Belajar dari Ayahku, Sang Pejuang
Submisi open column dari program internship Whiteboard Journal, tentang pengalaman tumbuh sebagai putra dari seorang pejuang hak kemanusiaan.
Words by Whiteboard Journal
Namaku Gernas Geraldi. Aku lahir setelah kerusuhan Mei 1998, dan dari situlah ide ayah menemukan ide untuk namaku. “Geger reformasi nasional” adalah kepanjangan dari nama depanku. Bukan tanpa alasan. Beliau memberi nama itu, karena ayah adalah bagian dari pergerakan. Dan dari pergerakan itu pula, ayah kehilangan indra penglihatan.
Tahun 1972, beliau turun ke jalan. Di sana, ternyata tragedi sudah bersiap menyambut. Tragedi itu berwujud senjata laras panjang, sekonyong-konyong dihantamkan ke pelipis kanannya. Keras. Beliau terjatuh, dan seketika itu semua jadi gelap. Hilang sudah warna-warni tanah air yang diperjuangkannya.
Aku lahir saat ayah telah kehilangan indra penglihatannya. Aku kadang bertanya-tanya, jika orang kebanyakan menyambut kelahiran anaknya dengan melihat tangis jabang bayinya, kemudian melihat paras muka anaknya, lalu apa yang dilihat oleh ayah ketika aku lahir? Yang aku tahu, beliau menyambutku, “Selamat datang, nak” katanya sambil memelukku hangat. Setidaknya begitulah cerita orang-orang kepadaku.
Ayah dan ibu berpisah saat aku masuk kelas tiga SD. Sejak itu, kami jadi semakin jarang bertemu. Tapi saat ada waktu untuk bertemu, beliau selalu menyambut saat aku menyapanya. Ayah mengenaliku melalui suaraku, beliau lalu memintaku menghampirinya. Tangan beliau meraba wajahku, sebelum kemudian berkata, “Wahh si ganteng nih, udah besar aja.” Saat itu, aku kerap bertanya apakah sebab ia kehilangan penglihatannya. Dan ia selalu menjawab, “Dipipisin kodok, dek.”
Dengan keterbatasan itu, beliau tetap berusaha memberikan yang terbaik untukku. Mungkin sama seperti perjuangan ayah-ayah lain di luar sana. Tapi bagiku, ayah adalah sosok yang istimewa. Tanpa penglihatan, beliau menjadi sosok pertama yang mengajarkanku menulis, hingga membuat tali layangan. Dan di luar itu semua, satu hal yang membuat beliau menjadi ayah istimewa bagiku adalah cara beliau mengajarkanku untuk memahami bahwa ada banyak cara untuk melihat dan menikmati keindahan dunia, bahkan tanpa kita harus membuka mata.
Sesekali ayah bertanya, “Kamu gak malu ‘kan sama papa?”. Dan pertanyaan ini selalu memancing renung dalam diriku. Karena beliau jelas bukan sumber malu. Mungkin justru aku yang bikin malu. Aku yang sering mengeluhi macet jalanan, aku yang sering menggerutu saat tak cukup banyak gula di teh manisku, hujan pun tak jarang memicu amarahku. Sedangkan ayah, dengan keterbatasannya, sering terlihat lebih bahagia dan mensyukuri apa yang ada di sekitarnya. Kalau begini, jadi mata hati siapa yang lebih terbuka?
Saat ini, aku mungkin hanya bisa memberikan janji kepada ayahku. Janji bahwa aku akan membawa terang pada kehidupanku dan kehidupannya. Dan aku yakin, aku bisa menepati janjiku. Karena aku belajar dari yang teristimewa. Karena aku belajar dari ayahku.