Donald Trump, presiden tercinta Amerika Serikat, lagi-lagi menggegerkan dunia dengan kelakuannya. Setelah melucu dengan salah ketik ‘covfefe’ di Twitter, kali ini dia hadir dengan tindakan yang sama sekali tidak lucu. Kamis, 1 Juni 2017 kemarin Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan keluar dari Paris Agreement (Perjanjian Paris).
Perjanjian ini merupakan kesepakatan internasional dalam menghadapi perubahan iklim global. Usaha-usaha yang dilakukan dalam perjanjian tersebut ialah untuk menanggapi emisi gas rumah kaca, baik dalam hal mitigasi, adaptasi, maupun keuangan. Salah satu poin utamanya adalah untuk mencegah naiknya suhu global hingga 2 derajat celcius.
Perjanjian itu pertama kali dinegosiasikan pada konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21 di Paris. Kemudian, di adopsi dengan konsensus pada 12 Desember 2015. Sampai Juni 2017, 195 anggota UNFCCC telah menandatangani perjanjian tersebut, termasuk Indonesia.
Keputusan keluar yang disampaikan Trump didasarkan pada argumen bahwa Perjanjian Paris tidak menguntungkan bagi industri berbasis bahan bakar fosil dan merugikan Amerika secara umum. Hal ini memang sudah diindikasikan oleh Trump sejak kampanye kepresidenannya. Ia menjanjikan untuk keluar dari Perjanjian Paris. Trump juga seseorang yang ragu terhadap perubahan iklim.
Sontak keputusan tersebut menuai tanggapan banyak pihak. Salah satu yang paling menarik bagi saya adalah tanggapan Emmanuel Macron, presiden baru Perancis. Dengan nada menyindir, Macron mengunggah gambar yang bertuliskan “Make Our Planet Great Again” di twitternya.
Dari kedua peristiwa tersebut, saya melihat bahwa ada dua sosok yang mewakili konstelasi politik dalam isu perubahan iklim saat ini. Pertama, Trump sebagai wakil kaum yang menolak perubahan iklim. Kedua, Macron sebagai wakil dari kaum yang peduli terhadap perubahan iklim. Tapi, menurut saya, keduanya sama-sama tidak menyelesaikan masalah. Mengapa?
Jika melihat dari sisi pertama, saya rasa tak perlu ada lagi perdebatan. Penelitian mengenai perubahan iklim sudah sangat banyak dilakukan. Orang yang masih memperdebatkan benar tidaknya perubahan iklim itu terjadi saya rasa hanya bisa disadarkan jika jutaan orang sudah meninggal sia-sia.
Kemudian, jika dilihat dari sisi kedua, saya sepakat dan sekaligus tidak sepakat dengan Macron dan kaum yang diwalikinya. Menurut saya, perubahan iklim itu benar terjadi dan dibutuhkan suatu kesepakatan internasional untuk mengatasinya. Tapi, kita harus tahu bahwa kita saat ini sudah tidak lagi berada dalam holosen, melainkan dalam antroposen.
Holosen dan antroposen adalah kata yang merujuk pada skala waktu geologis. Holosen merujuk pada zaman yang dimulai sekitar 100.000 tahun lalu. Karakteristik holosen adalah temperatur global yang stabil. Inilah yang memungkinkan manusia pada waktu itu dapat mengembangkan pertanian dan kemudian peradaban-peradaban kuno, seperti Inka, Maya, dan Mesopotamia.
Sayangnya, karena tindakan manusia, bumi kini tak lagi berada pada holosen, tapi antroposen. Term tersebut pertama kali diusulkan oleh Paul Crutzen dan Eugene Stoermer dalam artikel The Anthropocene (2000). Menurut mereka, antroposen menandai zaman dimana manusia adalah penentu utama kondisi bumi secara keseluruhan. Aktivitas-aktivitas manusia telah mengubah alam secara besar-besaran. Manusia telah mendominasi bumi baik di daratan, lautan, hingga udara. Manusia menebang hutan, mencemari udara dengan CO2, menguras ikan di laut, dan mengekstraksi perut bumi. Maka dari itu, ia menawarkan konsep antroposen menggantikan holosen.
Dengan perpindahan itu, kita tak lagi bisa kembali lagi ke zaman dahulu. Perubahan di bumi secara global bersifat irreversible atau tak bisa dikembalikan. Efek yang dihasilkan oleh manusia pada hari ini tidak akan hilang dalam 100 atau 200 tahun. Bahkan, berdasarkan penelitian Steffen dkk yang berjudul Stratigraphic and Earth System approaches to defining the Anthropocene (2016), efek yang dihasilkan manusia bisa bertahan hingga jutaan tahun.
Kembali ke Macron, di sinilah tepatnya letak ketidaksetujuan saya. Kita tidak bisa mengembalikan lagi alam terdahulu yang sudah tiada. Maksudnya, kita tak bisa lagi membuat planet kita great again jika kita menganggap yang great itu adalah masa holosen. Menurut saya, narasi “kembali ke alam” atau “mengembalikan lagi keteraturan alam” adalah narasi yang tidak tepat. Alam dan keteraturannya yang diandaikan adalah bumi pada masa holosen. Jika kita tilik lebih ke belakang, bumi selalu berganti-ganti. Pada masa sebelum holosen, yakni Pleistosen, bumi sama sekali berbeda dengan saat ini. Di zaman itu, ada proses glasial dimana bumi selalu mengalami masa pemanasan global kemudian diikuti oleh zaman es.
Antroposen, seperti yang disampaikan Crutzen, ialah terra incognita atau daerah yang belum diketahui. Kita tak tahu apa yang akan terjadi di Antroposen. Bisa jadi suhu bumi makin panas, permukaan laut naik membanjiri kota-kota, hewan-hewan punah, dan kita tak tahu bagaimana bumi akan menyesuaikan diri. Yang jelas adalah kita tidak akan baik-baik saja dalam masa itu.
Apa yang hendak saya sampaikan ialah: kampanye “Make Our Planet Again” itu menipu. Ia tak melihat inti permasalahannya. Ini bukan soal bagaimana kita mengembalikan bumi ke keadaan semula ketika belum tersentuh dan dirusak oleh manusia. Menurut saya, ini soal bagaimana kita, homo sapiens, akan bertahan hidup di dunia ini. Saya sama sekali tidak menolak adanya Perjanjian Paris, sebab masalah perubahan iklim tidak bisa ditangani secara lokal. Tiap negara tak bisa berdiri sendiri-sendiri menghadapi isu ini.
Maka, antara Trump dan Macron, kita butuh alternatif ketiga. Mengingkari fakta perubahan iklim dan antroposen adalah suatu tindakan anti-intelektual dan irasional. Trump bukanlah sosok yang tepat. Namun, mengandaikan bahwa bumi ini bisa dikembalikan, dalam arti dibuat great again juga bukan alternatif yang tepat. Bumi kita sudah tidak lagi bumi kita yang kita andaikan dahulu. Itu pun dilakukan karena perbuatan manusia. Alternatif yang terakhir ialah: menerima bahwa perubahan iklim dan antroposen itu terjadi dan menerima bahwa kita tak bisa mengandaikan bahwa bumi kita bisa kembali ke keadaan semula (Holosen). Hanya dengan dua kalimat negatif itu kita bisa menghadapi ini semua.
“Trump, Macron, dan Antroposen” ditulis oleh:
Unies Ananda Raja
Mahasiswa Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa BALAIRUNG, UGM.