Cinta Beda Agama
Pada submisi column kali ini, Ayundari Gunansyach menulis soal perdebatan panjang tentang cinta dan agama di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Sebagai negara yang sangat multikultural, ada lebih dari 270 juta penduduk di Indonesia yang berbagi ruang dengan berbagai macam kebiasaan, budaya, dan agama yang dipeluk.
Sebagai orang Indonesia, terkadang kita sering mendengar cerita tentang mereka yang dilarang menikah dengan pasangan dari suku atau daerah tertentu oleh keluarganya. Kita juga sering mendengar cerita tentang orang tua yang wanti-wanti bahwa kita harus mencari pasangan yang seagama. Lebih dari itu, bukan hanya dari sisi keluarga, negara Indonesia juga tidak melihat pernikahan beda agama sebagai sesuatu yang sah di mata hukum. Meskipun ada enam agama yang diakui di Indonesia, sayangnya pernikahan antar pemeluknya masih sulit untuk dilakukan.
Sebagai orang yang tumbuh dewasa di Jakarta yang kebanyakan warganya berada dalam lingkup pergaulan yang heteregon, bergaul dan berkenalan dengan pemeluk agama yang berbeda adalah suatu hal yang tak dapat dihindari di Jakarta. Dan sebagai orang Indonesia, jatuh cinta dengan pemeluk agama yang berbeda, secara probabilitas, adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
Saya mengenal terlalu banyak orang yang menjadi korban dari problematika beda agama ini. Ada seorang teman saya yang dilanda galau berbulan-bulan karena sedang dekat dengan seorang beragama Katolik, padahal dia beragama Islam. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang bahkan dimulai saja belum. “Lebih baik gue sakit sekarang mumpung belum cinta beneran, daripada nanti waktu sudah cinta mati,” kata teman saya itu.
Sampai di sini, muncul satu pertanyaan, kenapa agama harus menjadi masalah dalam sebuah hubungan?
Tidak dapat dipungkiri, sebagai orang Indonesia, agama dan kepercayaan yang sama bisa membuat sebuah hubungan menjadi lebih mudah. Paling tidak satu masalah bisa dilupakan. Hubungan percintaan antar dua manusia yang berbeda saja sudah bisa menjadi masalah, apalagi kalau ditambah dua manusia itu memiliki kepercayaan yang berbeda kan?
Mencintai seseorang menjadi lebih sulit ketika kita mempercayai dua hal yang berbeda, seberapa pun kuatnya berusaha meyakinkan diri bahwa kepercayaan yang berbeda bukanlah suatu masalah. Nyatanya itu bisa menjadi masalah besar, mulai dari menjalani perayaan hari raya keagamaan sendirian, hingga saat pembicaraan tentang kematian muncul, sebuah konsep kematian yang sangat berbeda antar agama. Bahkan harapan atau omongan picisan untuk terus bersama dalam keabadian mungkin akan susah dimimpikan dalam pernikahan beda agama.
Tapi kepercayaan yang sama juga bukan berarti sebuah garansi hubungan akan berjalan mulus kan? Buktinya masih ada pengadilan agama yang mengurus perceraian dan masalah pernikahan satu agama. Kenyataannya, keberhasilan sebuah hubungan tidak semudah ditentukan dari agama apa yang dianut tapi juga banyak hal.
Terlepas dari masalah-masalah yang ada di sekitar isu menikah beda agama, tetap ada jalan lain yang bisa ditempuh. Contoh paling mudah, salah satu dari pasangan tersebut bisa melepaskan agama mereka dan masuk ke agama pasangannya. Kata orang, cinta dapat mengalahkan segalanya kan? Termasuk mengalahkan agama yang telah kita peluk sedari lahir dan menjadi bagian dari identitas kita. Tapi apakah perpindahan agama itu akan menghantui dan menggigit balik di masa depan? Katanya cinta tidak akan meminta dan tidak akan mengubah.
Bisa juga memaksakan menikah dengan tetap mempertahankan agama masing-masing. Ini bisa dilakukan di luar Indonesia atau tipu-tipu sedikit dengan menikah dua kali sesuai agama masing-masing. Bisa kok, ada saja jalannya kalau mau diusahakan. Kalau niat ada saja jalan untuk kibul-kibulan sama orang tua, negara, dan diri sendiri. Tapi pertanyaan yang kerap kali muncul, apakah akan ada penyesalan di masa depan? Sama seperti apakah akan ada penyesalan kalau kita tidak memaksakan? Kenapa masalah agama ini harus menjadi masalah?
Tapi bagaimana kalau skenarionya diputar balik? Saat kita menemukan satu orang yang begitu kita cintai dan we connect on so many levels, tapi sayangnya semuanya terbentur masalah keyakinan yang berbeda. Apakah ‘connection’ tersebut cukup berharga untuk menjadi titik perjuangan untuk mempersatukan dua agama yang berbeda?
Kalau ditanya, apa saran saya untuk mereka yang menjalani hubungan beda agama? Jujur, saya tidak bisa menjawab. Karena hubungan antar manusia, sama seperti hubungan antara manusia dan Tuhannya, tidak bisa disama ratakan. Ada mereka yang kuat, terus berjuang melawan aturan agama yang mengikat. Ada juga yang mencoba, lalu menyadari cinta untuk pasangannya ternyata tidak sebesar cinta untuk diri sendiri dan zat yang dipercayai dengan sepenuh hati.
Menemukan pasangan dan mencintai seseorang apapun agamanya memang terasa seperti sesuatu yang penting dan pantas diperjuangkan, tapi menemukan kedamaian dan mencintai diri sendiri bisa jadi adalah sesuatu yang lebih penting untuk digapai.
Dua hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman yang sedang menghadapi kegalauan karena beda agama dengan pasangannya. Dia memilih untuk menikmati waktu yang bisa dia dapatkan sebelum semua terlalu jauh. “Nggak usah dipikirin sekarang, sekarang senang-senang aja,” katanya. Dia bilang teman-temannya pun sudah wanti-wanti “Jangan cari ribut, lo!” tapi dia tetap kekeuh semekeuh tidak mau memikirkan perbedaan itu. Setelah ngobrol panjang lebar, kami berjalan menuju parkiran sambil tertawa-tawa. “Susah ya urusan ginian. Giliran ketemu yang cocok eh agamanya beda, giliran agamanya sama eh orangnya nggak ngerti bercandaan gue.” kata dia.
Sebelum saya masuk mobil, saya bilang sama dia “Nggak ngerti gue juga.” jadi maaf kalau tulisan ini tidak memberikan solusi apa-apa dan hanya semata menambah panjang perdebatan tentang cinta dan agama di Indonesia.