Cincin Emas Bermata Empat, Kamar Biskuit, dan Hantu di Dapur
Pada submisi column kali ini, Wulandari Zefanya menuliskan antologi puisi esai tentang kilasan-kilasan memori masa kecilnya yang terhubung melalui benda-benda bersejarah, aroma, hingga pengalaman spiritual.
Words by Whiteboard Journal
Dunia disesaki wahana-wahana batil nan tragik yang membangatkan kengerian dan kekhawatiran dalam batin berlaksa-laksa manusia. Beberapa di antaranya adalah buket-buket mawar kuning, apel beracun, papan monopoli serta pitcher plant yang tubuh dalam menara-menara pencakar langit; Anak-anak manusia perlu meniru lumba-lumba. Supaya bernapas, mereka melayang sebentar. Si lumba-lumba bergerak mengoyak air dan angin. Keluar dari cengkraman lautan yang cemar. Maka pada suatu malam, aku berubah menjadi seekor lumba-lumba. Kutinggalkan air laut dalam beberapa detik dan memenuhi paru-paruku dengan peristiwa-peristiwa epifanik yang kualami sewaktu bermain ayunan di kuil “Masa Kecil”.
Cincin Emas Bermata Empat
Telah luput dari pandanganku kibasan setelan hijau muda dengan payet hitam yang membentuk dedaunan. Begitu pula bowler hat, sepatu pantofel, serta korek api terakhir Nenek. Tak terlacak lagi segala kepunyaannya dalam ingatanku, kecuali sebuah konde sebesar kepala bayi yang menemaninya dalam peti mati. Aku berharap, anak-anaknya tak lupa untuk memasangkan sebuah cincin setelah memandikan jasadnya. Tak peduli imitasi atau emas sungguhan, dalam ingatanku, Nenek selalu mengenakannya di jari manis. Menindih cincin nikah. Aku memerhatikan cincin itu ketika kedua tangannya terlipat dengan tenang dalam kebaktian;
ketika jemarinya memisah biji-biji jagung dari bonggol;
ketika ia memijat-mijat adonan kue janewer;
ketika jemarinya mengapit sigaret;
atau ketika ia mencedok nasi goreng jahe untuk piringku. Setelah kematiannya, cincin itu lenyap. Lenyap karena ikut terkubur di tepi sungai yang lembab atau terbang bersama benih-benih dandelion.
Cincin itu tak melingkari jari siapapun atau terpajang di etalase toko perhiasan manapun. Walau cicin itu menarik perhatianku, usiaku masih sangat belia untuk bertanya tentang siapakah yang memberikannya?
mengapa selalu mengenakannya?
dan apa artinya?
Cincin itu monolit sebagai misteri. Bersama nenek, cincin emas bermata empat terhisap kedalam keabadian dan tak kunjung ditemukan lagi.
Kamar Biskuit
Aku menemukan gugusan remah dan aroma khasnya di kamar asrama, supermarket, lemari kamar rumah sakit, bubungan pipi batita serta di atas punggung semut pekerja. Biskuit mengingatkanku akan seorang perajut tua yang tekun memberiku bungkusan kecil di bulan Juni. Aroma badannya bukan wangi minyak kemiri, kenanga, melati ataupun kayu putih. Ia beraroma biskuit! Adik perempuan Kakekku beraroma biskuit! Seakan-akan ia terbuat dari pati jagung, tepung terigu dan gula.
Ketika tinggi badanku sejajar dengan pundak ibu, aku diundang ke sebuah pertemuan tertutup. Di atas meja-meja rumah itu terdapat rajutan benang wol. Beberapa belum terselesaikan. Bulu-bulu anjing masih menempel di sofa. Tak ada gonggongan, sehingga sore itu benar-benar tenang. Aku kemudian diajak ibu ke sebuah kamar yang penuh dengan kaleng biskuit. Kaleng-kaleng itu saling tumpuk membentuk menara yang menyentuh langit-langit dan mengelilingi dipan tempat seorang perempuan berbaring. Aroma biskuit yang kuat membuatku tenang dan haus. Namun sebelum aku meminta segelas susu, perempuan berambut perak itu melemparkan pertanyaan dalam bahasa toulour, “sei sia?”, yang berarti “siapa perempuan ini?“. Ia seketika lupa sementara aku benar-benar ingat. Bagaimana tidak, sekali dalam seminggu aku menemaninya merajut sembari bermain dengan Bunga, seekor pomerania kesayangannya.
Di umurku yang ke-tujuh, aku dihadiahi sebuah sapu tangan rajut warna biru langit berbentuk persegi. Sapu tangan itu membungkus puluhan koin Rp500. “Disimpan,” katanya sambil menggenggam tanganku. Setahun kemudian, si pemberi hadiah terserang demensia. Koin-koin pemberiannya tak berhasil kusimpan melainkan kutukar berkala dengan camilan-camilan manis. Seminggu berselang pertemuan tertutup di kamar biskuit, sang perajut meninggal dunia. Sementara aku makin mencintai camilan manis dan rutin berobat ke dokter gigi.
Untuk pertama kalinya, aku menangis dalam ritual penguburan. Di tepi lubang kubur, aku menyadari pedihnya perpisahan.
Hantu di Dapur
Konon, sebelum lewat empat puluh hari kematian fisik, roh tetap bersemanyam dalam ruang yang terikat dengan kehidupannya dahulu. Ia dapat melayang-layang di ruang tamu, melamun bersama begonia di pekarangan rumah, atau duduk diam di tepi dipan sambil mengamati kekasihnya tertidur pulas. Seakan-akan roh beroperasi lewat memori. Seakan-akan ia punya kehendak. Dengan kata lain, roh tak akan tersesat. Ia tahu setapak kecil menuju rumah. Biasanya, roh akan disambut dengan cahaya lilin, secangkir kopi, kue basah ataupun tembang-tembang kesukaan. Dalam ritus-ritus kedukacitaan, aku membayangkan dua alam berbeda saling menyahut. Mereka menyanyikan litani kerinduan.
Suatu hari di tahun 2012, aku tak menangkap kehadiran Kakek di depan televisi, namun justru kami bertemu dalam mimpi. Ia datang memberi sebuah mangga, kemudian pergi dengan mengayuh sepeda. Dua belas tahun kepergian Kakek, kami merawat foto-fotonya dalam beberapa album. Banyak hal yang berubah pasca kepergiannya, termasuk anggota keluarga yang bertambah. Keponakanku, Mayin, bocah aktif berusia tiga tahun, sering bermain di rumahku. Ia selalu pergi ke dapur untuk menggeledah isi kulkas demi yoghurt atau sekadar memecahkan telur. Beberapa kali Mayin lari terbirit-birit dan berceloteh bahwa ia bertemu dengan seorang pria paruh baya di dapur. Ia menyebut pria tak dikenal itu dengan “bapak-bapak”. Aku tak pernah mengira bahwa “bapak-bapak” itu adalah kakek, sampai kami iseng membuka album foto. “Bapak-bapak!” teriak ponakanku berulang-ulang ketika melihat foto-foto kakek.
Dihujani penasaran, ibuku menguji bocah kecil itu dengan sebuah pertanyaan, “lalu, apa yang bapak-bapak itu lakukan?”. Ponakanku menjawabnya dengan memunculkan raut wajah yang lucu. Mataku berkaca-kaca kemudian. Selain gemar makan mentega dengan nasi panas, menghabiskan setoples kue fantasi di depan TV dan berkebun sampai senja, Kakek gemar menghibur cucu-cicitnya dengan menjorokkan bibir ke depan dan memainkan bola mata, persis seperti mujair, persis seperti mimik yang ditunjukan ponakanku.
Ternyata Kakekku tak sebatas empat puluh hari. Mungkin, ia datang setiap hari.