresi kepemilikan dan itu sah disebutkan, sama mustahaknya dengan sense of belonging pengendara atas kendaraannya. Jika pengendara tak mau mobilnya dilecetkan, kami pun tak mau trotoar digagahi roda kendaraan bermotor.
Di Youtube, saya melihat sekian kota di luar negeri yang mengubah trotoar sebagai ‘tujuan’ bagi warganya. Ia tak lagi semata ‘sarana’ berpindah dari satu asal ke muasal lain, melainkan tempat rekreasi dan wadah berkumpul. Pemerintah kota-kota itu melengkapi trotoar dengan piano, membayar pemusik profesional, dan menyewa seniman untuk melukis banyak spot berfoto yang menyenangkan. Detail-detail seperti penutup got pun mereka balut dengan ornamen yang indah.
Itulah mengapa saya selalu menyambut baik jika media menyoal trotoar, atau saat pemerintah melakukan perbaikan. Begitu pula saya akan sedih bila ada pengendara menyerobot trotoar atau parkir sembarangan di situ, atau pedagang yang memakan hak orang banyak atas kepentingannya sendiri. Trotoar adalah harta bagi pedestrian, dan percayalah, hanya itu satu-satunya yang kami punyai.