Dunia Terlalu Berantakan dan Aku Tak Mau Mati di Hari yang Buruk
Berulang kali hampir mengakhiri hidupnya sendiri, Raditya Kenzo membagikan kisah peralihan pandangan dan tabir kehidupan yang ia singkap dengan tetap bertahan hidup dalam submisi Open Column ini.
Words by Whiteboard Journal
Kematian paling banyak di dunia disebabkan oleh penyakit cardiovascular, serangan jantung hingga stroke adalah contohnya. Banyak penelitian mengatakan bahwa depresi dan cardiovascular memiliki kaitan yang cukup erat. Misalnya, depresi akut dapat mempengaruhi kesehatan jantung dengan meningkatkan tekanan darah, kadar hormon stres, dan peradangan dalam tubuh. Depresi juga dapat menyebabkan kurangnya dukungan emosional, pola hidup tidak sehat, dan gangguan tidur. Semua ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan fisik, yang pada akhirnya berpengaruh langsung terhadap kesehatan jantung.
Tanpa menafikan banyak kematian di dunia yang disebabkan oleh konflik, tawuran, perang, terorisme, genosida, dan bencana alam, realitanya, kasus bunuh diri juga menyumbang angka yang cukup mengerikan. Menurut data WHO, setiap tahunnya ada 703 ribu orang yang mengakhiri hidupnya. Bunuh diri juga merupakan salah satu dampak ekstrem dari penyakit mental yang diderita oleh seseorang.
Tak banyak orang tahu, bunuh diri juga bisa menular, seperti kanker yang menggerogoti setiap sel, ia merambat masuk perlahan menyasar satu per satu pikiran manusia di berbagai belahan dunia. Setidaknya sudah ada satu orang mati akibat bunuh diri ketika kamu membaca tulisan ini. Karena menurut data, setiap 40 detik ada satu orang yang mati akibat bunuh diri.
Bunuh diri dapat menjadi perilaku yang menular atau disebut juga sebagai efek kontagius bunuh diri. Ini berarti ketika ada laporan atau pemberitaan tentang bunuh diri seseorang, terkadang dapat memicu peningkatan jumlah upaya bunuh diri di kalangan individu lain yang terpengaruh oleh berita tersebut.
Fenomena ini sering kali terlihat dalam masyarakat, terutama dengan adanya liputan media yang ekstensif tentang bunuh diri seseorang yang terkenal, atau yang terjadi dalam skala besar. Di berbagai kasus juga ketika seseorang melakukan bunuh diri, mengakibatkan orang-orang di sekitarnya memiliki kencenderungan yang sama.
Banyak orang berpendapat bunuh diri bukan solusi, pada kenyataannya (mungkin saja) bunuh diri merupakan salah satu solusi atas apa yang dialami seseorang. Secara instan, hal ini jelasmenyelesaikan urusannya di dunia, dan kita tidak bisa menampik itu. Di sisi lain, orang terdekat pelaku bunuh diri seperti diestafetkan penderitaan dengan beban hutang, moral, atau mental adalah persoalan lain. Satu hal yang pasti mereka sudah tidak peduli, entah tidak bisa peduli atau tidak mau peduli dengan apapun urusan di dunia ini.
Sudah lama sekali aku memiliki kencenderungan untuk bunuh diri, sering kali terpikirkan untuk menabrakan diri ke truk yang ada di depanku ketika berkendara, menahan kepalaku di dalam bak mandi yang penuh terisi air, menyimpulkan tali dan menggantungnya di ventilasi pintu, mengikat leher sampai membiru. Aku selalu berpegang teguh pada satu kalimat sederhana yang sering aku ucap di dalam hati, “mungkin aku harus mencoba satu kali lagi,” ketika semua tampak gelap seperti terowongan yang tak berujung. Ketika mencoba, aku selalu menemukan titik terang, jika dalam percobaan satu kali itu gagal, aku tetap mengucap kalimat itu, dan kembali menemukan titik terangnya. Mungkin itulah salah satu alasan, selain faktor estetis, kenapa Tuhan mengulang dua kali sebuah kalimat di dalam nubuatnya: “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Beberapa waktu lalu aku hampir saja mati tenggelam di kolam renang umum di Jakarta. Mungkin karena faktor pola hidup yang kurang sehat, aku mengalami kepanikan di tengah kolam yang dalamnya kurang lebih 4 meter. Di situasi itu aku mengingat banyak orang, keluarga sampai teman-teman terdekatku. Padahal selama ini aku menginginkan kematian, mungkin jika aku benar-benar menginginkan itu, aku akan membiarkan tubuhku tenggelam.
Aku berusaha kembali ke tepi kolam, naik, dan duduk di tribun, menutup wajah dengan handuk dengan nafas tergesa-gesa. Aku terpikir lagi, andai saja aku mati di sana, maka segala urusanku di dunia ini selesai. Aku kembali berpikir dan menemukan jawaban kenapa aku berusaha untuk tetap hidup. Sepertinya aku tak benar-benar menginginkan kematian, aku hanya ingin membunuh sesuatu di dalam diriku. Di tengah-tengah kolam, aku mengingat banyak hal, rasa cintaku terhadap banyak hal yang memotivasiku untuk tetap hidup dan melanjutkan perjalanan yang melelahkan dan panjang ini.
Aku percaya, kematian harus didapatkan seorganik mungkin. Mungkin benar, bunuh diri adalah solusi. Tapi, apakah aku mau dikenang oleh banyak orang karena aku pintar, baik, dan sayang sekali bunuh diri. Aku merasa lebih baik dilupakan, daripada harus dikenang karena keegoisanku. Pasalnya, begitu aku menghilangkan nyawa dengan tanganku sendiri, maka pada saat itu juga sisi pengecutku menang, dan aku benar-benar tidak mau dikenang seperti itu.
Mati bunuh diri (mungkin) lebih menyakitkan, ada banyak orang yang akan membanjiri sosial mediaku dengan komentar-komentar yang seharusnya aku dengar ketika aku hidup, akan ada banyak orang yang membanjiri pemakamanku dengan bunga yang seharusnya aku dapatkan ketika aku hidup. Bukankah itu tampak lebih menyakitkan? Apakah aku bisa menikmati cinta, yang aku dapat dari rasa duka banyak orang? Itu pasti menyakitkan.
Belakangan ini aku sering menghubungi teman-teman untuk cerita tentang masalah yang sedang aku alami. Pasca hampir mati di kolam renang, aku benar-benar menginginkan kehidupan lebih dari apapun, tapi perasaan ingin mengakhiri hidup datang kembali. Rasanya kesal, karena sekarang aku benar-benar ingin hidup dalam waktu lama. Dunia ini terlalu berantakan untuk aku mati di hari yang buruk, minimal aku harus merasakan kematian di hari yang baik-baik saja.
Walaupun perasaan ingin mati selalu datang menyelimuti pikiran seperti kabut, tetap saja aku masih bangun tidur, menyalakan motor, pergi, beli gado-gado favoritku di Setiabudi. Persis seperti buku yang sedang aku baca, dengan sampul depannya bertuliskan “I Want to Die, But I Want to Eat Tteokpokki”, yang ditulis oleh Baek Sehee. Ada kutipan dari Baek Sehee yang membekas di hatiku: “aku harap kamu akan mendengarkan suara tertentu yang diabaikan dan berbeda di dalam diri kamu. Karena hati manusia, meski ingin mati, sering kali ingin sekaligus makan tteokbokki juga.” Rasa-rasanya gado-gado jauh lebih enak, daripada kematian.
Meminjam kata-kata Albert Camus, apakah sebaiknya aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?