Gerontologia: Tentang yang Pasti Selain Mati
Melihat keterkaitan antara benda hidup dan benda mati dari perspektif gerontologia.
Words by Whiteboard Journal
“Seolah tak ada, padahal nyatanya tidak. Mereka masih ada, sembari menunggu petaka yang hadirnya sesuka-suka. Semuanya abadi juga masih layak dihidupi.”
Berawal dari pencarian atas satu hal yang pasti terjadi selain mati. Lalu pertemuan dengan tulisan Ninni Holmqvist berjudul The Unit. Hingga perkenalan dengan ilmu bernama gerontologi. Rangkaian temu tak sengaja yang terjadi selama setahun terakhir tersebut seringkali membuat heran. Hari inipun dia masih mencari untuk mengerti. Supaya tau mengapa sampai sejauh ini.
Geron berarti orang tua, logos berarti pengetahuan, keduanya dilebur di ilmu kedokteran atas nama mengobati penyakit yang datang seiring bertambahnya usia seperti masalah tidur dan kepikunan. Dengan landasan itu, para alkemis tak hentinya melakukan percobaan untuk membuat ramuan awet muda. Penuaan dipandang sebagai tragedi, itulah muasal munculnya cerita-cerita fiktif tentang kehidupan abadi.
“Semakin tua, semakin terlupakan, yang demikian dinamakan kematian sosial dan lebih menyakitkan dari mati secara klinis.”
Tak berhenti pada cabang ilmu empiris, gerontologi diadopsi pula di ranah sosiologis. Awalnya penanganan lansia dilampiaskan secara domestik, yaitu sebatas perkara urusan mereka yang satu atap. Setelah Revolusi Industri, para cendekiawan mencoba mengaitkannya sebagai diskursus interpersonal untuk kemudian dipahami bahwa lingkungan sosial berdampak besar terhadap penuaan. Salah satu isu dasar yang mereka angkat adalah pemberdayaan pensiunan yang acapkali sudah tidak dipandang ada di masyarakat. Para manula itu terabaikan, beruntung jika punya jaminan hari tua, namun bagaimana jika tidak?
Lantas timbul pelbagai tanda tanya sentimentil seperti: Apa yang menua hanyalah suatu hal yang hidup? Bukankah barang-barang yang kita kenakan juga akan dimakan usia? Bukankah setiap karya cipta manusia juga bisa mengalami proses serupa?
Manusia seringkali dengan pongahnya lupa, bahwa tak hanya mereka yang bernafas, sebab benda mati yang tak berhadapan dengan sangkala bernama waktu juga mengalami hal sama—menua. Dengan melihat besi yang berkarat, sempoa yang tak lagi digunakan, lagu-lagu yang kian tak terdengar, mustinya kita sadar. Mereka perlahan-lahan kehilangan arti dan fungsi, bak masakan Ibunda yang hanya dihidangkan tanpa dimakan—menjadi basi.
Menua adalah proses, yang dijalani seluruh dan seisi semesta, namun jarang diamati. Sedari awal, segala benda yang telah dikategorikan mati keberadaannya tak ubahnya perlu dihidupi karena yang tak hidup sebenarnya telah abadi. Hal-hal itu abadi dalam mati, terus menua tanpa meringkih. Terlupakan, tapi dikutuk agar tak bisa mati.
Bersebrangan dengan perspektif semiologis yang mengatakan bahwa segala kebendaan itu netral, lalu manusia hadir untuk memaknai—atau bahkan memanipulasi. Di sini, perlu diyakini bahwa manusia justru yang seringkali dimaknai oleh benda-benda mati.
“Tanpa benda, manusia mengalami katarsis, dicuci bersih menjadi tak punya arti. Pun tanpa manusia, benda mengalami katarsis, dicuci bersih menjadi tak punya fungsi.”
Akan tetapi biar manusia tak dibendai, dan benda tak dimanusiai, keduanya sama kan menua. Itulah benang merahnya, perkara demikian, alangkah penting bagi keduanya untuk saling melekati. Keterkaitan antara benda hidup dan benda mati dapat memberi suatu definisi pada eksistensi. Gerontologia adalah kebersinambungan dari keduanya yang disusun di atas garis waktu bernama penuaan, supaya saling mengerti dan memahami.
Secara pribadi, berbagai cara telah saya lakukan untuk menghidupi benda mati. Mengajak mereka bicara adalah salah satunya. Tentu yang demikian bukan hal susah, tengoklah ke rak tua di rumahmu, lalu coba temukan satu buku yang tak pernah disentuh, buku yang paling usang. Lihatlah, dengarlah, dan rasakanlah, biarkan ia bicara. Mungkin ia akan bilang bahwa ia butuh teman, atau meminta pertolongan untuk dibersihkan dari debu yang bersarang di sampulnya, siapa tau ia punya riwayat penyakit influenza?
Benda mati tak bisa mengutarakan perasaan dan pemikirannya lewat bahasa manusia, namun kita akan paham, karena ia hidup bersama kita. Terkadang kita hanya lalai, atas peran guling yang selalu menemani di kala duka, earphone yang selalu ada di saat sepi, teh hijau yang dapat menghangatkan hati, atau snack yang dapat merekahkan senyum manis.
Menjalin pertemanan bersama benda mati sembari menanti Izrail yang datangnya tak kenal hari tentunya begitu menggunggah. Jika tak ada benda di sekitarmu untuk diajak bercakap, maka berpetualanglah. Di luar sana terhampar lautan yang kesepian, gunung-gunung yang berusaha tegar, dan bebatuan besar yang menunggu untuk dipeluk. Mereka semua punya cerita. Barangkali mereka menyimpan dendam kesumat, kotak rahasia berisi canda-tawa, atau mimpi-mimpi luar biasa yang belum terwujudkan.
“Sinting, semuanya tak masuk akal, sama sekali tak ada gunanya.”
Sejak kapan semuanya harus dimasukkan ke dalam akal? Bahkan pendahulu kita selalu menasehati bahwa nasi akan menangis apabila masih tersisa di atas piring. Keturunan mereka tak pernah membuang makanan karenanya. Sekarang lihat, sejak kapan makanan menjadi limbah yang tak karuan jumlahnya?
Jika melihat dari sisi historis, pendahulu kita juga memaknai benda mati di sekitarnya dengan membuatkannya peribahasa. Tentu semua pernah mendengar Tong kosong yang nyaring bunyinya itu. Mengapa sekarang kita begitu dangkal? Apa karena kita hanya memaknai eksistensi benda-benda sebatas dari segi pragmatis?
Barangkali, pendahulu kita juga gemar mengajak bicara alam semesta dan benda-benda di sekitarnya. Jauh sebelum lautan belum tercemar, jauh sebelum manusia dibutakan konsumerisme, jauh sebelum mereka semua menua dan tiada. Lantas dengan pongah, kita melupakannya.