Duka Surabaya dan Bagaimana Kita Bangkit Darinya
Mengutuk kejadian teror bom di Surabaya sekaligus ajakan untuk introspeksi diri.
Words by Muhammad Hilmi
Jika di rumah kita masih punya kalender dinding yang dilengkapi dengan penanggalan Hijriyah, kita akan bisa melihat bahwa hari minggu 13 Mei 2018 kemarin bertepatan dengan tanggal 27 Sya’ban 1439 Hijriyah. Dalam konteks Islam, bulan Sya’ban adalah salah satu bagian dari tiga bulan penting: Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, di mana ketiganya merupakan saat-saat yang diutamakan bagi umat Muslim untuk menyucikan diri. Bulan Rajab adalah saat untuk menyucikan tubuh, bulan Sya’ban untuk menyucikan lubuk hati dan Bulan Ramadhan adalah saat untuk menyucikan Jiwa. Lebih lanjut lagi, bulan Sya’ban adalah masa di mana Nabi Muhammad SAW dengan sangat khusyuk memintakan ampun bagi umatnya. Di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, kaum Muslim kemudian merayakan bulan Sya’ban dengan memperbanyak shalat, doa dan terutamanya istighfar – memohon ampun atas dosa-dosa yang telah diperbuat.
Minggu pagi, 13 Mei 2018, sebuah keluarga di Surabaya memiliki cara yang berbeda untuk memaknai bulan Sya’ban. Alih-alih sibuk menyucikan lubuk hati dan memohon ampun, mereka menyebar kebencian dan membunuh kedamaian. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dengan empat anak tersebut melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja – tepat saat proses ibadat dilakukan di sana.
Bulan Sya’ban yang memasuki akhir, Ramadhan yang tinggal sejengkal lagi, saat-saat di mana kita harusnya menenangkan diri dan fokus untuk beribadah di bulan suci, ternodai. Kali ini, pekat mendalam noda yang mereka tinggalkan. Seolah tak puas menebar dosa dan teror, minggu malam bom kembali meledak di Sidoarjo, dan senin pagi, 14 Mei 2018 bom meledak kembali di markas Polisi Surabaya. Kota Surabaya yang dikenal sebagai kota yang sangat damai, tiba-tiba dibuat tak nyaman ditinggali.
Lantas apa yang bisa kita, kaum Muslim lakukan untuk mengembalikan kesucian bulan kita ini? Selain menitipkan doa bagi korban, ini adalah saat bagi kita untuk introspeksi. Kita harus mengakui bahwa noda di bulan Sya’ban tahun ini ditebar oleh saudara kita sendiri. Nyatanya, sejauh ini pelaku adalah keluarga yang menunjukkan identitas diri sebagai kaum Muslim. Dari atribut yang dipakai di foto-foto tersangka yang tersebar di internet, juga kebiasaan pelaku yang rajin berjamaah di musholla, semua adalah aktivitas kaum Muslim – walaupun jelas mereka memegang ajaran yang menyimpang.
Mengapa lantas penting bagi kita, kaum Muslim untuk mengakui bahwa teror ini lahir dari tangan saudara kita? Karena dalam keseharian, kita pasti semakin sering mendengar sentimen negatif dari teman sesama Muslim, sahabat bahkan keluarga kita sendiri terkait perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari melalui sosial media juga melalui percakapan di grup-grup WhatsApp. Sentimen-sentimen yang merupakan bagian besar dari penyimpangan agama dan akar dari terorisme ini akan terus berkembang kalau kita tak mau berintrospeksi.
Islam sedang dirasuki paham-paham yang merusak kepala penganutnya, dan tugas kita sebagai bagian di dalamnya untuk meluruskan pandangan saudara-saudara kita. Ini adalah pekerjaan rumah yang panjang dan penuh tantangan di era di mana politisi kita justru gemar mengadu domba demi kepentingan pribadinya. Tapi kita selalu bisa menetapkan langkah maju, dan di saat-saat seperti ini langkah itu bisa kita mulai dengan berintrospeksi sembari merangkul kembali saudara-saudara kita dan merebutnya dari pemikiran-pemikiran sesat itu.
Yang juga cukup mengusik dari kasus teror Surabaya adalah bagaimana kali ini pelaku datang dari latar belakang yang cukup berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Kebanyakan pelaku teror di masa lalu berasal dari kaum menengah ke bawah. Kali ini, keluarga pelaku pemboman gereja datang dari latar keluarga kelas menengah. Ini menunjukkan bahwa ada lebih dari sekadar masalah ekonomi yang menjadi akar masalah terorisme kita. Semakin menguatkan fakta bahwa bangsa kita sedang mengalami masalah besar dalam kemasyarakatannya. Dan untuk itu, kita kaum Muslim – umat terbesar di negara ini – memiliki peran penting untuk bersama-sama bergerak bersama semua saudara setanah air sebangsa untuk saling peduli, tak lagi abai dengan lingkungan sekitarnya.
Islam berasal dari berakar dari kata “Salam” yang berarti kedamaian. Mari mengembalikan Islam kepada makna dasarnya. Bukankah begitu definisi “Bela Islam” seharusnya?